Jesselin menjambak rambutnya kasar. Tangisnya pecah setelah Herman meninggalkannya. Meringkuk di sisi sofa dan meratapi nasib, hanya itu yang bisa dia lakukan. Ingin rasanya berteriak kencang untuk meluapkan emosi yang menyesakkan dada. Namun percuma.
Ingin marah, tetapi kepada siapa? Bukankah ini balasan yang pantas untuk wanita penjaja sepertinya? Dicampakkan oleh pria. Jesselin saja yang bodoh, karena terlalu berharap dengan hubungan yang jelas-jelas salah.
Stop expecting more!
Kata-kata itu selalu terngiang di benak Jesselin. Seperti suara yang terus menggema dari dalam gua.
"Mereka benar, perempuan sepertiku tidak punya harga diri. Mereka membayar mahal untuk sebuah kenikmatan. Tidak ada cinta, apalagi akhir yang indah," ucapnya menyeringai dengan air mata tertahan.
Jesselin beranjak menuju kulkas, mencari minuman keras agar bisa menenangkan pikirannya. Diteguknya alkohol itu, sembari berucap tak karuan. Satu teguk, dua teguk … hingga isinya tandas. Hidup memang ironis. Andai saja orang tuanya masih ada, Jesselin pasti tidak sehina sekarang. Perlahan bayangan masa lalunya kembali muncul, layaknya film yang diputar satu per satu.
***
"Jesselin, Sayang, kamu mau lanjut kuliah di mana?" tanya mommynya.
"Oxford University. Faculty of Law. Jesselin ingin memberi perlindungan hukum bagi siapa saja yang tidak mendapatkan keadilan dan tidak mampu membayar pengacara," ucapnya kala itu.
"Kamu tidak perlu membebani dirimu dengan menjadi pengacara. Daddy nggak setuju." Pria penuh wibawa itu menyela ucapan putrinya.
"Biarkan anakmu menentukan pilihannya, Pa." Wanita di sampingnya berkata dengan lemah lembut.
"Jesselin, kamu satu-satunya anak Daddy. Kamu yang akan mewarisi perusahaan. Jadi kamu harus kuliah di Business Management."
"Come on, Dad. Daddy punya banyak karyawan, ada Uncle Kelvin yang bisa ngurus semuanya."
"No, Jesselin! Daddy sudah ketemu universitas yang cocok buatmu. London Business School. Kamu bisa kerja di perusahaan Daddy setelah menyelesaikan MBA di sana."
"Sudah, sudah, sekarang bukan waktunya berdebat. Habiskan makananmu dan berangkat sekolah," pungkas Mommy Jesselin.
Jesselin memanyunkan bibir dan mulai menyantap sarapan. Hanya suara dentingan sendok dan garpu yang terdengar sesekali memecah sunyi. Dia tahu betul, tidak ada yang bisa menentang keputusan daddynya. Bisa jadi perdebatan alot kalau terus diladeni.
"Ada yang mau Uncle antar ke sekolah?" Seorang pria muncul memecah kesunyian.
Jesselin mendongak. "Uncle Kelvin!" serunya.
"Kelvin, sarapanlah bersama kami. Kakak iparmu masak nasi goreng seafood hari ini," tawar Daddy.