****
Hidup jangan dibikin ribet. Selagi ada orang yang siap dengerin cerita lo, kenapa enggak?
****
Urusan kejadian di mading kini sudah kelar. Bahkan Tania dan Alana sudah mulai menjalankan hukuman mereka. Setelah mendapat ceramah dari Bu Ratna, mereka berdua langsung membawa tasnya dan pulang.
Mata Deon kini sedang mencari-cari keberadaan Selly. Bahkan ia sampai membolos pelajaran untuk menemukan gadis itu. Cowok itu hanya ingin memastikan apakah Selly baik-baik saja.
Kakinya berhenti melangkah ketika melihat seorang cewek yang familiar sedang duduk di bangku putih taman belakang sekolah yang posisinya membelakangi Deon.
Dengan perlahan Deon mendekat kearahnya dan duduk tepat disebelah cewek itu. Tangisnya memang sudah berhenti, tapi tetap saja raut wajahnya tidak kunjung kembali seperti biasanya.
Tampaknya Selly belum juga menyadari keberadaan Deon, atau mungkin lebih tepatnya sudah menyadari tetapi ia lebih memilih untuk diam daripada memulai percakapan dengan cowok itu. Bukan apa-apa, hanya saja ia sedang merasa kacau.
Deon menghela napas pelan, ia menoleh kearah Selly. "Sesuai apa yang udah gue bilang dulu, kali ini gue nggak ngebiarin Tania sama Alana lolos begitu aja."
"Lo tahu, gue apain mereka?"
Selly hanya diam. Tatapan cewek itu kosong. Tak ada raut wajah puas atau semacamnya begitu Deon berucap demikian.
Deon mengentikkan jarinya tepat di depan muka Selly, "Woy! Lo dengerin gue nggak, sih?"
Selly mengangguk pelan, "Dengerin."
"Kenapa nggak nanggepin ucapan gue?" tanya Deon. Selly hanya mengangkat kedua bahunya.
"Cewek aneh," cibir Deon pelan.
"Terserah."
"Gue cuma mau kasih tahu, pokoknya lo udah aman sekarang. Mereka udah dihukum sama Bu Ratna."
Dahi Selly terlihat sedang bergelombang, "Dihukum?"
Deon berdehem, "Mereka kena skors seminggu. Tuh, sekarang malah udah pulang."
"Oh. Terus kenapa lo kesini dan malah bukan ikut pelajaran?"
Deon tersenyum penuh arti, "Bolos. Mau temenin lo aja disini. Lagipula pelajarannya nggak asik, bukan Matematika soalnya."
"Lo tuh aneh."
"Enak aja, ganteng-ganteng gini dibilang aneh. Noh, buktinya semua cewek-cewek pada nge-fans sama gue," ucap Deon membanggakan dirinya.
"Kecuali lo," tambahnya.
Selly memutar bolamatanya, "Emangnya harus gitu ya, gue nge-fans sama lo. Suka sama lo aja nggak, tuh. Amit-amit malah. Ogah gue sama cowok yang ngeselin kayak lo. You even not my type. Dasar kepedean banget bilang dirinya ganteng."
"Heh, emang kenyataan kali. Gue ganteng dan lo jelek," ucapnya seraya menjulurkan lidahnya kearah Selly.
"Apa?!?"
"What?"
"Gimana-gimana?"
"How?"
Selly melipat kedua tangan di depan dada seraya mengkerucutkan bibirnya sebal, "Bisa nggak, sih, lo nggak usah ngeselin sehari aja?"
Deon hanya mengangkat kedua bahunya tak peduli.
"Omong-omong gue jadi heran. Lo populer, tapi kata Audi, lo nggak pernah pacaran sama sekali. Oh atau lo emang suka sama orang tapi sukanya dalam diam gitu?"
Deon menggeleng pelan, "Gue punya alasan dibalik itu semua. Alasan pertama, itu karena gue nggak mau ngelanggar janji gue ke temen masa kecil gue yang entah gimana kabarnya sekarang."
"Alasan kedua, cinta pertama gue akan tetap pada orang sama. Yaitu temen masa kecil gue."
Selly tertawa pelan, "Gue kira lo emang nggak bisa jatuh cinta atau nggak doyan cewek."
Deon berdecih. "Sembarangan!" ucapnya seraya menoyor pelan kepala Selly.
"Aneh nggak, sih, Kak? Gue ngerasa pernah punya satu sahabat yang baik banget, itu sebelum Audi jadi sahabat gue. Tapi gue nggak bisa ingat sama sekali."
"Kenapa?"
Selly menghela napas pelan, "Gue dulu pernah kecelakaan waktu umur delapan tahun, dan beginilah yang terjadi. Semua memori gue hilang seketika sehingga gue nggak ingat apapun yang udah terjadi."
"Waktu gue sadar, gue cuma ingat mama, sekaligus papa yang udah tenang disana. Tapi selain dua hal itu, gue nggak bisa ingat apa-apa. Setiap gue berusaha untuk mengingat-ingat, kepala gue selalu sakit, Kak."
Seketika Deon merasa iba. Ia menjadi tersentuh mendengar cerita Selly. Ternyata dibalik sosok Selly yang ia kenal, she have ever been in a hard time before.
Selly mengerjapkan matanya berulang kali, "Tunggu... kenapa gue malah curhat, sih?" Ia tertawa pelan.
Deon terkekeh, "It's okay. Curhat tinggal curhat aja susah amat. Hidup jangan dibikin ribet. Selagi ada orang yang siap dengerin cerita lo, kenapa enggak? Lagian gue siap buat jadi pendengar yang baik. Gue keep it secret, kok."
Selly mengangguk sekali.
Selly tiba-tiba saja berdiri, ia berniat untuk meninggalkan taman belakang sekolah.
"Eh, mau kemana lo?"
"Ke kelas."
"Ngapain? Bentar lagi juga istirahat."