Saat Janar dan Prisa tak ada di Jatmika, di dalam kompleks perumahan keluarga itu sedang disibukkan dengan rangkaian kegiatan penanda musim tanam. Tak hanya menggelar ritual tertutup di dalam kompleks Jatmika, keluarga terpandang itu juga menggelar upacara tanah berkah bersama penduduk Nagendra.
Upacara itu diatur oleh wanita-wanita Jatmika untuk berbagi berkah pada warga Nagendra. Halaman terluar dari kompleks dibuka untuk umum. Penari tradisional dipanggil untuk membuka acara sebelum kegiatan inti berupa pembagian beras dan hasil bumi lainnya dilaksanakan.
Selain untuk berbagi berkah dengan harapan masa tanam akan berjalan lancar, upacara itu juga berguna untuk menunjukkan keharmonisan keluarga Jatmika. Tua, muda, apa pun statusnya, semua penghuni wanita Jatmika akan hadir dalam upacara yang dinantikan warga sekitar. Tiga ekor sapi juga akan disembelih dan dagingnya dibagikan kepada masyarakat yang hadir.
Tahun ini adalah tahun pertama bagi Eila hadir sebagai anggota keluarga Jatmika. Dulu, ketika dirinya masih kecil, Eila pernah melintas di kompleks Jatmika saat upacara tanah berkah berlangsung. Namun, keluarga Eila tak pernah ikut mengantre berkah karena ayah Eila melarang.
“Upacara tanah berkah bukan kegiatan negatif, justru hal positif. Harus dilestarikan dan sebisa mungkin kita tiru walau tak semeriah keluarga Jatmika karena berbagi itu indah. Tapi, kalau kita masih mampu, jangan ikut meminta jatah hasil bumi. Biarkan orang lain yang menerimanya.”
Tanpa sadar Eila tersenyum ketika mengingat ucapan ayahnya di masa lalu. Meski sang ayah pernah juga membagikan sedikit berkah untuk para tetangga, tapi Eila tak menyangka kalau akhirnya dia akan menjadi bagian dari kemegahan upacara tanah berkah keluarga Jatmika.
“Nyonya, sebelah sini,” kata Sani sembari menggiring Eila melintasi jalan setapak untuk melewati paviliun istri ketiga Praya, Mehul.
Sani sangat mengenal seluk-beluk kompleks Jatmika yang luas. Wanita itu tahu jalan pintas lebih dekat menuju halaman utama karena bila mengikuti jalan utama, mereka harus memutar-mutar melewati berbagai paviliun dan taman.
Saat melintas di depan paviliun Mehul, Eila melihat ayah mertuanya sedang duduk di teras bersama sang istri muda. Eila dan Sani berhenti melangkah lalu menunduk hormat pada keduanya.
Praya hanya berdeham singkat sebagai tanda Eila dan Sani bisa meneruskan langkah. Saat kembali berjalan, Eila mendengar tawa Praya serta suara manja Mehul. Perlahan Eila menoleh dan tercengang melihat sang istri ketiga sedang duduk di pangkuan Praya. Tiba-tiba saja Eila merasa agak kesal, apalagi saat dia melihat Mahika sedang sibuk mengatur para pelayan yang akan membantu membagikan berkah.
“Eila, kau bantu bagikan beras di pintu masuk,” ucap Mahika saat Eila mendekatinya.
“Ya,” jawab Eila sopan, tapi tak bergerak pergi.
“Ada apa lagi?” tanya Mahika curiga karena Eila hanya diam.
“Apakah Ibu Mehul bebas tugas?” tanya Eila ingin tahu.
Mata Mahika menyipit menatap Eila yang benar-benar penasaran karena dia tahu semua wanita yang sedang ada di Jatmika harus ikut membantu, kecuali Prisa yang memang sedang tidak berada di rumah mereka.
“Pergilah dan jangan banyak tanya,” jawab Mahika jengkel.
Eila tak berani menyahut, pelan-pelan kakinya melangkah mundur menjauhi Mahika yang tampak menyeramkan. Berusaha tidak membuat keributan dengan menantunya, Mahika mengalihkan diri pada pelayan lain.
Perlahan Eila bergerak ke pintu masuk Jatmika, tapi saat melihat pelayan membawa baki berisi botol-botol air minum, Eila mengambil satu botol. Setelah menghela napas pendek, Eila kembali mendekati Mahika.
“Apa lagi? Kau ingin bersantai? Kau boleh pergi dari sini bila Janar mengizinkan,” ucap Mahika putus asa karena malas menanggapi Eila yang di matanya terlihat seakan ingin membuat onar.
“Oh, boleh bila suami mengizinkan?” tanya Eila kaget.
Mahika tak menjawab, malah mengabaikan Eila yang masih berdiri di sampingnya. Eila bersabar menunggu Mahika selesai memberi instruksi pada pelayan yang bertanggung jawab mengatur pemotongan daging sapi.
“Aku tak akan pergi dari sini, aku akan membantu Ibu,” ucap Eila membuat Mahika menoleh.
Wajah Mahika terlihat tidak berubah, tetap saja tegas, bahkan saat Eila menyodorkan botol air minum.
“Minumlah dulu, Bu. Bibir Ibu agak kering, jangan sampai berkah yang dibagikan kepada orang lain justru mengeringkan diri Ibu,” ucap Eila sambil secara paksa meletakkan botol di tangan Mahika.