Prick Of Heart

Elia Gracecia
Chapter #12

Chapter Sepuluh - Acara Gavin

****

Missing someone is the worst thing from a part my life.

****

"Udah?" tanya Deon.

"U-udah," jawab Selly sesenggukkan dari dalam. Deon mundur beberapa langkah, kemudian mencoba mendobrak pintunya berkali-kali hingga terbuka. Cowok itu menemukan Selly yang sedang meringkuk ketakutan sambil menangis sesengukkan.

"Lo nggak apa-apa?"

Selly langsung berhambur memeluk Deon membuat cowok itu tersentak kaget namun tetap membiarkan gadis itu menangis di dadanya.

Entah sudah berapa lama seseorang tidak memeluknya seperti ini, kecuali Mamanya. Seseorang itu yang tiba-tiba saja menghilang bagai ditelan bumi. Sampai sekarang pun Deon masih berusaha mencarinya.

Tangan Deon terangkat dengan perlahan, menepuk-nepuk punggung Selly, berusaha untuk menenangkan gadis itu.

"Hiks... g-gue takut. Gue bener-bener takut."

"U-udah, jangan nangis. Gue disini. Hapus air mata lo! Lo aman sekarang." Selly mengangguk lemah, kemudian menyeka airmatanya dengan jari tangannya yang mungil.

Deon menatap wajah Selly dengan seksama. Ia melihat sesuatu yang beda dari biasanya.

Selly meneguk air liurnya begitu menyadari Deon berjalan mendekatinya seperti sedang mengincar mangsa. Gadis itu memundurkan langkahnya untuk menghindari Deon yang berjalan semakin mendekat kearahnya.

Sampai-sampai Selly tak sadar telah menubruk tembok yang ada dibelakangnya. Oh tidak, apa yang harus dilakukannya sekarang?

Gadis itu menutup matanya begitu Deon mendekati wajahnya. Sekarang saja jantungnya sudah berdegup kencang dengan sendirinya. Bagaimana tidak? Semua perempuan yang diperlakukan seperti ini pasti reaksinya akan sama.

Tangan Deon terangkat, mengusap pelan pipi Selly yang dengan jelas tampak memerah.

"Kenapa, hm?"

Mata Selly terbuka, ia menghela nafas lega ketika menyadari Deon tidak berbuat macam-macam dengannya. Tapi... jarak mereka kini terbilang dekat, bahkan bisa dibilang sangat dekat. Selly saja masih tidak bisa mengendalikan degupan di dadanya.

Dengan cepat Selly menepis tangan Deon yang masih mengelus pelan pipinya, kemudian menutupi bekas tamparan itu dengan rambutnya.

"Eng-enggak... bu-bukan apa-apa. Gue mau balik ke kelas." Selly berjalan menuju pintu namun ia menghentikan langkahnya ketika tangannya ditahan.

Ia membalikkan badan, "Kenapa lagi?"

Deon tidak menjawab. Cowok itu justru menyingkirkan rambut Selly yang menutupi pipinya yang memerah itu.

"Kenapa?"

"Udah gue bilang bukan apa-apa! Ini cuma... mm... cuma.. ah iya, kebentur tembok."

"Bohong." Cowok itu tahu kalau saat ini Selly sedang berbohong. Ini bukan bekas terbentur tembok melainkan lebih terlihat seperti bekas tamparan.

"Siapa yang ngelakuin?" tanya Deon terkesan dingin.

Selly menggelengkan kepala, "Ini cuma kebentur tembok."

"JAWAB!! SIAPA YANG NGELAKUIN?" Deon menaikkan nada bicaranya secara tiba-tiba membuat Selly menjadi ketakutan sendiri. Sorot matanya tajam.

Cewek itu menundukkan kepalanya. "I-Itu... K-kak Tania sama K-kak Alana," jawab Selly pada akhirnya.

Deon mengepalkan tanggannya.

Cowok itu tersenyum smirk. "Sudah gue duga," ucap Deon dalam hati.

Cowok itu berbalik, hendak meninggalkan ruangan tersebut namun Selly segera menahannya. Karena Selly sangat yakin, kemana Deon akan pergi. Apa lagi kalau bukan menemui Tania dan Alana kemudian memarahi mereka?

Tidak, Selly tidak boleh membiarkan itu terjadi. Bukan apa-apa. Hanya saja ia tak mau mencari masalah dan membuat masalah ini menjadi semakin besar.

"Jangan, Kak. Gue mohon!" pinta Selly dengan tatapan memelas.

"Nggak bisa, Sel! Yang mereka lakuin lo itu udah keterlaluan, kebangetan."

"Pokoknya kalau gue bilang nggak ya nggak! Gue nggak mau masalah ini semakin besar nantinya. Gue mohon, Kak. Demi gue."

Deon mengacak rambutnya frustasi. Ia bisa saja menuruti kemauan Selly, tapi disisi lain ia benar-benar marah atas perlakuan Tania dan Alana. Cowok itu tidak terima.

"Oke. Kali ini gue biarin. Tapi kalau lain kali mereka lakuin ini sama lo, gue nggak akan tinggal diam." Selly tersenyum, lalu mengangguk mengerti. Ia kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.

Merasa ada yang mengganjal, untuk kedua kalinya Selly berbalik. Untung saja ia masih ingat.

"Kak, makasih." Deon mengangkat salah satu alisnya tidak mengerti.

Selly tersenyum hangat, "Makasih udah ajarin gue Matematika. Berkat lo, gue tadi bisa nyelesaiin PR kemarin."

"Ya, walaupun sebagian besar lo yang kerjain, sih. Tapi... jawabannya bener, kok. Gue akuin, lo emang jenius kalau soal Matematika. Gue ke kelas dulu."

Kringggg

Bel selesai istirahat berbunyi, menandakan seluruh murid harus segera kembali ke kelas masing-masing untuk mengikuti pembelajaran selanjutnya.

****

Waktu menunjukkan pukul lima sore. Terlihat seorang gadis yang tengah tertidur pulas dengan selimut yang membaluti sekujur tubuhnya di ruangan bernuansa putih itu.

Sesekali ia menggeliat kecil. Sampai tiba-tiba saja suara deringan ponsel membangunkannya. Ia berdecak, kemudian menolak panggilan tersebut tanpa membaca siapa si penelfon. Huh, enak saja tidurnya diganggu.

Ia kembali tidur. Namun suara deringan ponsel itu tiba-tiba saja terdengar untuk kedua kalinya membuat Selly membaca nama si penelfon dengan mata yang menyipit akibat masih mengantuk.

Ia berdecak kesal. Dengan malas-malasan ia memencet tombol hijau, menerima panggilan itu.

"Apa sih?! Ganggu tidur gue aja! Gue tuh capek, ngantuk."

"Hari ini hari apa?"

Lihat selengkapnya