Baik Janar maupun Eila tak mengaku kalau Janar telah membatalkan puasa. Secara diam-diam Eila memberi Janar makanan di kamar.
Selama dua hari Eila dan Janar menginap di rumah Agni karena rangkaian pesta masih berlangsung.
“Bu, kami pulang,” ucap Eila ketika bersimpuh di hadapan Agni untuk berpamitan.
“Ya, jadilah istri yang baik,” pesan Agni sembari mengusap kepala Eila.
Di samping Eila, Janar melakukan hal serupa, bersimpuh dan mencium tangan Agni. Setelahnya pasangan suami istri itu meninggalkan Agni yang tersenyum tipis.
“Putriku luar biasa,” gumam Agni dengan perasaan bahagia karena saat memperhatikan kehidupan pernikahan putrinya, Agni menduga Eila tak merasa tersiksa.
Pelan-pelan Agni masuk ke kamar lalu menatap foto mendiang suaminya.
“Maaf, aku tak bisa mendengarmu untuk tidak memaksa Eila menikah dengan pria Nagendra. Nyatanya, dia bahagia bersama Janar,” ucap Agni sambil tersenyum.
Perlahan Agni memejamkan mata karena merasa mendengar protes dari suaminya yang berpikiran terbuka. Saat matanya terpejam, Agni mengingat janji yang dia ucapkan pada ibu mertuanya di masa lalu ketika menikah dengan ayah Eila.
“Putraku tak memiliki saudara lelaki, aku tak mau kehilangan keturunanku. Jangan membawa anak-anak kalian keluar dari bumi ini, terutama anak lelakimu.”
Dalam diam Agni membuka mata lalu kembali menatap foto suaminya yang tersenyum. Tak ada lagi senyuman di wajah Agni saat merebahkan diri seraya memandangi langit-langit kamar. Wanita itu termenung dalam kesunyian kamar.
Di rumah utama kompleks Jatmika, Mahika juga sedang merenungi ucapan Praya yang menyindirnya salah memilih menantu karena Prisa tak kunjung hamil.
“Seharusnya kau menilai dengan baik kesehatan dan keberuntungan Prisa. Sudah dua tahun, dia tak kunjung hamil. Apa yang salah?”
Mahika yakin sudah memeriksa kesehatan dan keberuntungan Prisa dengan benar. Bahkan cenayang pun pernah mengatakan kalau Prisa dan Janar akan membuat terobosan bagi keluarga Jatmika. Namun, kenyataan kalau Prisa tak kunjung berhasil memberi keturunan membuat Mahika mulai gundah.
“Kalau tahun ini Prisa tak juga hamil, akan kunikahkan Janar dengan kerabat Mehul!”
Ancaman terakhir Praya membuat Mahika menghela napas berkali-kali.
Sama seperti Mahika, Eila juga gelisah. Dalam perjalanan kembali ke Jatmika, Eila terus memandang ke luar jendela sampai tangannya disentuh Janar.
“Ingin makan dulu?” tanya Janar menawarkan.
“Di mana?” tanya Eila.
“Restoran, kau yang pilih,” jawab Janar.
“Restoran adanya di luar Nagendra,” ucap Eila.
“Tak masalah. Aku masih punya waktu sebelum ke kantor,” balas Janar.
Senyum lebar terbit di bibir Eila karena dia memang menginginkan perjalanan ke luar Nagendra. Berdalih mengisi perut, Janar sengaja membawa Eila berjalan-jalan karena dia tahu Eila merasa resah kembali ke Jatmika terlebih setelah Janar batal menyelesaikan ritual puasa.
Biasanya Eila senang menikmati makanan di restoran terbuka. Kafe adalah tempat favoritnya, tapi kali ini dia minta menikmati makan siang di restoran tertutup dalam hotel.
“Kau tak bersalah, Eila. Aku yang tak ingin meneruskan ritual itu,” ucap Janar yang membaca kegelisahan Eila.
“Seharusnya aku mengingatkanmu,” keluh Eila yang merasa takut bila Mahika mengetahui batalnya ritual kesuburan Janar.
“Aku yang memaksamu. Apa yang bisa dilakukan istri saat suaminya memerintah melayani?” tanya Janar.
Mata Eila yang tadinya memandangi bunga di vas kini bergerak menatap Janar yang tersenyum.
“Bila Ibu mengetahui, aku akan berdiri di depanmu,” kata Janar seraya menggenggam tangan Eila yang ada di meja.
“Kau yakin?” tanya Eila sangsi.
“Sangat yakin,” jawab Janar tanpa keraguan.
Tak hanya kata-kata Janar yang membuat resah Eila perlahan luntur, tapi tatapan sang suami juga berhasil meleburkan gelisahnya. Setelah makan siang, Eila tak cemas lagi.
Sebelum ke kantor Janar mengantar Eila pulang. Saat Eila akan keluar dari mobil, Janar sempat menciumnya sekilas, padahal Eila sudah membuka pintu. Janar tak sadar kalau Prisa menunggu Eila di teras paviliun. Eila yang terkejut ketika menyadari kehadiran Prisa yang mungkin melihat tindakan mesra Janar padanya.
“Siang, Kak,” sapa Eila berusaha sopan.
“Bisa kita bicara?” tanya Prisa tanpa keramahan.
Eila mengangguk lalu berjalan melewati Prisa untuk masuk lebih dulu ke rumah. Di ruang tamu, Eila duduk mengikuti Prisa yang mendahului menyentuhkan bokongnya pada sofa kulit hitam. Prisa tak langsung bicara karena mendadak memejamkan mata saat terbayang kemesraan yang mungkin saja terjadi antara Eila dan Janar di sofa tersebut.
“Kak?” tegur Eila karena melihat keanehan Prisa.
Pelan-pelan Prisa membuka mata lalu menatap Eila dengan serius.
“Kau tahu aku dan Janar baru saja menjalankan ritual memohon keturunan. Aku berharap pengertianmu,” kata Prisa.
“Ya, Kak?” tanya Eila tak mengerti.
“Jangan temui Janar dulu. Aku hanya minta waktu sebelum kalian ke Inggris. Hanya beberapa hari, aku minta kau tak bersamanya,” jawab Prisa tegas.
Eila terdiam, bungkam seribu bahasa karena merasa risih oleh tatapan Prisa.
“Aku tak mungkin membicarakan hal ini pada Janar. Jadi, gunakan kebaikan hatimu untuk membantuku. Anak kami tak hanya diinginkan Janar, tapi seluruh keluarga,” ucap Prisa sebelum berdiri.