Eila belum pernah jatuh cinta. Rasa sukanya selain untuk sang ayah, tumbuh untuk Inggris, musim semi, dan primula. Eila belum pernah merasakan rindu selain untuk mendiang ayahnya. Belum pernah merasa berdebar-debar membaca tulisan seperti saat menerima pesan Janar.
Kini Eila masih merasa berdebar ketika mengulang membaca deretan kata yang dikirimkan oleh Janar. Tak berbeda jauh rasanya saat Eila memandang buket primula serta kartu ucapan di sela-sela rangkaian bunga aneka warna tersebut. Debaran tak biasa itu mulai mencipta rasa ingin bertemu Janar yang sampai malam tiba tidak menemuinya.
Namun, Eila tidak menyebut perasaan itu sebagai cinta.
Meski mulai terbit cemburu dalam hatinya ketika membayangkan Janar sedang bersama Prisa, Eila tak gegabah mengakui rasa gelisah itu sebagai turunan dari perasaan cinta yang mulai tumbuh.
Penyangkalan Eila dibangun lebih kokoh semata-mata karena Eila tak mau larut dalam jerat Janar yang menurutnya bisa saja hanyalah semu. Eila tak mau dibodohi pria atau rasa manis cinta yang bisa menyesatkan mimpinya untuk segera bebas dari keluarga Jatmika dan segala masalah mereka.
Eila tak mau Janar menjadi penghalang niat besarnya meninggalkan Nagendra serta segala tradisinya yang terasa menyiksa.
Alih-alih terus menantikan Janar, Eila malah bersiap tidur dan membiarkan ponselnya tergeletak di samping keranjang bunga primula.
Namun, sulit memejamkan mata saat kupu-kupu memenuhi rongga dada. Eila masih merasa berdebar-debar. Masih merasakan getaran gelisah ingin berjumpa dengan Janar yang tak ada kabarnya.
Demi menghilangkan rasa tak nyaman, Eila bangkit dari pembaringan lalu ke kamar mandi untuk membasuh wajah, padahal dia sudah mengoleskan krim malam untuk menjaga kecantikan kulitnya.
Debaran memang ahli membuat manusia menjadi linglung.
Ketika menyadari kebodohannya mencuci wajah yang sudah terolesi krim, Eila mengomeli diri sendiri. Meski hanya diucapkan dalam hati, tetap saja omelan itu mencipta cemberut di wajah yang terpaksa dia bersihkan ulang.
Pelan-pelan Eila keluar dari kamar mandi untuk mengambil krim di meja rias, tapi langkahnya terhenti karena dikejutkan oleh Janar yang duduk di kursi meja rias.
“Baru membersihkan wajah? Jam berapa ini? Jangan suka tidur larut malam, tidak baik untuk kesehatan,” kata Janar dengan tenang, padahal ada sengatan listrik yang membuatnya ingin kejang-kejang ketika menatap wajah basah Eila yang belum dikeringkan.
“Kenapa kau datang selarut ini?” balas Eila seraya melirik jam dinding.
Eila tak bermaksud memprotes kedatangan Janar yang sudah lewat tengah malam. Namun, Janar telanjur mengartikan protes Eila sebagai tanda kesal karena Janar terlambat datang.
“Aku menemani Prisa dulu. Ibunya datang,” kata Janar gugup.
Bola mata Eila langsung berputar, cepat-cepat diambilnya krim malam di dekat Janar untuk menetralkan getaran aneh dalam dirinya.
“Maksudku, kenapa kau harus datang ke sini? Tidakkah seharusnya kau menemani Kak Prisa?” tanya Eila sembari menatap cermin.