Primula Terakhir

Wnath
Chapter #10

10. Cinta Pertama

Tiga hari yang dilalui Janar bersama Eila terasa penuh warna sekaligus membingungkannya. Tingkah laku Eila, cara berpikirnya, juga tubuhnya yang secara tak sengaja tersentuh atau terlihat oleh Janar membuat pria itu merasakan debaran-debaran tak biasa.

Janar bingung, karena dengan Prisa dia tak merasakan hal itu. Padahal, sudah dua tahun Janar hidup bersama Prisa, sedangkan Eila baru dikenalnya.

Setelah Eila menyatakan tidak keberatan menjalankan kewajibannya sebagai istri, Janar makin kebingungan karena setiap kali berdekatan dengan Eila, Janar ingin menyentuhnya.

“Aku lelaki, tentu saja ini normal, tapi tak seharusnya terlalu menggebu-gebu karena aku ingin menghargainya,” ucap Janar di dalam hati.

Janar masih menolak tidur seranjang, takut lalai dan akhirnya menodai Eila. Meski tahu kalau tak ada suami yang disebut menodai istri sendiri, tapi Janar tak mau merusak kepercayaan Eila untuknya. Bukankah dia sudah berjanji akan melepas Eila bila Prisa hamil?

“Kau ada masalah, Janar?” tegur Prisa saat memergoki Janar melamun memikirkan pernikahan gandanya.

Sudah sebulan Janar dan Eila kembali ke kompleks Jatmika, tapi Janar masih sering resah memikirkan kedua istrinya. Sebenarnya Janar bebas bermalam di mana saja, tapi dia merasa harus adil membagi waktu di antara kedua istrinya. Padahal, Praya sudah memberi nasihat untuk tidak terlalu ambil pusing tentang jatah istri.

“Pergi saja ke kamar mana yang kau sukai sampai salah satunya hamil. Keduanya hamil juga tak masalah, lebih bagus lagi bila sama-sama lelaki,” kata Praya menasihati ketika memergoki Janar melihat kalender untuk mengecek jumlah hari yang dia habiskan bersama Eila dan Prisa.

“Tak ada, tidurlah,” kata Janar sambil tersenyum lalu lanjut merenung.

Yang tak disadari Janar, Prisa menatap arah pandang Janar yang tertuju pada jendela. Prisa menduga Janar sedang berusaha melihat ke arah paviliun Eila dan memikirkan istri mudanya.

Tak bertanya lagi, Prisa memilih memejamkan mata. Namun, satu jam kemudian Janar meninggalkan kamar.

Di paviliun, Eila juga tak bisa tidur. Eila duduk sendirian di ruang tengah. Matanya memandang layar televisi yang tak bersuara, tangannya menggenggam cangkir teh. Di sampingnya, duduk toples berisi biskuit cokelat.

Dalam diamnya, Eila memperhatikan cincin pernikahan dari Janar yang tersemat di jari manis kanannya. Cincin itu membuat pikiran Eila mengelana, merenungi kehidupannya di Jatmika yang tak memiliki kepastian.

Setiap hari Eila berdoa agar Prisa segera hamil hingga Janar punya alasan menceraikannya tanpa menyinggung tetua, tapi beberapa hari belakangan ini doa Eila agak tersendat.

Sikap baik Janar selama menjadi suaminya membuat Eila merasakan hal lain. Eila tak menyebutnya sebagai cinta, tapi dia merasa tersentuh oleh kebaikan Janar yang berulang kali sengaja membawanya ke luar Nagendra dengan berbagai alasan.

Di luar Nagendra, Janar membebaskan Eila melakukan apa pun yang dia suka. Menghabiskan waktu di perpustakaan, menyusuri toko-toko, blusukan mencari makanan yang melagenda, atau sekadar memotret dengan kamera baru yang dibelikan Janar sebagai hadiah.

Berusaha menyenangkan Eila agar tak bosan terpenjara dalam kompleks Jatmika, sebenarnya Janar tak sadar sedang memenjarakan diri sendiri dalam pesona Eila yang membuatnya sulit tenang bila tak melihat istri mudanya.

Dalih  menyenangkan Eila dibuat Janar untuk menyembunyikan alasan penting bahwa dirinya yang ingin menikmati menatap Eila tanpa pengaruh Jatmika karena di luar Nagendra Eila bisa bersikap lebih bebas menjadi dirinya sendiri, begitu juga dengan Janar.

Saat berada di luar jangkuan Jatmika, Eila bisa tertawa bebas bahkan pernah sambil memukuli Janar saat dirinya terpingkal-pingkal. Di kompleks Jatmika, Eila tak akan berani melakukannya. Jangankan memukul Janar, tertawa bebas saja dia tak berani.

Saat berkumpul bersama keluarga besar, Eila lebih tenang, tak berani bertingkah macam-macam. Janar menduga Eila sudah kapok dihukum Mahika, padahal Eila justru berusaha menghargai Janar yang sudah berbuat banyak hal untuk menyenangkannya.

Puluhan hari menjadi suami istri, Janar dan Eila telah berteman baik. Keduanya tak canggung lagi saat bersentuhan atau bergandengan tangan. Ketika membawa Eila mengunjungi perkebunan tembakau, Janar bahkan merangkul pinggang Eila karena ingin menunjukkan pada para karyawan Jatmika kalau dirinya menghargai Eila sebagai istri sepenuhnya, bukan sekadar istri kedua yang disepelekan.

Janar merasa semakin mengenal Eila, begitu juga Eila yang mulai merasa nyaman bersama Janar. Tak jarang keduanya berjalan-jalan sambil mengobrolkan banyak hal. Yang membuat Janar lebih terkesan saat tak sengaja mereka menemukan bunga primula di dataran tinggi pegunungan. Sambil menatap primula tersebut, Eila menceritakan kerinduannya pada Inggris, musim semi, juga kebebasannya.

Eila pun merasa terkesan karena Janar tak pernah menganggap remeh curahan hatinya tentang mimpi hidup mandiri di luar Nagendra.

“Kenapa kau belum tidur?”

Eila terlonjak kaget saat mendengar suara Janar yang tahu-tahu sudah berada di ruangannya. Mata Eila tak berkedip memandangi Janar yang tersenyum.

Lihat selengkapnya