Pribumi

Raida Hasan
Chapter #1

Gugur Bunga

Terlihat brigade keamanan pada barisan paling depan. Mereka siap menghadang bagi siapa pun berusaha melompati pagar besi yang mengelilingi panggung. Perempuan-prempuan muda menangis histeris. Mereka mengelu-elukan namamu. Hingga lagu terakhir berkumandang, dunia seakan-akan ikut berakhir. Mereka semakin kalap. Kamulah sang idola, menghiasi hidup mereka. Di saat galau, bahagia, atau sengsara. Di stasiun televisi, radio, mobil, kantor, di aula acara pernikahan, dan pusat perbelanjaan tidak henti-hentinya memutar lagumu.

Peluh membanjiri tubuhmu, kamu lepaskan pakaian lalu melemparkan ke arah ratusan penonton. Di bawah cahaya lampu sorot tubuhmu berkilat-kilat. Lekuk tubuhmu membuat kaum perempuan labil seketika sakit jiwa. Lapangan seukuran sepak bola seketika riuh. Dentuman gelegar memekakkan telinga. Kembang api memancar-mancar menghiasi langit malam.

Para security kepayahan menghalau penonton yang berusaha menerobos keamanan. Beberapa bahkan pingsan. Terinjak-injak hingga kekurangan oksigen. Tak terhitung banyaknya dompet juga telepon genggam berpisan dari tuannya tersebab lagu dan pesonamu. Tepat saat alunan musik berhenti, ucapan terima kasih terucap, tiba saatnya kamu tinggalkan panggung kebesaran. Penonton seolah belum merasa puas. “Lagi! Lagi!” seru mereka serentak.

Di luar sana, sesaat sebelum menaiki panggung, mereka tidak segan-segan menarik tanganmu, mencium, bahkan memeluk hingga membuatmu tersungkur. Kamu harus dikawal agar selamat bahkan saat acara telah selesai. Bodyguar-bodyguard itu menjadi korban cakaran para fans garis berat saat mengamankanmu agar tiba di sebuah hotel tidak kekurangan suatu apa pun. Di tempat peristirahatan berbintang lima petugas hotel sering mencuri kesempatan agar bisa bersua denganmu. Mengorek informasi dengan siapa kamu di kamar sana. Sedikit celah, maka puluhan pewarta akan mengulitimu hingga ke akar-akar.

Itu dulu, dua puluh tahun silam. Ibarat bunga, tangkaimu telah patah. Kelopakmu layu, wangimu telah sirna. Ibarat pelangi, ia memudar, seiring dengan langit senja disambut pekatnya malam. Kakimu yang dulu kokoh berjingkrat-jingkrat di atas panggung itu melemah. Bahkan untuk menopang tubuh ringkihmu. Otot-otot jemarimu mengendur, kepayahan saat memegang mikrofon berwarna keemasan yang menjadi koleksi pribadimu. Keriuhan dulu mendadak sepi.

Kamu duduk tepakur memegang album kenangan. Sesekali tersenyum, mengusap satu persatu masa kejayaan. Rasanya seperti kemarin, batinmu. Perasaan sesak menyeuak, menghantam dada di usia yang tidak lagi muda. Suara klakson dari luar sana membuyarkan semuanya. Ia memanggilmu agar bersigera. Kamu menghela napas panjang, mengumpulkan segala semangat dan berjalan menuju ambang pintu dengan tertatih. Satu telapak kakimu melengkung, membuat jalanmu tak sempurna.

Kembali, kamu tatap bingkai-bingkai pada dinding. Berbagai penghargaan tersusun rapi di sana. Semakin kamu pandangi semakin hatimu dirundung lara. Betapa waktu telah menjungkir-balikkan semuanya.

Kamu kepayahan membuka daun pintu. Bahkan jemarimu sering bergertar memegang apa saja juga anak kunci yang terus bergemerincing. Senyum mengembang ketika matamu menangkap sosok sahabat karibmu. Ia membantumu berjalan dan memastikan pintu tertutup rapat. Walau dengan sepeda motor keluaran lama, kamu tetap tersenyum mensyukuri hari ini.

Tidak ada lagi mobil sport kebanggaanmu. Atau sepeda motor bersar dengan suara meraung-raung memecah jalanan. Juga mobil patwal yang setia mengantarkanmu agar tiba di tujuan tanpa hambatan. Satu persatu pergi ketika penyakit mulai menggerogooti tubuhmu. Saat tawaran manggung seperti fatamorgana, terlihat lalu membatalkan segalanya sewaktu melihat kondisimu. Bahkan teman-teman yang terbiasa dengan ketenaran dan hartamu mendadak amnesia. Hari ini, kamu dan sahabatmu berada di keramaian. Bersama-sama menghirup debu di tengah kemacetan kota.

Motor memarkir di sudut lapangan, di sebuah acara Pameran Pembangunan. Kamu kembali berjalan. Sahabat karibmu memegang lenganmu erat, memastikan semua baik-baik saja hingga tiba di sebuah tempat dengan tiang-tiang beratap terpal biru. Beberapa jam lalu, sound system disiapkan sebelum sahabat karibmu itu menjemput.

Lihat selengkapnya