Primula Terakhir

Wnath
Chapter #5

5. Lebih Dekat

Janji yang diberikan Janar membuat Eila bersemangat menjalani hari dan pengobatan. Wajah pucatnya sudah berganti dengan semu kemerahan karena tak sabar keluar dari Nagendra yang terasa seperti penjara untuknya. Meski hanya untuk berbulan madu, hadiah yang diberikan Janar menjadi pemantik harapan bagi Eila kalau hidup dengan Janar tak akan semengerikan saat bersama Catra.

Setelah mendengar janji Janar, keesokan harinya Eila sudah sembuh dan diperbolehkan pulang. Hanya ditemani Sani dan sopir, Eila kembali ke kompleks Jatmika dengan lebih bersemangat.

Sebaliknya yang terjadi pada Prisa. Wanita itu murung saat mengemasi pakaian Janar yang akan dibawa bepergian ke luar negeri bersama Eila. Prisa iri pada hadiah yang akan diberikan Janar untuk Eila, padahal dulu dia juga mendapatkannya.

“Jangan menanamkan pikiran buruk kalau Janar lebih mencintainya. Belum tentu juga dia langsung hamil setelah bulan madu.”

Hiburan yang diucapkan ibunya tak mampu membendung kegelisahan Prisa. Hatinya tetap resah, sempurna cemburu karena dia tahu Janar akan bersenang-senang dengan wanita lain. Namun, Prisa tak mau menunjukkan kecemburuan di depan Janar.

“Adakah hal lain yang ingin kau bawa?” tanya Prisa saat Janar masuk ke kamar.

Janar baru saja pulang kerja dan sebenarnya terburu-buru ingin menengok Eila karena merasa bersalah tak menjemput istrinya di rumah sakit, tapi kini Janar merasa tak enak meninggalkan Prisa yang ternyata sedang membereskan kopernya. Padahal, Janar belum memberitahu tanggal keberangkatan.

“Tidak ada. Seharusnya kau tak perlu serepot ini. Terima kasih,” kata Janar sambil menepuk lengan Prisa.

“Kau yang seharusnya tak perlu terus mengucapkan terima kasih. Semua ini memang tugasku,” balas Prisa membuat langkah Janar terasa semakin berat.

Demi menjaga perasaan Prisa, Janar urung menengok Eila yang sebenarnya sama sekali tak mengharapkan kunjungan dari Janar atau siapa pun. Eila justru merasa senang karena tak ada yang mengganggunya di kamar, dengan suka cita diisinya koper sebagai persiapan berlibur.

Eila benar-benar tak mempermasalahkan Janar yang terjebak bersama Prisa yang menyuguhkan teh dan mengajaknya berbincang-bincang.

Pembicaraan patah-patah pasangan suami istri itu tersela oleh ketukan di pintu. Bergegas Prisa membuka pintu dan terkejut melihat Mahika di hadapannya.

“Apakah Janar di dalam? Bantu Ibu mengingatkan agar dia tak lupa menjalankan tanggung jawab pada Eila. Kamar pengantin mereka belum tersentuh,” kata Mahika.

Tak hanya Prisa yang merasa jantungnya seakan tertekan ketika mendengar ucapan Mahika, Janar yang mendengarnya juga merasa berdebar. Gelisah, bingung, dan agak malu membuat Janar tetap diam sampai Mahika benar-benar pergi setelah Prisa berjanji untuk mengingatkan Janar akan tanggung jawabnya.

“Kau mendengar ucapan Ibu?” tanya Prisa saat kembali ke dekat Janar.

“Ya,” jawab Janar sambil berdiri.

“Aku akan pergi setelah mandi,” ucap Janar seraya bergerak ke kamar mandi.

Sebenarnya Janar bisa membersihkan diri di paviliun Eila, tapi dia tak mau terkesan terburu-buru menjenguk madu Prisa. Padahal, sikap Janar tetap menyakiti Prisa yang cemburu melihat suaminya bersiap-siap memberi tampilan terbaik untuk menemui istri mudanya.

Namun, Prisa kuat menahan air matanya untuk tidak tumpah. Setegar karang, Prisa tetap duduk tegak di kursi memperhatikan Janar yang setelah selesai mandi berlanjut memakai parfum.

“Aku pergi,” kata Janar tenang sebelum meninggalkan kamar.

Satu langkah Janar keluar dari rumah utama, air mata Prisa baru berjatuhan.

“Andai aku langsung hamil, tak mungkin Janar dinikahkan dengan Eila yang bisa dipulangkan pada keluarganya,” sesal Prisa menyalahkan diri sendiri.

Di paviliunnya, Eila kembali merasa canggung menerima kedatangan Janar yang wangi. Dipersilakannya sang suami duduk lalu dituangkannya teh dengan hati-hati, tapi tetap saja ada cairan yang tumpah di luar cangkir.

“Maaf,” kata Eila sambil meraih tisu lalu mengelap meja dan alas cangkir.

“Eila, sebenarnya aku tidak menuntutmu terlalu kaku bila tak ada orang lain,” kata Janar.

“Maksudnya?” tanya Eila.

“Aku tahu kau berbeda dengan Prisa. Ayahmu tidak membesarkanmu dalam lingkup kecil Nagendra,” jawab Janar.

Dahi Eila mengerut, tapi Janar tetap melanjutkan bicara.

“Kau belum terbiasa dengan nilai-nilai tradisi yang terasa menjerat karena jiwamu sudah terkontaminasi kebebasan dunia luas,” lanjut Janar.

“Selama tak ada orang lain, apalagi orang tua kita, bersikap sesuai keinginanmu saja. Aku tak akan memarahimu,” kata Janar.

Tentu saja Eila terperangah, tak menyangka suaminya sangat bijaksana juga baik hati.

Lihat selengkapnya