Tujuh malam yang dilewati Janar bersama Eila membuatnya sedikit lebih dekat dan lebih mengenal sang istri yang sebelumnya dikabarkan sebagai pembuat onar. Meski tak menampik kenyataan tentang Eila yang pikirannya terlalu terbuka dan sering ceplas-ceplos hingga berpotensi membangkitkan kekesalan Mahika, Janar melihat banyak sisi baik dari Eila yang dianggap tak tahu aturan.
Eila memang membenci Nagendra dan tradisi pernikahan yang menjeratnya menjadi menantu Jatmika. Namun, Janar tahu Eila bukan perempuan tanpa aturan. Eila hidup dengan aturan, hanya saja dengan tata cara yang berbeda dari Nagendra.
Bila Nagendra membiasakan para wanita tunduk dan patuh apa kata lelaki dan tetua, Eila terbiasa diberi ruang untuk bicara menyampaikan aspirasi.
“Jadi, besok lusa kalian akan berangkat ke London? Apa malam ini kau akan tidur bersama Eila?” tanya Prisa membuyarkan lamunan Janar tentang Eila.
Setelah tujuh malam sakral berlalu, Janar belum bermalam dengan Eila lagi. Sudah dua malam Janar kembali ke peraduan Prisa dan rencananya akan kembali menemui Eila.
“Ya, besok lusa kami berangkat, tapi aku tidak tidur di sana. Besok saja,” jawab Janar sambil meluruskan kaki di atas sofa.
“Akan kupijat kakimu,” kata Prisa mengalihkan pembicaraan.
Sebelum Janar menolak, Prisa sudah berlutut di samping sofa lalu mulai menyentuh betis Janar yang tak tertutup karena Janar mengenakan celana selutut.
“Kau ingin menitip sesuatu?” tanya Janar saat tangan mulus Prisa mulai memberi pijatan di kakinya.
“Tidak ada. Bersenang-senang saja, kembali dengan selamat,” jawab Prisa sopan.
Janar tak bertanya-tanya lagi. Dibiarkannya Prisa tetap memijat selama tiga menit sebelum dia meminta Prisa beristirahat. Namun, Prisa tak bisa istirahat. Bayangan kebahagiaan menyenangkan Eila dan Janar di London membuatnya terjaga. Tak hanya semalam. Sampai malam berikutnya Prisa semakin sulit memejamkan mata. Prisa terus memperhatikan bantal Janar yang ditinggal pemiliknya.
Di paviliunnya, Eila malah sudah terlelap dengan wajah semringah. Tak sabar ingin segera meninggalkan Nagendra menuju negara tempatnya menimba ilmu, Eila bermimpi indah.
Di padang bunga yang bermekaran menyambut musim semi, Eila berlari ke arah kumpulan primula aneka warna yang seolah menariknya. Wajahnya dipenuhi tawa sampai tangannya tersentak terkena getaran alarm ponsel.
Sambil menggeliat, Eila membuka mata lalu segera bangkit dari ranjang dengan penuh semangat hingga Janar ikut terkejut.
“Kau sudah bangun?” tanya Janar kaget.
“Aku perlu bersiap lebih cepat. Kalau kau masih mengantuk, tidur saja lagi,” jawab Eila sambil melebarkan cengiran.
Tentu saja Janar tak bisa tidur lagi, saat Eila mandi, Janar memutuskan ikut bersiap. Tergopoh-gopoh pelayan di paviliun berlarian menyiapkan sarapan karena melihat Eila dan Janar sudah keluar dari kamar, padahal baru pukul 03.00 pagi.
Tak mau ketinggalan pesawat, Eila mempersiapkan diri sejak awal karena mereka harus menempuh perjalanan lumayan jauh menuju bandar udara. Sementara itu, pukul 04.00 Janar memutuskan pulang ke rumah utama untuk mengambil koper agar Eila tak terlalu lama menunggu.
Eila sangat tak sabar ingin segera berangkat hingga hampir setiap menit selalu melihat ke arah jam di dinding, di meja, di tangannya, juga di ponsel. Wajahnya selalu melebarkan senyuman ketika membayangkan suasana Inggris.
Pukul 05.00 pagi Eila menyeret koper ke teras. Meski Sani berteriak-teriak meminta dirinya saja yang membawakan, Eila menolak. Eila tak mau berpisah dengan koper yang akan menemaninya melepas rindu di luar Nagendra.