Di ruang keluarga rumah utama Jatmika, Mahika memperhatikan wajah putra sulungnya. Janardana Jatmika tampak tenang mendengarkan wejangan Mahika. Lelaki berparas tampan dengan tinggi 176 cm itu berhasil menyembunyikan gundah.
“Tak perlu canggung, Janar. Ini hal biasa. Semoga Eila bisa segera memberimu keturunan,” ucap Mahika sembari menatap lekat wajah Janar yang membuatnya terkenang sang putra bungsu yang telah tiada.
Wajah Janar dan Catra berbeda, tapi sama-sama tampan karena ayah dan ibu mereka berwajah bagus. Mahika yang berkulit kuning langsat memiliki wajah tirus, sedangkan Praya berkulit putih bersih. Keduanya sama-sama memiliki hidung mancung yang terwariskan sempurna pada anak-anak mereka.
Janar tidak memelihara rambut di pipi atau dagu seperti Catra yang terlihat jantan dengan brewoknya. Wajah Janar tampak bersih tanpa brewok, tapi tetap terlihat tegas dan tampan dengan tatapan bola mata cokelatnya.
“Kau tak keberatan, kan?” tanya Mahika lagi sembari menyentuh rambut hitamnya yang tergulung rendah di belakang kepala.
“Kalau itu yang terbaik, aku tak keberatan,” jawab Janar.
Selama 28 tahun menjadi putra yang dibanggakan Mahika, Janar tak pernah membantah ibunya. Sama seperti ketika dua tahun lalu diminta menikahi Prisa, kini Janar pun tak menolak diminta menikahi janda dari adiknya. Padahal, Janar gelisah harus beristri dua.
“Setelah upacara pengesahan, kau boleh mengunjungi Eila di paviliun. Prisa tetap tinggal di sini,” ucap Mahika.
Janar menganggukkan kepala lalu berpamitan tanpa menanyakan apa pun lagi. Sebelum masuk ke kamar, Janar menemui ayahnya yang sedang memeriksa laporan perusahaan tembakau Jatmika.
“Ada apa, Janar?” tanya Praya.
“Besok aku akan menikahi Eila, bagaimana pertemuan dengan Tuan Benson?” tanya Janar.
“Ayah mundurkan setelah makan siang. Upacara pernikahan tak akan lama karena Eila hanya meneruskan kewajibannya di rumah ini,” jawab Praya seolah-olah pernikahan kedua Eila dan Janar bukanlah hal penting.
Janar termangu memandangi Praya yang masih serius memeriksa laporan keuangan. Sebenarnya hati kecil Janar ingin menanyakan banyak hal, tapi tatapan yang diberikan Praya ketika menoleh ke arahnya membuat Janar memilih tetap diam.
“Tak usah canggung, nikmati saja hakmu,” kata Praya sambil tersenyum.
Janar membalas senyuman, tapi di luar ruang kerja Praya, senyum Janar menghilang. Senyum itu baru kembali ketika Janar masuk ke kamar menemui Prisa, istrinya yang sedang menyajikan teh di meja.
Tak ada getaran dalam diri Janar ketika memandangi tubuh Prisa yang membayang dari pakaian tidurnya yang tipis. Rambut hitam lurus sepanjang dada yang dimiliki Prisa juga tak bisa menyembunyikan tubuh yang sengaja Prisa pamerkan untuk suaminya. Kulit putih mulus Prisa terlihat menantang. Namun, penatnya pikiran tak membuat Janar tergoda menyentuh wanita yang hanya enam senti lebih pendek darinya itu.
“Istirahatlah,” ucap Janar.
“Ya, kau tak ingin apa-apa lagi?” tanya Prisa.
“Tak ada. Terima kasih,” jawab Janar sopan sembari duduk untuk menikmati teh yang diberikan Prisa.
Di belakang Janar, Prisa terdiam memandangi suaminya yang akan menikahi wanita lain. Prisa tak menyangka kalau dia juga akan bernasib sama seperti wanita Nagendra lainnya, dimadu dengan alasan keturunan. Status sosial tinggi keluarganya ternyata tak mampu menyelamatkan Prisa dari kejamnya tradisi mengambil madu yang mereka anut.
“Nyonya Arra bilang, kalau kau tak lelah, mungkin hari ini seharusnya kita mencoba membuat anak,” ucap Prisa memberanikan diri.
Perlahan Janar meletakkan cangkir teh lalu menatap Prisa sambil tersenyum.
“Kalau kau ingin, ayo kita lakukan,” jawab Janar sembari berdiri.
Senyum tetap terkembang di wajah Prisa meski hatinya terasa hampa. Setiap sentuhan yang terjadi antara dirinya dan Janar tidak menjalarkan rasa hangat di hati wanita berparas ayu tersebut, padahal Prisa mencintai Janar bahkan sejak mereka masih remaja.
Hal yang sama dirasakan Janar. Kecantikan alami Prisa yang dirawat sejak kecil oleh keluarganya juga tak memberikan sensasi lain dalam diri Janar selain kenikmatan sementara yang tak menembus kekosongan hati Janar.
“Apa kurangku? Apa salahku? Apa lagi yang harus kulakukan?”
Prisa menjerit di dalam hati ketika membayangkan pernikahan yang akan dilaksanakan Janar esok hari. Ingin rasanya dia memprotes karena tak ikhlas berbagi suami dengan wanita lain. Namun, sama seperti Eila, Prisa tak memiliki hak itu, apalagi Prisa sadar dirinya belum berhasil melahirkan keturunan Jatmika.
“Maafkan aku karena belum berhasil memberimu anak,” bisik Prisa ketika menarik selimut untuk Janar yang berbaring di sampingnya.
“Tak apa, jangan menjadi beban. Istirahatlah, terima kasih,” balas Janar.
Meski tak mencintai wanita yang dua tahun lebih muda darinya itu, Janar ingin menjadi pria baik yang tak menyulitkan dan membebani wanita. Namun, janar tak tahu Prisa tetap terbebani.