****
Kenyataan itu nggak selamanya seperti ice cream yang manis.
****
Luna kini sedang memilih-milih bahan roti di sebuah toko bahan kue ternama di Jakarta. Rencananya, hari ini ia akan membuat cupcakes kesukaan Selly. Pasti anak gadisnya itu senang kalau pulang sekolah langsung disambut dengan cupcakes.
Tangan Luna terangkat menyusuri bagian topping dan akhirnya menemukan topping kesukaan Selly, yakni sprinkles. Ketika ia meraihnya tiba-tiba saja ada sebuah tangan yang juga ingin meraih sprinkles itu. Sedangkan stok sprinkles yang tersisa di rak tersebut hanyalah satu buah.
Luna menoleh untuk melihat siapa orang itu. Seorang wanita paruh baya yang seumuran dengannya. Entah kenapa Luna jadi merasa tak asing melihat perempuan itu. Beberapa detik kemudian ia membulatkan matanya ketika ingat siapa perempuan itu.
"Eh, Arin?" panggil Luna seraya memperlihatkan senyumannya.
Perempuan yang merasa terpanggil namanya itu menoleh. Ia juga merasa kenal dengan Luna. "L-Luna? Luna, kan?" ucap Arin bersemangat.
Luna mengangguk. "Iya! Aduh Arin, gimana kabarnya?"
Arin dan Luna berpelukkan. Mereka saling melepas rindu. "Baik. Kamu sendiri gimana kabarnya, Na?"
"Baik juga."
"Udah lama kita nggak ketemu, ya?"
"Iya, sejak aku sama anakku pindah keluar kota."
"Sampai Deon merengek tiap hari, loh, dulu. Gara-gara nggak ada teman main lagi. Katanya nggak mau main sama yang lain kalau bukan Selly. Katanya nggak seru."
Luna terkekeh, "Oh iya?"
"Iya. Terus kamu sekarang menetap di Jakarta lagi?" tanya Arin.
Luna mengangguk. "Selly juga sekolah disini. Di SMA Moonlight."
"Loh, sekolah di SMA Moonlight juga? Wah, kebetulan banget! Deon juga sekolah disitu!"
"Udah takdir kali, mereka ketemu lagi. Kalau mereka ketemu pasti mereka seneng."
"Pasti. Mereka, kan, nurun kita, Rin. Udah sahabatan dari kecil sama kayak kita."
"Iya. Kalau bisa mereka nikah aja sekalian."
Arin terkekeh. "Setuju, setuju banget aku."
"Omong-omong, sprinkles-nya kamu ambil aja. Nggak apa-apa, kok, Rin." Luna menyodorkan sprinkles yang ada di tangannya kearah Arin.
Arin mendorong tangan Luna yang membawa sprinkles dengan perlahan. "Eh, nggak usah. Aku masih ada dirumah. Tadi cuma lagi mau ngestok aja, sih. Udah, kamu ambil aja."
"Oh, yaudah. Makasi ya, Rin."
"Kamu ini, jangan bilang makasi, dong. Kita, kan, udah kayak saudara."
Luna mengangguk.
"Gini aja. Habis ini kita bayar belanjaan kita terus kita nongkrong di cafe buat ngomong-ngomong. Gimana?"
"Boleh banget. Ayo!"
****