Tak sampai dua jam, acara pernikahan selesai digelar. Para tetua dan keluarga sudah meninggalkan aula, menyisakan pelayan dan pekerja yang berebut makanan pesta.
Tanpa mencicipi makanan apa pun, Eila kembali ke paviliun. Hanya ditemani Sani, Eila mengeluarkan keluhannya yang risih menggunakan pakaian adat Nagendra yang membuatnya sulit berjalan juga merasa sesak napas.
“Tolong ambilkan minum, haus sekali,” pinta Eila.
“Baik, tunggu sebentar, Nyonya,” balas Sani.
Saat Sani mengambil minum, Eila yang tak sabaran mulai membuka kain yang melilit tubuhnya. Dalam keadaan berdiri, Eila membiarkan kain terlepas menjuntai begitu saja. Ketika mendengar pintu terbuka, Eila langsung berbalik untuk meminta bantuan Sani melepas kain yang tersangkut di bagian belakang pinggangnya.
“Sani, aku tak bisa membuka ….”
Eila tampak syok, matanya memelotot sembari menarik kain yang menjuntai untuk menutupi dadanya yang terbuka karena yang datang ternyata bukan Sani, tapi Janar.
Sama seperti Eila, Janar juga kaget melihat Eila yang tampil vulgar di hadapannya. Saat Eila menutupi dirinya yang telah terekspos, Janar mengalihkan pandangan ke arah lain.
“Maaf mengganggu, aku hanya ingin memberitahu kalau malam ini aku tidur di sini. Sekarang aku harus bekerja,” ucap Janar sebelum berbalik pergi.
Eila tak berkata apa-apa karena masih kaget, bukan hanya oleh kedatangan mendadak Janar, tapi juga oleh sikap suami barunya yang di luar prediksi.
Mengenal Catra sebagai lelaki beringas tak tahu sopan santun, Eila sangat kaget akan kesopanan Janar. Bukan hanya menjaga pandangan, pria itu bahkan berpamitan dan mau mengucap maaf.
“Apa mereka dari ibu yang sama? Jangan-jangan tertukar dengan anak lain,” gumam Eila heran.
Meski telah beberapa minggu menjadi adik ipar Janar, Eila tak mengenal pria yang kini menjadi suaminya itu. Janar tak datang ke pernikahan Catra karena ada keperluan di luar negeri.
Hanya mengirimkan kado berupa obat herbal yang dibuang Catra, Janar juga tak pernah mengunjungi paviliun Eila dan Catra. Selain itu, Eila dilarang Catra makan bersama di rumah utama. Jadi, saat upacara pernikahan mereka beberapa saat lalu, Eila dan Janar baru melihat dari dekat wajah satu sama lain.
“Nyonya, ini air minumnya, makanan sudah siap, setelahnya Nyonya harus minum ramuan lalu istirahat. Tuan Janar akan datang setelah makan malam,” kata Sani yang masuk ke kamar bersama pelayan.
Rasa muak merasuki diri Eila ketika mendengar kata ramuan. Namun, Eila diam saja. Dengan bantuan Sani, Eila mengganti pakaiannya dengan celana kulot dan blouse lengan panjang untuk menutupi bekas luka di pergelangannya. Sambil merapikan rambut, Eila keluar dari kamar menuju ruang makan.
“Ramuan apa saja itu?” tanya Eila sambil menunjuk gelas yang tertata di tepi meja makan.
“Ramuan wanita sehat dan kuat,” jawab Sani meniru ucapan kepala rumah tangga Jatmika.
Eila nyaris mengamuk, kesal dipaksa minum berbagai ramuan yang dia yakin fungsinya hanya untuk menyenangkan suami. Namun, amukannya tertahan di tenggorokan ketika mendengar langkah banyak kaki masuk ke paviliun. Eila yakin, yang datang adalah Mahika beserta dayang-dayangnya.
“Jangan makan dulu. Air minum saja, kau harus dipijat,” kata Mahika saat melihat Eila memegang sendok.
“Pijat apa?” tanya Eila jengkel.
Mahika juga kesal melihat menantunya yang masih saja berani bertanya-tanya. Kekesalan Mahika ditumpahkan dengan tidak memberi jawaban. Ditinggalkannya Eila setelah memberi peringatan pada Nyonya Arra, sang ahli pijat.