Tiga burung merak putih atau biasa disebut burung albino tengah mengepakkan bulu ekornya yang sangat indah. Di tengah hutan yang rindang disertai air terjun yang jernih begitu sangat menyejukkan di setiap mata memandang. Malam ini sengaja ku tuntaskan pekerjaan-pekerjaan pentingku yang tertunda. Apa lagi kalau bukan pekerjaan melukis. Ku dudukkan diriku senyaman mungkin mengahadap kanvas. Tangan kananku menggenggam kuas yang sudah ku goreskan dalam kanvas. Sedangkan tangan kiriku menggenggam palet yang sudah dipenuhi berbagai macam cat lukis. Untuk menghilangkan kesunyian dalam kamar yang luas ini, ku senandungkan irama dari mulutku mengikuti alunan musik di speaker aktif. Ku anggukkan kepalaku ke atas dan ke bawah mengikuti irama musik yang tenang.
“Ayaaa!!!”
Dor... dor... dor...
Mama tuh kalo ngetuk pintu kebiasaan nggak pernah nyantay. Kuhampiri pintu yang berisik itu dan membukanya memperlihatkan mama yang mungkin baru pulang dari Ayana’s Batik atau Batik Ayana. Iya, mama memang sengaja memberikan nama itu sejak aku lahir katanya.
Tas yang masih tergendong di bahu kanan dan raut muka yang melelahkan membuatku begitu yakin kalau mama benar-benar baru pulang dari kerja.
“Buatin mama susu ya. Capek.” Mama memijat-mijat bahu kirinya yang digelantungi oleh tas bermacam-macam.
“Oqeehh..” aku mengangguk seraya menyatukan jemari antara jempol dan telunjuk hingga membentuk O.
“Kalau udah selesai taruh aja di meja ruang tamu. Mama mau mandi air anget dulu.” Mama berjalan meninggalkanku menuju kamarnya dan aku pun juga melangkah meninggalkan kamar menuju dapur.
“Rebus dulu airnya.” Gumamku seraya mengambil panci kecil sebagai wadah air. Ku topangkan panci itu di atas kompor lalu kunyalakan apinya.
“Susu.. Susu..” Telunjukku mencari-cari kaleng susu kental manis di dalam rak yang menggantung di dinding. Kupersiapkan semuanya dari gelas, susu dan gula. Tinggal menunggu air panasnya matang, ku dudukkan diriku di atas kursi makan seraya menggenggam gelas kaca berisi susu kental.
“Besok lukis apa lagi ya? Karikatur udah, tiga dimensi udah.” Ku renungkan sekali lagi lukisan apa yang belum sama sekali ku lukis.
Setiap setahun sekali di Gedung Artha selalu mengadakan pameran lukisan. Disitu dari para seniman hingga para pelajar sekolah bisa mengajukan hasil karyanya untuk di pamerkan untuk khalayak umum. Bebas tema apapun itu. langsung saja setelah ku ketahui pengumuman itu, tanpa basa-basi aku menghubungi salah satu panitia untuk ikut memamerkan hasil karyaku sendiri. Dari tahun 2015, aku mengikuti pameran itu secara berturut-turut. Apalagi pujian orang-orang melihat karyaku cukup mengesankan membuatku lebih semangat berkarya.
Tiba-tiba suara uapan air yang ku rebus bergejolak membuatku tersadar. Cepat-cepat ku matikan kompor itu dan mengangkat panci, menuangkan air panas ke dalam gelas dengan hati-hati. Lalu ku antarkan susu itu ke meja ruang tamu dimana mama sudah berselonjoran kaki, merebahkan tubuhnya yang sangat lelah.
“Nih susunya diminum ma.” Ku letakkan susu itu di atas meja. Mama bangkit dari rebahannya, mengambil susu hangat, meminumnya hingga setengah gelas. Susu itu memang panas tapi karena ku campur dengan air biasa, menjadikan susu hangat.
Aku ikut duduk di samping mama. Melipat kedua kakiku.
“Udah selesai belajar kamu?” tanya mama seraya meletakkan susu di meja. Mendengar kata belajar, tiba-tiba otakku langsung berputar mengingat pada pesan yang sudah ku baca tadi siang dari grup kelas. Jangan lupa besok Senin ada ulangan harian Ekonomi. (pesan dari sang ketua kelas). Wah, benar.. benar.. Hari Senin adalah hari yang sangat tidak bersahabat. Apalagi saat ku tengok jam dinding besar yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam membuatku melebarkan mata. Hari ini sama sekali aku belum menyentuh buku pelajaran satu pun.
“Heh?!” mama menampar pahaku hingga aku ikut terlonjak menegakkan badan.
“Belum ma. Aku ke kamar dulu ya mau belajar.” Aku beranjak dari tempat duduk dan berlari terbirit-birit mengejar waktu yang mepet.
“Jam sepuluh harus udah tidur.” mama berteriak dan kubalas dengan jempol.
:):):)
“Mama.. Aya berangkat pagi.” Ku talikan kedua sepatuku dengan tergesa-gesa dan menyambar tas ransel cokelat.
“Ya udah mama juga sekalian berangkat pagi. Ini sarapan nasi kamu mama kasih ke kotak makan. Jangan lupa juga dimakan, ntar malah beli kamu. Sarapannya jadi basi lagi kalo nggak kamu makan.” Ucap mama tergesa-gesa juga, membuatku menghela napas.
“Nih.. DIMAKAN jangan sampai lupa.” Mama menyodorkan kotak makan kepadaku dan kuraih kotak itu, kumasukkan dalam tas dengan cepat. Aku dan mama berjalan menuju mobil yang sudah bersiap di depan. Lalu mama mengunci pintu utama.
“Oh ya sebentar, baju pesenan pelanggan mama ketinggalan.” Baru saja bunyi ‘jeglek’ dari kusen pintu mengunci, tapi mama membukanya lagi karena barang yang tertinggal. Aku menunggu di ambang pintu seraya menatap jam tangan cokelat yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Ku hentak-hentakkan ujung kaki kananku menunggu mama.
“Ayo-ayo berangkat.” Mama kembali dan mengunci pintu itu. Lalu kami memasuki mobil putih mungil, yang biasa buat kami berangkat. Baruu sajaa kami mendudukkan diri di jok siap berangkat, tapi..
“Eh kontak mobil kemana?” ucap mama yang menatapku dengan kacamata hitam bertengger di hidungnya.
“Ya nggak tauu..” ku angkat kedua bahuku tanda tak mengerti.