Primula Terakhir

Wnath
Chapter #13

13. Semarak Primula

Aula kompleks Jatmika dipenuhi oleh keluarga besar Jatmika. Tak hanya istri, anak, dan cucu, tapi juga paman, bibi, nenek, dan tetua adat. Semuanya berkumpul bersama pelayan dan pekerja yang sibuk mengatur berbagai macam makanan di meja panjang yang disusun di tengah-tengah aula. Meja itu menjadikan aula seolah-olah terbagi menjadi dua kubu.

Eila ada di sisi kanan, bergabung bersama Mahika, Prisa, dan para wanita Jatmika yang sudah sepuh. Di sisi kiri, dua istri Praya, serta anak-anak mereka bergabung dengan para bibi. Sementara itu, para pria ada di bagian depan meja bersama para tetua adat. Memperhatikan barisan, Eila merasa salah tempat karena dirinya bukan istri pertama.

Pelan-pelan Eila bergerak mencari celah menuju sisi kiri, tapi Mahika menegurnya.

“Diamlah, jangan menghilang,” bisik Mahika.

“Eh, apa aku tak salah tempat, Bu?” tanya Eila membuat Mahika mengerutkan dahi memperhatikan Eila yang melanjutkan bicara.

“Aku seharusnya di sebelah kiri, kan? Aku bukan istri pertama,” ucap Eila.

Dahi Mahika masih mengerut seperti bibirnya yang ingin tertawa, tapi Mahika berhasil menahannya.

“Tak ada yang membedakan, kau bebas di mana saja. Itu pilihan mereka sendiri,” kata Mahika.

Mata Eila berkedip sekali, melirik ke sisi kiri lalu menatap kerumunannya sendiri. Eila baru menyadari kalau dua istri Praya hanya sengaja menghindari Mahika.

“Diamlah seperti Prisa, jangan membuat ulah,” bisik Mahika saat tetua adat mulai bicara.

Eila benar-benar diam. Bibirnya bungkam tak mengatakan apa pun, tapi mata dan pikirannya bergerak ke sana kemari. Eila tak pernah mengikuti ritual baca doa masa tanam karena ayahnya tidak bekerja di lingkungan perkebunan.

Bosan membuat Eila tanpa sadar menguap, tepat saat Prisa menoleh menatapnya. Ketika Eila menutup mulut dengan satu tangan, saat itu dia menyadari Prisa memperhatikan. Cepat-cepat Eila kembali menatap ke depan, menghindari tatapan Prisa yang menurutnya sangat aneh.

Sulit bagi Eila menahan diri untuk tidak menguap, selama acara berlangsung, sudah tiga kali Eila menguap dan semuanya disaksikan Prisa yang semakin merasa cemburu.

“Apa dia ingin pamer kalau semalam Janar bersamanya?” tanya Prisa di dalam hati.

Eila sama sekali tak berniat pamer kemesraan karena sesungguhnya dia justru merasa malu pada Prisa. Eila merasa seperti sedang menjadi wanita perebut suami orang lain. Apalagi saat pagi hari Eila merasa didiamkan Prisa yang bertemu di aula. Eila curiga Prisa terbakar cemburu. Terlebih Sani mengaku kalau malam saat Janar berada di kamar Eila, Prisa sempat datang berkunjung.

“Eila, walau sedikit, makanlah salah satu makanan di meja agar kau mendapat berkah,” kata Mahika ketika pembacaan doa selesai digelar.

“Ya, Bu,” jawab Eila sopan.

Mahika agak heran dengan perubahan sikap Eila dari yang mulanya sering meledak-ledak, kini terlihat lebih tenang. Tanpa sadar Mahika memperhatikan saat Eila mengelilingi meja memilih makanan.

Eila membantu anak-anak yang tangannya tak sampai menggapai meja. Diambilkannya makanan yang diinginkan para balita dengan senyuman ceria. Suara obrolan dan tawa memenuhi aula bercampur dengan suara ceria anak-anak yang berlarian memperebutkan makanan.

“Auranya disenangi anak-anak,” bisik Nyonya Arra pada Mahika yang tersenyum tipis.

Mahika tak sadar Prisa mendengar ucapan Nyonya Arra yang membuatnya menjadi lebih waspada pada Eila. Diperhatikannya Eila yang mengambil satu piring kecil berisi dua buah roti mungil. Sambil memperhatikan piringnya, Eila menjauhi meja, tapi tiba-tiba dua orang anak berlarian menabrak Eila.

Eila yang tertabrak nyaris terjatuh, tapi dalam keadaan membungkuk, tubuhnya ditahan oleh Janar yang ada di dekatnya.

“Kau tak apa-apa?” tanya Janar sembari membantu Eila menegakkan tubuh.

“Tak apa-apa,” jawab Eila sembari melepaskan diri dari Janar karena dia tahu sedang diperhatikan Prisa.

“Kalau kau lelah, pergilah ke paviliun,” ucap Janar.

“Ibu belum pergi,” balas Eila gelisah karena makin tak enak pada Prisa.

“Kuantar kau,” kata Janar tiba-tiba mengejutkan Eila.

Tanpa persetujuan, Janar menggandeng tangan Eila lalu membawanya menemui Mahika.

“Ibu, maaf, aku ingin membawa Eila pergi ke paviliun,” bisik Janar saat berada di dekat Mahika.

Tak ada jawaban dari Mahika, tapi saat menatap tangan Eila yang digenggam Janar, Mahika mengganggukkan kepala.

Eila sangat takjub pada izin yang diberikan Mahika agar dirinya terbebas dari ritual yang membosankan. Namun, Eila lebih takjub pada kegilaan Janar yang membawanya pergi.

“Janar, bagaimana kalau Kak Prisa tersinggung?” tanya Eila saat Janar menutup pintu kamar.

Tak menjawab, Janar malah mencium bibir Eila.

Eila masih terkejut mendapat serangan mendadak dari Janar, tapi seperti semalam, Eila tak menolak. Bahkan saat Janar tak melepasnya, Eila tak memprotes.

Lihat selengkapnya