****
Kalau kamu tanya di dunia ini bisa instan atau enggak, jawabannya tentu enggak. Semua ada prosesnya, contohnya mengenal kamu.
****
Gemercik air mengalir yang berasal dari shower dengan cepat membasahi sekujur tubuhnya. Ia menghela napas berat, kemudian ia menutup kedua matanya.
Selly.
Tunggu, kenapa malah Selly yang muncul begitu ia menutup kedua matanya? Apa ada yang salah dengan dirinya? Atau malah jangan-jangan dirinya jatuh cin-- Ah, tidak mungkin dan jangan sampai.
Di hati lo cuma ada Ana, Yon.
Kemudian ia menggeleng pelan. Seketika Deon jadi teringat kalau besok ada PR Matematika yang harus dikumpulkan jika tak mau mendapatkan nilai nol sekaligus hukuman mematikan dari Bu Ai.
Dengan cepat ia menyelesaikan ritual mandinya.
Beberapa saat kemudian cowok itu pun keluar dengan handuk yang hanya membaluti bagian bawah tubuhnya saja alias half naked, menampakan roti sobek miliknya yang tercetak dengan sempurna. Cewek manapun yang melihatnya dijamin akan berteriak kagum.
Setelah memakai baju lengkap dengan celananya, ia bercermin di kaca yang ukurannya lumayan besar jika dikira-kira. Jari-jemarinya terangkat menyisir rambutnya yang masih basah. Ia sengaja untuk tidak menyisirnya dulu. Toh, saat ini ia sedang merasa lumayan mager alias malas gerak.
Deon berjalan kearah meja belajar berniat untuk mengambil buku Matamatika miliknya. Namun ternyata benda itu tak ada disana. Padahal seingatnya kemarin malam ia menaruhnya disana setelah mempelajari beberapa materi.
Tidak mungkin seseorang telah mencurinya, kan?
Lagipula memangnya ada orang yang doyan Matematika seperti dirinya? Memang ada, sih, tapi jumlahnya tentu tak sebanyak itu.
Ia menggeledah laci meja belajarnya dan tak mendapati buku itu disana. Matanya tak sengaja menangkap tas miliknya yang tergeletak di dekat meja belajarnya. Dengan cepat diraihnya tas itu dan mengecek isinya apakah buku itu ada disana atau tidak.
Dan... dapat. Ternyata bukunya memang ada disana. Hanya saja sedikit sulit untuk ditemukan karena buku Matematika miliknya itu ternyata terselip di buku Sosiologi. Entah bagaimana sampai bisa nyasar begitu.
Suara dentingan notifikasi ponsel memecahkan keheningan yang ada membuat Deon terheran-heran karena tidak mungkin ponsel miliknya yang memang sebelum ia mandi sudah di power off kini berbunyi. Ia juga belum menyalakannya. Jangankan menyalakannya, semenjak ia keluar kamar mandi saja ia belum menyentuh benda pipih itu sama sekali. Lalu, ponsel siapa?
Suara notifikasi itu berbunyi berkali-kali dan kebetulan suaranya berasal dari dalam tas. Setelah berusaha untuk mencarinya, cowok itu menemukan sebuah ponsel yang terselip diantara buku-buku miliknya. Dengan penasaran, Deon akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan ponsel itu.
Punya siapa?
Kedua alisnya saling bertaut, mengira-ngira siapa pemilik dari ponsel tersebut. Beberapa detik kemudian ia baru sadar siapa pemiliknya. Bukankah tadi ia sendiri yang menyita ponsel Selly ketika mereka sedang makan di cafe?
Hanya untuk memastikan, ia mengetes dengan cara menelfon nomor si pemilik melalui ponselnya dan benar saja, tersambung. Itu memang milik Selly.
Bagaimana dirinya itu bisa lupa untuk mengembalikannya?
Diliriknya jam dinding yang bertengger sempurna di tembok bercat putih pucat itu. Ia berniat untuk mengembalikan benda pipih itu kepada sang pemilik, tapi waktu kini telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Apa tidak terlalu mengganggu jika ia pergi ke rumah Selly, mengetuk pintu kemudian mengembalikan ponsel itu?
Tapi sedari tadi banyak notifikasi dari berbagai sosial media yang masuk. Deon sendiri saja sudah pusing mendengar suara notifikasi tersebut. Mungkin salah satunya terdapat pesan penting.
Dengan gerakan cepat, Deon kembali ke kamar mandi, meraih hairdryer, dan langsung mengeringkan rambutnya. Setelah selesai, ia mengambil kunci motornya yang tergeletak di atas nakas dan segera meluncur ke rumah Selly.
Masa bodoh dengan tugas Matematika-nya. All he need to do is just santuy, mengingat otaknya yang begitu encer sehingga ia bisa mendapatkan nilai sempurna dengan mudah. Semua itu juga berkat kerja kerasnya.
Nothing is impossible right?
Kalau ada usaha, semuanya bisa menjadi mungkin. Dan tentunya usaha tak akan menghianati hasil.
Kini Deon telah sampai di depan rumah Selly. Dari luar jendela, bisa dilihat lampu sudah dimatikan. Bisa dipastikan mama Selly sudah tidur dan tak mungkin Deon harus mengganggu beliau, kan?
Entah kepikiran dari mana, Deon sedikit menengadahkan kepalanya keatas dimana bisa terlihat jendela kamar Selly yang sedikit terbuka, mempersilakan angin malam yang berhembus dengan lembut untuk masuk kedalam kamar. Lampunya juga kebetulan masih menyala. Gadis itu belum tidur rupanya.
Ia tersenyum miring. Dengan harapan ia akan baik-baik saja, Deon mulai memanjat pohon tua yang dengan sengaja menghiasi halaman rumah Selly.
Cowok itu tersenyum kecil melihat Selly yang sedang menggerutu sendiri karena kesusahan mengerjakan PR, lagi-lagi mata pelajaran Matematika.
Ia mengetuk jendela kamar Selly tiga kali membuat sang pemilik kamar menoleh dengan raut wajah penuh keterkejutan dengan kedatangannya. Cowok itu melambaikan tangannya kearah Selly dan langsung dibalas pelototan tajam dari Selly. Cewek itu berjalan mendekat kearah jendela menghampiri Deon.
"Lo ngapain kesini?" bisiknya pelan, tidak ingin membuat mamanya terbangun. Bisa habis nanti kalau ketahuan mamanya. Dikira macam-macam.
Deon berdecak pelan, "Gue boleh masuk nggak, nih? Gue jatuh lo mau tanggungjawab?"
"Ngomong difilter dulu, kek. Yaudah lo boleh masuk tapi janji dulu. L-lo nggak bakal ngapa-ngapain gue, kan?"
Deon tertawa pelan, "Ya nggak, lah. Otak gue masih waras. Gue janji nggak bakal ngapa-ngapain lo."
Deon mengulurkan jari kelingkingnya kearah Selly dan langsung dibalas oleh Selly. Ia harus percaya bahwa Deon itu cowok baik-baik. Cowok itu pun melangkah masuk ke kamar Selly tentunya dengan izin dari sang pemilik.
"Cepet jelasin ke gue!"
Deon mengangkat salah satu alisnya bingung, "Jelasin apa?"
"Menurut lo?" sewot Selly.