Bekas luka sabetan rotan di pergelangan tangan kanan Eila belum hilang ketika nyeri baru ditambahkan di pipinya yang seketika basah oleh air mata. Kerasnya bunyi tamparan di pipi kiri itu terasa berdengung di telinga Eila yang tiba-tiba memiliki keahlian menangkap suara meski berada di kejauhan.
Perempuan tak tahu diri.
Eila tahu, itulah yang sedang digumamkan para bibi dan wanita muda yang ada di dekat rumah tinggalnya, sebuah paviliun dalam kompleks Jatmika yang merupakan kumpulan bangunan kokoh perpaduan kayu dan beton di atas tanah luas yang dikelilingi pepohonan teduh.
Bermodal cahaya lampu taman, para penonton mengintip dari sela tanaman, pohon, bahkan terang-terangan berdiri di luar paviliun berpura sedang menyapu, padahal biasanya tak ada kegiatan membersihkan halaman saat sudah malam.
“Jangan berani temui Ibu, sebelum ibu mertuamu memaafkan!”
Agni, ibu kandung Eila, menutup tamparan dengan peringatan yang terasa jauh lebih sakit dari nyeri di pipi Eila.
Tak ada sahutan dari Eila.
Tak berani Eila membalas ucapan Agni.
Bukan hanya takut ditampar lagi, tapi malu pada para pekerja yang menonton pendisiplinan dari Agni untuk anak perempuannya yang dianggap telah melakukan perbuatan durjana, yaitu pulang ke rumah Agni tanpa izin dari mertuanya.
Eila baru berani membuka mulut ketika Agni pulang dan pintu paviliun tertutup. Pelan-pelan Eila masuk ke kamar yang menurutnya terasa jauh lebih dingin dari udara di luar rumah.
“Padahal, aku hanya ingin pulang ke rumah sendiri,” ucap Eila sambil mengacak rambut cokelat bergelombangnya yang sudah berantakan semenjak diseret pulang dan ditampar Agni.
“Memangnya kita punya rumah, Nyonya?” tanya Sani sambil menyerahkan kompres pada majikannya yang terlihat membingungkan bagi asisten rumah tangga itu.
Pergelangan kanan Eila terluka, pipi kirinya yang putih mulus tampak memerah, dahinya samar memiliki memar. Namun, semua luka itu tak bisa menutupi wajah cantik Eila. Cemberut juga tak mengurangi keindahan bentuk hidung mancung dan mata besar Eila yang berwarna cokelat. Sani merasa heran pada Agni yang tega memukul putrinya yang termasuk sebagai wanita cantik di Nagendra.
Dengan tubuh setinggi 164 cm, Eila yang berkulit kuning langsat terlihat mendekati spesifikasi wanita sempurna di pandangan Sani yang bekulit sawo matang dan lebih pendek dari Eila. Sayang, kesempurnaan Eila tercela oleh bekas luka dan tamparan.
Berbeda dengan Sani yang memperhatikan luka fisiknya, Eila lebih memikirkan luka batinnya. Seraya menempelkan kain dingin di pipi kirinya, Eila merenungkan pertanyaan Sani.
Di bumi Nagendra, Eila tahu perempuan tak memiliki rumah.
Di tengah dunia modern, Nagendra yang terletak di wilayah pegunungan Arsa ketat memegang tradisi. Bahkan pemerintahan pun tak berani mengusik tatanan kehidupan Nagendra yang terjaga. Nagendra yang merupakan bagian dari wilayah kabupaten negara justru dibanggakan sebagai desa adat yang menjaga warisan tradisi leluhur. Padahal, menurut Eila banyak tradisi yang justru melestarikan penderitaan perempuan Nagendra.
Ketika masih anak-anak, perempuan menumpang di rumah orang tua sampai tiba waktunya menikah, mereka akan pindah ke rumah suami.
Rumah suami terlalu beruntung, kebanyakan justru terjebak di rumah mertua, seperti Eila saat ini.
Di usia 22 tahun Eila dipaksa pulang dari luar negeri meski pendidikannya belum selesai karena Eila harus menikah dengan Catra, anak kedua keluarga Jatmika. Keluarga yang disegani di Nagendra bahkan oleh tetua adat.
Eila tak mengenal Catra dengan baik selain mendengar citra buruk lelaki itu sebagai pria yang semena-mena. Sama-sama disekolahkan di luar negeri, Eila tak pernah bertemu langsung dengan Catra yang dipulangkan karena mengalami kecelakaan saat berkendara dalam keadaan mabuk.
Mimpi Eila menjadi wanita karir di luar Nagendra seketika patah saat ibunya menerima lamaran dengan mahar sangat besar untuk menikahkan Eila dengan Catra yang cacat. Cita-cita berkarir yang direstui mendiang ayah Eila pun seketika lenyap terbakar cahaya menyilaukan dari kekuasaan Jatmika.
“Bu, aku masih mau kuliah. Sedikit lagi selesai, aku ….”
“Takdirmu di Nagendra, Eila. Perempuan itu pada akhirnya menikah. Harusnya kau bersyukur dipinang keluarga Jatmika! Tak perlu bekerja, hidupmu terjamin!” sela Agni untuk mengakhiri protes sang putri.
“Tapi dia cacat!” Eila masih mencoba membuka pikiran Agni yang telah dibutakan harta dan takhta.
Tak hanya harta berupa uang miliaran, sapi, dan perkebunan. Eila juga diberi mahar berupa jabatan pemerintahan untuk kakak lelakinya. Dipandang sebagai wanita modern yang berpendidikan, Eila dipilih keluarga Jatmika untuk mendampingi putra mereka yang tak lagi sempurna.