Jesselin sering berkhayal seorang pria menariknya dari lembah hitam yang bertahun-tahun dia jalani. Namun, harapannya hanya sebatas mimpi. Dia sadar betul, dari mana asalnya. Tidak ada yang mau menerima kondisinya.
Setetes air mata jatuh tanpa Jesselin sadari. Kasihan sekali, di balik senyum manisnya, selalu ada luka yang membayangi.
"Tambah nggak, Neng?" Bartender yang dari tadi menatap Jesselin bertanya dengan hati-hati.
"Udah, Bang Iyan, kepalaku pusing," jawabnya. Jesselin menyodorkan tiga lembar uang seratus ribuan kepada bartender itu. "Ambil aja kembaliannya, Bang."
"Thanks ya, Neng."Jesselin tersenyum dalam anggukan.
"Neng, ini … buat lap. Nanti maskaranya luntur." Bartender itu menyodorkan sekotak tisu kecil.
"Gue pakai yang Waterproof, Bang. Mau hujan badai gak bakal luntur," ujar Jesselin menimpali. Dia masih bisa bercanda dalam kondisi lagi patah hati.
"Anggap aja bonus, Neng," seloroh Iyan disertai gelak tawa keduanya.
Iyan sudah sering kali melihat berbagai pemandangan yang tak lazim di diskotik. Entah wanita yang saling menjambak hanya karena hal sepele. Seorang wanita yang menciptakan keributan karena memergoki lelakinya. Atau sesama pengunjung pria yang adu jotos karena memperebutkan wanita untuk diajak kencan. Dan untuk pertama kalinya, Iyan melihat Jesselin menangis. Hal yang tidak pernah dia temui selama bekerja di tempat itu. Dia merasa kasihan, tetapi enggan bertanya. Bukan haknya untuk ikut campur masalah pribadi orang, meskipun mereka cukup dekat.
Pengar yang dirasakan Jesselin semakin tak tertahankan. Dia segera beranjak dari diskotik. Langkahnya gontai menuju area parkir. Sesekali terdengar meracau saat pengunjung lain mendahuluinya. Sepertinya dia dalam kondisi setengah sadar karena terlalu banyak menenggak alkoh0l.
"Sh*t!" umpatnya saat tidak berhasil membuka pintu mobil. Dia kembali mengumpat ketika kunci di tangannya terjatuh.
Setelah dibantu oleh security, barulah mobil itu terbuka. Jesselin memacu fortunernya meninggalkan Peanthouse Club. Jalanan yang lengang membuat Jesselin tertantang untuk memacu adrenalin dengan menambah laju kendaraan. Dia sama sekali tidak menghiraukan bahaya yang mengintai.
Tanpa Jesselin sadari, dari arah berlawanan, sebuah mobil melaju dengan kencang. Bunyi klakson yang nyaring sontak menyadarkan Jesselin—yang setengah mengantuk. Sorot lampu mobil yang menyilau mata membuat Jesselin membanting setir ke arah kiri dan berhasil menghindari tabrakan itu.
Beberapa meter ke depan, Jesselin kembali dikejutkan oleh seseorang yang hendak menyebrang jalan. Sontak gadis berambut ikal itu menginjak pedal rem. Decit ban terdengar sangat jelas seiring kepalanya yang terpental pada kemudi. Jesselin yang masih syok mencoba mengatur napas saat mengetahui dia baru saja selamat dari maut.
Tiba-tiba, Jesselin teringat sesuatu. Ya, dia tadi menghindari seseorang yang hendak menyebrang.
"Oh, sh*t!" rutuknya.
Cepat-cepat Jesselin membuka safety belt, kemudian berlari ke depan mobil untuk memastikan orang yang ditabraknya. Dia menghampiri pria yang tersungkur di sisi trotoar, lalu berjongkok untuk memutar tubuh orang itu.
"Mas, enggak apa-apa?" tanya Jesselin. Dia membantu pria tersebut untuk duduk.
"Ada yang luka enggak, Mas?" Jesselin bertanya lagi saat melihat pria itu meringis memegangi lengannya.
Pria itu menggeleng. "Saya enggak apa-apa, Mbak," ucapnya beranjak sembari memeriksa lengan. "Cuma luka baret, besok juga sembuh."
Jesselin bernapas lega. Nyaris saja dia membahayakan nyawa orang lain akibat keteledorannya. Dia berlari kecil ke arah mobil mengambil air mineral kemudian menyerahkannya kepada pria itu.
"Minum dulu, Mas pasti kaget." Pria itu menerima botol tersebut, kemudian meneguk isinya hingga tandas.
"Saya antar pulang, ya, Mas," tawar Jesselin menatap pria itu lekat.
Pria itu menggeleng. Dia sangat tidak nyaman dengan pemandangan di hadapannya. Bukan hanya pakaian Jesselin yang sangat mini, bau alkohol yang menyeruak pun membuatnya ingin muntah.
"Enggak perlu, Mbak. Saya baik-baik saja," ucapnya seperti sedang menahan mual.
Jesselin merasa risi ditatap seperti itu. Baru kali ini pria yang dia temui alergi dengan bau alkohol dan dress mini. Biasanya juga candu.
"Ini pakai jaket saya, Mbak," tawar pria itu sembari menyerahkan jaket yang dia kenakan.
Jesselin menerima, lalu menutupi pundaknya yang memakai dress tanpa lengan. Pria di hadapannya memalingkan pandangan. Jesselin mengeratkan jaket itu agar menutupi bagian dadanya yang memakai baju dengan belahan rendah.