Janar berhasil meyakinkan Mahika untuk mencabut hukuman bagi Eila. Dengan dalih dirinya sendiri yang akan menertibkan sang istri, Mahika pun mengalah. Tentu saja Eila senang, tapi dia bersikap tenang.
Di dalam mobil yang dikendarai sopir, Eila memandang ke luar jendela. Tak dipedulikannya Janar yang memperhatikan wajahnya karena pikiran Eila melayang pada percakapan mereka serta tepatnya janji Janar untuk mengubah hukuman Mahika dari tak boleh keluar paviliun menjadi boleh dengan ditemani Janar.
“Ayo,” ajak Janar ketika mobil berhenti di lobi rumah sakit.
Pelan-pelan Eila berjalan di samping Janar yang disapa hormat oleh karyawan rumah sakit di luar kawasan Nagendra. Eila merasa agak canggung mendampingi Janar yang ternyata cukup terkenal juga dihormati banyak orang.
Sebelum masuk ke kamar Prisa, Eila menahan napas sesaat karena ada rasa janggal yang muncul. Namun, Eila berusaha tetap tenang ketika Janar membuka pintu.
“Prisa, apa kau membaik?” tanya Janar saat mendekati Prisa yang menoleh ke arah Janar dengan wajah semringah, tapi senyumanya meredup ketika melihat Eila di belakang Janar.
“Bukankah seharusnya kalian berangkat?” tanya Prisa setelah dua pelayan meninggalkan kamar.
“Tak mungkin aku berangkat saat kau di sini,” jawab Janar sembari duduk di tepi ranjang.
“Seharusnya tetap pergi, kasihan Eila,” kata Prisa.
Eila tak menanggapi ucapan Prisa karena perhatiannya tertuju pada ruang rawat. Pandangan Eila menyapu kertas pelapis dinding, lukisan, vas bunga, tirai, jendela, juga sofa yang dia duduki.
“Eila baik-baik saja, kami akan pergi lain waktu,” ucap Janar membuat Eila menoleh.
Memperhatikan Janar yang sedang menyentuh dahi Prisa, Eila merasakan keanehan sekaligus kegundahan. Eila merasa kesal berada dalam situasi yang menurutnya tak masuk akal. Eila bukan cemburu karena dia tak memiliki rasa cinta untuk Janar, tapi Eila merasa aneh karena melihat suaminya menyentuh wanita lain.
“Manusia ditakdirkan memiliki rasa cinta dan cemburu, tapi wanita Nagendra dituntut menumbuhkan rasa cinta saja dengan membunuh rasa cemburu. Sebenarnya, kami ini manusia atau siluman jagung yang tak boleh marah kalau jagung lain disentuh atau dipanen lebih dulu oleh pemiliknya?” tanya Eila di dalam hati.
“Ada apa Eila?” tegur Prisa yang merasa diperhatikan Eila.
“Tidak ada apa-apa. Semoga Kakak cepat sembuh,” balas Eila sambil tersenyum karena takut dikira cemburu.
“Maafkan aku karena merusak liburan kalian,” ucap Prisa bersungguh-sungguh.
Eila diam saja, tak bisa berbasa-basi kalau dirinya baik-baik saja karena sejujurnya dia memang kesal pada Prisa yang membuatnya gagal melihat musim semi di Inggris. Apalagi, setelah Eila tahu kalau Prisa hanya demam biasa.
“Kenapa dibawa ke rumah sakit kalau hanya demam? Apa dia sengaja karena tak rela Janar pergi bersamaku?” tanya Eila curiga, tapi hanya di dalam hati.
“Pulanglah, aku tak apa,” ucap Prisa saat dokter selesai memberi informasi kesehatan pada Janar.
“Ya, jaga dirimu. Sore nanti aku datang lagi,” balas Janar mengejutkan Eila karena sebenarnya belum setengah jam mereka menjenguk Prisa.
“Ya,” kata Prisa sambil tersenyum.
Tanpa basa-basi Janar mengajak Eila meninggalkan rumah sakit. Eila yang terheran-heran karena menurutnya Janar terlalu cepat pergi dan terkesan hanya basa-basi menemani Prisa.
“Kenapa cepat sekali?” tanya Eila heran.
“Prisa menyuruh kita pulang, dia tak suka ditemani. Jadi, lebih baik kita tidak mengganggunya,” jawab Janar santai.
Dahi Eila mengerut, agak heran dengan Janar dan Prisa. Namun, Eila membenarkan juga tindakan Janar karena mengira Prisa tak nyaman ditemani saat sakit. Padahal, Prisa hanya berbasa-basi. Saat Janar benar-benar pergi, Prisa sedih tak terkira karena menduga suaminya lebih memilih bersenang-senang dengan istri barunya yang masih muda.
Dugaan Prisa pun tak sepenuhnya salah. Setelah meninggalkan rumah sakit, Janar tak mengantar Eila kembali ke paviliun, tapi membawa Eila berkeliling dahulu sebelum memulangkannya.Meski tak keluar dari mobil, Eila sudah cukup senang.
Perjalanan di luar Nagendra yang diberikan Janar menjadi seperti obat bius untuk pemberontakan Eila. Selama tiga hari Eila bersikap tenang, tak meledak-ledak lagi meski dirinya masih sedih setiap mengingat batalnya liburan ke London.
“Nyonya Prisa sudah pulang,” lapor Sani ketika mengantar camilan.
Eila sedang duduk di teras sembari menyeruput teh, seperti biasa menikmati pagi sekaligus mengutuk penjara hidupnya yang berupa kompleks megah Jatmika. Diarahkannya pandangan ke bangunan utama, tapi tentu saja tak bisa menembus dinding kokoh tersebut. Eila tak tahu bagaimana keadaan Prisa atau Janar yang sudah tiga hari menemani Prisa.
Baru saja Eila akan menoleh, tiba-tiba terlihat Janar menyembul dari halaman belakang rumah utama lalu meneruskan langkah menuju paviliun.
“Tuan Janar kemari! Kami tidak menyiapkan sarapan, bagaimana ini?” tanya Sani panik.
“Tidak masalah, aku akan mengatasinya,” jawab Eila sambil menepis remah roti di pakaiannya lalu bersiap berdiri menyambut Janar karena takut ada mata-mata yang mengadu pada Mahika kalau dia mengabaikan suami.
“Hai, kau sedang sarapan?” sapa Janar saat melihat roti dan teh di meja.
“Aku tak tahu kau akan ke sini. Bagaimana keadaan Kak Prisa?” balas Eila.
“Prisa sudah baik-baik saja. Aku ke sini untuk mengajakmu keluar,” ucap Janar.
Bola mata Eila langsung membesar, takjub, dan tentu saja bahagia. Tanpa penolakan, Eila langsung mengikuti perintah Janar yang memintanya bersiap selagi Janar menunggu sopir menjemput di paviliun. Tak sampai sepuluh menit, Eila sudah melenggang masuk ke dalam mobil dengan penuh senyuman.
Wajah Eila semakin terlihat bahagia ketika menyadari mobil bergerak meninggalkan kawasan Nagendra.
“Kita mau ke mana?” tanya Eila saat mobil terus bergerak di kota yang ramai meski baru pukul 09.00 pagi.
“Ke hotel,” jawab Janar tepat saat mobil berbelok masuk ke hotel besar.
“Hotel? Untuk apa?” pekik Eila kaget saat Janar memintanya keluar dari mobil yang berhenti di lobi hotel.
Eila menjadi lebih kaget saat melihat kopernya yang belum dibongkar ternyata dibawa dalam bagasi dan sedang dikeluarkan sopir untuk diserahkan pada petugas hotel.
“Aku akan mengganti liburan kita yang batal. Meski tidak di Inggris, kuharap bisa menghiburmu yang menginginkan kebebasan dari kompleks Jatmika,” ucap Janar serius.
“Jadi, kita akan menginap di sini?” tanya Eila sambil tersenyum.
“Ya, tiga hari. Lakukan apa pun yang kau suka, aku akan menemanimu,” jawab Janar dengan hati-hati mengganti kata mengawasi menjadi menemani.
“Terima kasih!” seru Eila riang sebelum masuk ke hotel.
Keceriaan Eila menular pada Janar yang ikut tersenyum ketika mengikuti langkah bahagia Eila menyusuri tanah yang bukan milik Jatmika atau Nagendra.
Saat masuk ke kamar yang mewah, Eila langsung melompat ke sofa di dekat jendela, padahal masih ada petugas yang membawakan koper mereka. Tanpa membuka jendela, Eila tertawa menatap pemandangan pegunungan Arsa di kejauhan.
“Bye, Nagendra!” seru Eila sambil melambaikan tangannya.