Meski tak melakukan apa pun pada Eila, Janar bertahan menghabiskan malam bersama dalam satu ranjang. Keduanya tak saling bicara, tapi pelan-pelan Janar memeluk Eila yang merasa kesulitan bernapas karena merasa tegang. Keduanya baru terlelap setelah berjam-jam mengganjal mata agar tetap terjaga.
Bila biasanya Janar sarapan di rumah utama, paginya Janar memilih bersiap kerja dari paviliun Eila dan menikmati sarapan berdua saja.
“Kau mau kopi?” tanya Eila.
“Ya,” jawab Janar singkat.
“Tapi, mungkin tak seenak kopi buatan manusia normal,” kata Eila sambil berdiri.
“Kau manusia tak normal?” tanya Janar sambil menahan tangan Eila yang akan pergi ke dapur.
“Setelah semalam, apa kita bisa disebut normal?” balas Eila seraya melepaskan diri dari Janar yang tersenyum.
Di dapur yang hanya tersekat dinding berlubang, Eila juga tersenyum memperhatikan Janar yang terlihat tampan dengan setelannya bekerja. Kemeja biru muda, celana hitam, dan jam tangan merek internasional.
Sama seperti Eila, Sani juga bahagia. Di sisi lain dapur, Sani memperhatikan tingkah Eila dan Janar yang menurutnya menggemaskan. Apalagi saat Janar mencicipi kopi Eila yang ternyata memang tidak enak.
Janar menjulurkan lidahnya karena kopi Eila sangat pahit.
“Tidak enak?” tanya Eila terkejut akan sikap jujur Janar.
“Bukan begitu, aku hanya belum terbiasa minum kopi buatanmu,” jawab Janar.
“Kalau begitu kubuang saja,” kata Eila sambil meraih cangkir, tapi Janar menahannya.
“Tidak. Aku akan menghabiskannya,” tolak Janar.
Di bawah tatapan tak percaya Eila, Janar benar-benar menghabiskan kopi aneh buatannya. Setelah menetralisir rasa dengan roti, Janar melirik jam tangan lalu berdiri.
“Aku pergi dulu,” kata Janar.
Eila mengangguk, tapi Janar tak bergerak pergi.
“Ada apa?” tanya Eila gugup karena pandangan Janar terasa aneh di matanya.
Janar tak menjawab, tapi tiba-tiba saja dia menunduk lalu mencium kening Eila. Tak terkira kagetnya Eila mendapat ciuman mendadak dari Janar yang langsung pergi dengan tergesa untuk menenangkan dirinya sendiri seperti Eila yang langsung menyentuh dadanya.
Namun, langkah Janar terhenti karena bertemu Agni yang ada di ruang tamu.
“Selamat pagi, Janar,” sapa Agni ramah.
“Pagi, Ibu,” jawab Janar gugup.
“Maaf, apa Ibu mengganggu? Ibu bisa menemui Eila?” tanya Agni grogi karena melihat wajah Janar agak aneh.
“Eh, tidak mengganggu. Eila sedang sarapan, aku akan bekerja. Silakan menemuinya. Permisi, Ibu,” balas Janar sopan sebelum meninggalkan paviliun.