Demi bersikap adil pada Prisa yang akan ditinggalkan saat pesta pernikahan Balin, Janar menemani Prisa pulang ke rumah orang tuanya. Bertindak sebagai suami siaga, Janar memberikan dukungan pada Prisa yang akan menjalani ritual memohon keturunan. Kepergian Janar juga sebagai ruang untuk melegakan Eila yang menurutnya masih meledak-ledak. Janar tak mau bertengkar dengan Eila, tak mau wanita itu kelewatan membencinya.
“Kau tetap ke kantor dari rumah Prisa atau cuti sepenuhnya?” tanya Praya ketika Janar berpamitan.
“Dari rumah Prisa. Sedikit lebih jauh, tapi tak masalah,” jawab Janar.
Praya mengembuskan asap rokok, tidak sependapat dengan Janar yang menurutnya merepotkan diri sendiri.
“Seharusnya Prisa tak perlu ditemani. Toh ritual itu bukan kau yang menjalani. Selagi dia menjalani pengobatan, kau bisa memanfaatkan Eila,” kata Praya.
Janar tersentak mendengar kata memanfaatkan yang diucapkan Praya. Janar juga tak suka pada pemikiran Praya yang menyebut Prisa tak perlu ditemani. Meski tahu wanita-wanita Nagendra dididik mandiri tidak menyulitkan suami, tapi Janar tak setuju.
Walaupun tak mencintai Prisa, Janar ingin menghargainya. Prisa sedang berjuang menghasilkan keturunan untuk keluarganya, Janar tak ingin mengabaikan usaha tersebut.
Namun, Janar tak menyatakan pendapatnya. Alih-alih mengajak ayahnya berdebat, Janar memilih bersimpuh lalu mengambil tangan Praya untuk dicium.
“Doakan kami berhasil,” pinta Janar.
Praya hanya berdeham singkat lalu mengusir Janar pergi karena akan menemui istri ketiganya.
Dengan perasaan tak nyaman, Janar menemui Prisa yang sudah menunggu di teras rumah.
“Ayo pergi,” kata Janar sembari membawa Prisa masuk ke dalam mobil.
Saat mobil mulai melaju pelan, mata Janar tak bisa dialihkan dari paviliun Eila. Prisa berpura tenang meski hatinya mulai bergejolak menyaksikan Janar yang seolah berat hati meninggalkan Eila.
Di dalam paviliun, ada rasa gelisah yang juga menyeruak di sekitar Eila ketika Sani mengabarkan kepergian Janar dan Prisa.
Sambil mengintip ke pintu dan jendela, Sani mengeluarkan pil dari kantong celana lalu menyerahkan pada Eila yang dengan cepat menelannya.
“Nyonya, sampai kapan akan terus seperti ini?” tanya Sani gelisah ketika mengulurkan air putih pada Eila.
“Sampai aku terbebas dari tempat ini,” jawab Eila dengan tenang, padahal ada gemuruh dalam dadanya yang terasa menegangkan tiap kali menelan pil pencegah kehamilan.
Tak lama setelah menikah dengan Catra, Eila meminta Sani memberinya pil pencegah kehamilan yang dibeli Sani secara diam-diam di luar Nagendra lalu disembunyikan di kamarnya. Setiap hari Sani memberikan pil itu pada Eila sampai Catra meninggal.
Eila sempat melupakan pil tersebut ketika berkabung, tapi lanjut meminumnya setelah tahu akan dinikahkan dengan Janar. Tentu saja Eila dan Sani melakukannya secara diam-diam karena mengonsumsi obat pencegah kehamilan di saat para tetua Jatmika menginginkan keturunan bisa dimasukkan ke dalam pelanggaran adat tingkat berat.
“Tuan Janar terlihat mencintai Nyonya. Tidak kasar dan sangat baik. Mengapa masih tidak menerimanya?” tanya Sani ingin tahu sembari menatap Eila yang mengambil kartu ucapan dari keranjang primula.
“Dia mulai layu, singkirkan bunga ini,” perintah Eila.