Prick Of Heart

Elia Gracecia
Chapter #6

Chapter Empat - Kenyataan

****

Memang berat, tapi inilah hidup. Ada yang datang dan pergi, ada suka maupun duka.

****

Selly mulai tertarik dengan ucapan Laudia, apa yang membuatnya begitu senang sampai-sampai teriakannya menggelegar hingga menusuk telinga. "Haduh, ada apa dengan sahabat gue ini? Kok kayaknya lagi seneng gitu?" tanya Selly dengan nada yang tiba-tiba saja menjadi lembut.

"Gue..." Laudia sengaja menggantungkan perkataannya.

"Lo kenapa?" tanya Selly dengan kepo, tak sabar dengan kelanjutan dari ucapan Laudia.

"Habis dichat sama Kak Rian, astaga!!!"

Selly menepok jidatnya, ia kira ada apa. Rupanya soal cowok. Lagi.

****

"Deon," ucap seorang wanita paruh baya sambil tersenyum menatap putranya yang baru saja menginjakkan kakinya kembali setelah beberapa hari tidak pulang. Dia Arin, mama Deon.

"Son, where have you've been?" tanya Vince, papa tiri Deon ketika cowok itu melewati ruang tengah. Langkahnya terhenti sebentar, matanya melirik sekilas papanya itu. Lalu ia melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.

"Deon, jawab Papa! Kemana saja kamu? Dan apa maksud luka di sudut bibirmu itu?" Suara papanya membuat langkahnya terhenti untuk kedua kalinya.

"Bang, lo nggak apa-apa, kan?" tanya Dino, adik Deon yang duduk disebelah papanya itu. Raut wajahnya terlihat khawatir dengan kondisi kakaknya itu.

Deon menghela nafas kasar, ia menatap tajam pria paruh baya yang ada di depannya itu, "Nggak usah berlagak sok peduli sama gue. Lo itu bukan papa gue, melainkan hanya orang asing yang tiba-tiba datang dan... menghancurkan keluarga gue dengan cara ngebunuh papa gue. Itu kan yang lo pengen? Gue nggak akan pernah anggap lo sebagai papa gue, jadi lebih baik simpan harapan lo yang berlebihan itu!"

"DEON! Please, Mama mohon stop. Kembali ke rumah ini lagi ya, Nak?" Arin sudah setengah menangis saat ini, membuat Deon luluh dengan sendirinya. Ia tidak tega perempuan manapun menangis seperti ini, apalagi Arin adalah mama kandungnya sendiri.

Deon menghela nafas gusar. Tatapannya melembut ketika menatap sang mama tercinta, "Maaf, Ma. Tapi Deon masih butuh waktu buat nenangin diri. Tapi Deon janji, Deon nggak akan lama. Deon kesini cuma mau ngambil barang Deon yang memang kebetulan saja ketinggalan. Deon keatas dulu ya, Ma?" Cowok itu melenggang pergi ke kamar miliknya yang berada di lantai dua.

Ya, setelah mengantar Selly pulang dengan selamat, Deon memang tidak langsung ke apartmen miliknya melainkan ke rumahnya untuk mengambil barang yang tertinggal disana. Namun ia justru mendapatkan hal yang tidak menyenangkan. Amarahnya tidak pernah turun setiap kali ia bertemu dengan pria paruh baya itu. Sebuah kenyataan pahit. Pria paruh baya yang menjadi papa tirinya, orang yang sudah menyebabkan papa kandungnya meninggal dunia.

Kala itu Deon hanya seorang bocah laki-laki kecil yang tidak tahu soal masalah beginian, tapi merasa seolah-olah dirinya itu orang paling menderita sedunia. Padahal kalau Deon boleh berbalik ke belakang, masih banyak anak diluar sana yang lebih keadaannya buruk darinya-- contohnya yatim piatu.

Seharusnya ia sadar akan hal itu. Seiring berjalannya waktu pun, Deon masih belum lebih tepatnya mungkin tidak akan pernah menerima kenyataan bahwa hero-nya tergantikan dengan oranglain yang tidak Deon kenali-- apalagi orang itu adalah orang yang menabrak papanya hingga berada di ambang kematian, meninggal.

Walaupun sama-sama berperan sebagai seorang ayah, tapi yang satu ini pasti berbeda. Sifat bencinya tidak pernah sirna setiap kali bertatap mata dengan papa tirinya itu.

Ting

Suara dentingan lift memecahkan lamunannya, Deon melangkah keluar dan berjalan masuk ke apartmen miliknya setelah memasukkan password. Ia melempar asal plastik belanjaan miliknya itu dan merebahkan tubuhnya di kasur kingsize miliknya.

Hari ini sungguh melelahkan baginya, cukup menguras emosi. Mengurus MOS, bertemu dengan cewek menyebalkan itu, melawan preman, dan perdebatan dengan papa tirinya.

Kedatangannya tadi ke rumah bukan untuk mencari masalah, ia hanya berniat untuk mengambil beberapa barang yang tertinggal disana. Karena ia telah memutuskan untuk tinggal di apartment daripada bertatap muka setiap hari dengan keluarganya itu. Menurutnya buat apa berkumpul jika tidak ada keharmonisan.

Yang ia butuhkan sekarang adalah hiburan. Untuk melepaskan penat dan kekesalan yang ada di dirinya itu. Ia merogoh sakunya, mengambil ponselnya lalu segera mengabari kedua temannya itu-- melalui groupchat dengan nama yang diberi apa adanya saja.

Triple Human

Lihat selengkapnya