Primula Terakhir

Wnath
Chapter #6

6. Tujuh Malam

Sani tak bisa menahan senyuman melihat kebahagiaan di wajah Eila. Sejak mengenal majikan mudanya yang bergaya dan trendy, Sani belum pernah melihat rona ceria di wajah Eila seperti pagi ini. Sebelum fajar datang, Eila sudah mandi bahkan mengantar Janar sampai di pintu paviliun karena pria itu akan kembali ke rumah utama.

Sudah dalam keadaan wangi dan cantik, Eila sarapan roti dan susu sambil menonton TV.

“Mungkin sentuhan Tuan Janar membuat Nyonya Eila terlihat lebih berseri-seri,” gumam Sani di dalam hati karena mengira Eila sudah menjalankan kewajibannya sebagai istri untuk Janar yang menginap di paviliun.

Padahal, tak ada yang terjadi antara Janar dan Eila karena selama Janar tinggal di pavilun, Eila tidur di ranjang, sedangkan Janar memilih tidur di sofa agar tidak mengganggu kenyamanan Eila.

 Yang membuat Eila senang adalah rencana keberangkatan mereka ke London hingga Eila pun bersemangat menjalani hari yang biasanya terasa menyebalkan baginya.

Semangat Eila juga membuat Janar heran karena tak menyangka Eila bisa bangun sangat pagi bahkan langsung membersihkan diri. Tak hanya itu, Janar juga baru tahu kalau setiap pagi Eila mencuci sendiri pakaian dalamnya. Padahal, sebelumnya Janar sempat mengira Eila adalah perempuan malas.

“Aku sekolah dengan beasiswa, kalau tak rajin, bagaimana aku akan bertahan? Setiap hari aku harus bangun pagi agar sempat belajar dan tak terlambat mengejar angkutan umum.”

Sambil mengguyur dirinya dengan air dari shower, Janar tersenyum mengingat jawaban yang diberikan Eila untuk keheranannya yang mempertanyakan kerajinan Eila.

“Kukira kau manusia modern yang malas dan semena-mena. Ternyata kau masih wanita Nagendra yang rajin. Aku senang melihatmu sudah lebih dulu cantik daripada bunga di halaman yang belum terkena matahari.”

Eila pun tersenyum mengingat balasan Janar yang disampaikan untuk memuji dan mengapresiasi Eila yang rajin.

“Kenapa tak sejak awal aku dinikahkan dengan dia saja?” tanya Eila di dalam hati ketika teringat ucapan kasar Catra yang tak pernah menyebutnya cantik.

Cepat-cepat Eila menepuk dahi karena merasa malu pada pertanyaannya. Seketika di dalam hati Eila mengucap maaf pada Prisa karena telah membayangkan hal yang tak boleh dia renungkan. Takdir Janar adalah menikahi Prisa sebagai yang pertama, sementara dirinya hanya bayangan Prisa.

Eila harus tahu diri, istri kedua tak boleh memiliki pikiran menyingkirkan istri pertama.

“Dia memang baik, tapi lebih baik lagi kalau aku diceraikan dan dibuang ke luar negeri. Akan lebih menyenangkan hidup mandiri di atas kaki sendiri daripada harus menerima suapan dari suami,” ucap Eila sambil menggigit roti.

Pemikiran Eila yang masih ingin terbebas dari Nagendra dan Jatmika membuatnya tetap berhati-hati pada Janar yang kembali di malam hari untuk menghabiskan tujuh malam bersama. Sama seperti sebelumnya, Janar tetap tidur di sofa.

“Sudah empat malam, kurang tiga hari lagi,” gumam Eila yang didengar Janar.

“Kenapa?” tanya Janar sambil melirik Eila yang menatapnya.

“Setelah pas tujuh hari, kau akan kembali tinggal bersama Kak Prisa, kan?” balas Eila.

“Ya, harus kembali dulu, tapi setelahnya aku tetap akan bergantian tidur di sini,” kata Janar.

Selama beberapa detik Eila menahan napas seraya memperhatikan Janar yang sedang memperbaiki bantal. Demi tidak membangkitkan kecurigaan orang lain kalau Janar tidur di sofa, mereka tidak mengambil selimut tambahan hingga keesokan harinya Janar mengalami bersin-bersin karena kedinginan.

Saat akan menemui Eila lagi di malam kelima, Janar mengenakan pakaian berlapis hingga Prisa agak keheranan.

“Aku akan mengirim lebih banyak pakaianmu ke tempat Eila, tak perlu memakai baju berlapis,” kata Prisa.

“Tidak apa-apa. Ini untuk perjalanan ke paviliun. Di luar agak dingin,” ucap Janar tanpa menatap Prisa yang memandanginya dengan sedikit heran.

Janar bukan kedinginan saat berjalan kaki dari rumah utama ke rumah Eila, tapi justru kedinginan saat berada di kamar. Janar berniat melapisi pakaian tidurnya dengan jaket rajut yang dia kenakan.

Namun, ternyata di atas sofa Eila sudah menyiapkan selimut tipis bergambar awan biru.

“Kau meminta selimut tambahan?” tanya Janar.

“Tidak, itu selimut bepergianku. Ada di lemari, tidak disimpan di ruang penyimpanan besar,” jawab Eila sambil mengangkat teko lalu menuangkan isinya ke dalam cangkir.

Asap langsung mengepul di atas cangkir yang telah berisi larutan berwarna agak cokelat.

“Ini ramuan jahe, sepertinya kau mulai terserang gejala flu. Maafkan aku,” kata Eila sambil menyodorkan cangkir ke dekat Janar lalu cepat-cepat kembali ke ranjang.

Tanpa menunggu Janar meminumnya, Eila langsung berbaring membelakangi hingga tak bisa melihat kalau Janar sedang tersenyum menatapnya. Setelah menikmati minuman hangat, Janar kembali memperhatikan Eila yang benar-benar terlelap.

Eila terbangun saat subuh dan terkejut karena Janar lebih dulu bangun bahkan sudah mandi. Yang mengejutkan Eila, Janar tetap duduk di kamar, tak langsung pergi ke rumah utama.

Lihat selengkapnya