Pribumi

Raida Hasan
Chapter #2

Titah Nyonya Besar

Mungkin memberi sedikit sianida di gelas teh hangatnya itu akan membuatnya tergelepar dengan mulut berbusa. Mengejang-ngejang, mencekik leher sendiri. Sempurna. Rasanya sepadan dengan apa yang sering ia lakukan padaku, mengomel sepanjang waktu, seperti kereta dari Semarang menuju Jakarta, lalu ke Semarang lagi atas segala yang kulakukan apabila tak sesuai dengan keinginannya. Namun, semua orang tahu, bahkan cicak di dinding juga tahu, siapa yang membuatkan minuman di rumah ini. Terlalu berbahaya. Aku tentu menjadi tersangka utama.

Mendorongnya ketika menuruni anak tangga. Hmmm, sepertinya ide menarik. Tubuhnya yang besar, dengan pantat lebar juga sanggulnya yang sering bergoyang-goyang ketika berjalan itu tentu saja membuat semuanya seperti mudah. Ia terlalu berat membawa diri, khususnya sanggulnya itu, belum lagi sarung yang membelit kedua betis besarnya, juga sandal kayu dengan hak tujuh sentimeter. Saat terjatuh, kepalanya terantuk lantai, darah mengucur, ia akan mengerang kesakitan, kemudian menghembuskan napas terakhir. Aku akan berteriak sekeras-kerasnya, hingga membuat keributan seluruh warga di sini. Semua orang akan percaya, ia terpeleset. Aku tersenyum geli membayangkannya. Ah, andai semudah itu, bagaimana kalau dia tidak mati, pingsan saja, hingga melaporkan kejadian ini ke pihak berwajib. Lalu ada penjara menanti. Oh, tidak. Aku tidak mau masuk penjara.

Meminta pembunuh bayaran untuk menghabisinya ketika sedang berbelanja. Pembunuh profesional tanpa jejak. Ia akan menghilang bak ditelan bumi setelah menyelesaikan tugas. Berapa ongkosnya? Aku tidak pernah tahu, Cuma pernah melihat di film-film. Bagaimana pula membayarnya, untuk membeli pembalut saja aku harus mengemis-ngemis padanya. Semua administrasi di sini, di bawah kekuasaannya. Ketika Abang Tukang Bakso lewat aku hanya bisa menelan ludah. Ada borak, celana dalam, tumpahan micin. Bikin sendiri, ucapnya. Tragis sekali.

Mungkin saat ia tiada, aku bisa sedikit menikmati harta kekayaannya. Sedikit saja, aku sudah berbahagia, karena sesungguhnya ia memiliki aset lumayan besar. Ada belasan berlian di kotak perhiasannya dengan nilai tak kira-kira. Juga deretan rumah kos tidak jauh dari rumah ini. Namun, seandainya pembunuh bayaran itu seorang polisi yang sedang menyamar? Bukankah ini juga sering terjadi. Berpura-pura menjadi eksekotor untuk menghentikan kejahatan sesungguhnya? Namaku masuk daftar hitam, sehitam arang. Keluarga pasti murka. Mas Rama tentu saja memberiku talak ke seratus. Tamatlah riwayatku.

“DERA!” Aku terperanjat hingga meninggalkan debaran jantung dengan kecepatan luar biasa. Nyonya Besar telah berdiri di samping. Beruntung jantungku sehat, masih kuat. Sudah terbiasa menerima kejutan-kejutan tak terduga dari Nyonya Besar.

 “Bukannya menyelesaikan kerjaan malah melamun,” hardiknya dengan kedua mata melotot.

Njih, Ibu.” Aku menjawab dengan penuh takjim dan hormat. Ia berlalu sambil mengipas-ngipas wajah. Menggeleng-gelengkan kepalanya dan berlalu dengan jemawa menuju teras. Sesekali jemarinya mengusap-ngusap meja, memastikan tidak ada debu menempel. Aku mengatur napas agar kembali normal. Akulah Dera Maharani. Menantu Nyonya Besar itu, dari putra semata wayangnya Mas Rama Adiguna. Akulah Dera Maharani, walau berkali-kali otakku berpikiran untuk melenyapkannya karena kesewang-wenangan terhadapku, tapi nyatanya tak berkutik sedikit di hadapannya.

Sudah sedari pagi, siang, hingga sore tubuhku seperti robot yang terus bekerja. Istirahat sekadar makan, itu pun dengan tergesa-gesa. “Cara makan seseorang menggambarkan kepribadian,” hotbah beliau. “Semakin lambat ia makan, semakin lambat pula ia bekerja,” tambahnya lagi. Anehnya, Nyonya Besar itu makannya tak kalah lambat denganku. Heran. Sungguh mengherankan.

Tubuhku remuk redam seperti habis berperang. Kadang aku berpikir, sesungguhnya Nyonya Besar menganggapku sebagai pembantu bukan menantu. Air mata merembes, aku ingin kuat, tetapi hatiku terlalu lemah.

“Kamu kenapa?” Suara lembut itu begitu menenangkan. Kenapa karakter dua orang di rumah ini begitu berbeda? Seorang anak seperti Mas Rama berhati lembut, dengan tutur kata santun memiliki seorang ibu yang kasar. Mungkinkah Mas Rama anak adopsi?

 Mas Rama membelai rambutku, disibak helaian-helaian yang menutup sebagian wajahku. Ditariknya tubuhku hingga tenggelam pada dadanya yang bidang. “Bertengkar dengan ibu lagi?” bisiknya di telinga.

“Nda Mas, a-aku hanya kangen rumah.”

“Apa rumah ini tidak membuatmu betah?”

“Betah jika ada, Mas.” Tak terasa buliran air mata kembali bergelinang. Kenapa Mas Rama harus bekerja dari pagi hingga malam hari, hingga aku harus menghabiskan seharian penuh bersama Ibu. Mas Rama seperti paham, ia kembali memelukku dengan erat. “Bersabarlah, Sayang. Bersabarlah atas sikap Ibu.”

***

Lihat selengkapnya