“Maaf,” kata Eila setelah bisa menguasai diri.
Pelan-pelan Eila melepas pelukan lalu berdiri untuk menghindari Janar sekaligus menyembunyikan dirinya yang mendadak kebingungan menghadapi sikap tenang Janar. Namun, Eila tak bisa bergerak karena Janar mencekal tangannya.
“Tetap di sini,” ucap Janar sambil mendudukkan Eila, sementara dirinya sendiri berdiri.
Seolah tersihir, Eila langsung duduk. Dipandanginya Janar yang bergerak keluar. Eila tak bisa mendengar suara Janar, tapi dia tahu pria itu bicara dengan Sani. Janar tetap berdiri di pintu selama setengah menit sampai Sani kembali.
Setelah menutup pintu, Janar kembali ke dekat Eila dengan baki berisi kompres dingin.
“Aku minta maaf karena tidak bisa mencegah tamparan Ibu,” kata Janar sembari mengompres pipi kiri Eila.
“Ke depannya aku harap bisa mencegah hal seperti ini. Aku tak bisa bergerak sendiri, aku butuh bantuanmu,” lanjut Janar.
“Seperti ucapanku sebelumnya, aku mohon gunakan kepala dingin untuk menghadapi situasi apa pun. Katakan keluhanmu padaku sebelum kau teriakan di depan orang lain. Aku tak bisa membantu kalau kau terus meledak-ledak seperti kompor korslet,” sambung Janar.
Dahi Eila mengerut mendengar ucapan tak masuk akal Janar tentang kompor korslet. Seketika kekesalannya berubah menjadi senyuman kecil walau hanya di dalam hati.
“Kenapa kompor korslet? Kenapa kau tak bilang saja aku seperti gardu listrik korslet? Aku bisa membakar seluruh komplek Jatmika bila terus dipancing amarah,” balas Eila.
“Kau tak akan melakukannya. Kau berpendidikan, kau tahu hukum,” kata Janar sambil tetap memegangi kain di pipi Eila sekaligus memandangi wajahnya.
“Eila, bisakah kita berteman baik?” tanya Janar tiba-tiba.
“Tak ada pertemanan dalam pernikahan, yang ada hanya kepatuhan kan? Jangan mencoba memanipulasiku dengan berpura-pura menjadi teman, padahal kau hanya ingin mengaturku sama seperti mereka,” jawab Eila tetap jujur meluapkan isi hatinya yang masih mencurigai niat baik Janar.
“Kenapa kau terus mencurigaiku? Kau kan belum mengenal baik siapa aku. Tak baik berprasangka buruk,” nasihat Janar hati-hati.
Baru beberapa hari menjadi suami Eila, Janar sudah mulai memahami bahwa istri mudanya berbeda dari Prisa. Eila mudah meledak, tapi sebenarnya juga mudah luluh bila diajak bicara baik-baik karena Janar tahu Eila adalah perempuan yang mau belajar.
“Apa kau bisa menarik hukuman Ibu?” tanya Eila menantang.
“Mungkin tidak sepenuhnya, tapi aku bisa menjadikannya tidak terlalu buruk,” jawab Janar.
“Tidak membantu,” keluh Eila sambil menepis tangan Janar dari pipinya, tapi Janar malah mencekal tangan Eila.
“Kau ingin bebas, kan?” tanya Janar tiba-tiba.