Kelegaan bercampur kegembiraan dirasakan Sani ketika melihat Eila kembali ke paviliun bersama Janar. Cepat-cepat Sani menyiapkan minuman hangat dan makanan yang diletakkan di kamar saat Eila membersihkan diri. Tanpa suara, Janar menunggu di sofa sembari mengamati meja makanan.
“Makanlah dulu,” kata Janar saat Eila keluar dari kamar mandi.
“Aku sudah makan, mereka tak membiarkanku kelaparan,” ucap Eila sembari duduk di sofa dengan kaki tertekuk yang dia peluk.
“Apa yang terjadi?” tanya Janar.
Pelan-pelan Eila menghela napas lalu menceritakan kejadian yang sebenarnya tanpa dusta.
“Kurasa aku kena karma karena tidak menjaga puasamu,” kata Eila mengakhiri cerita.
Perlahan Janar mendekat lalu merangkul Eila yang merasakan kehangatan luar biasa karena Eila tahu Janar telah menentang Mahika dan Prisa demi membebaskan Eila dari kurungan perpustakaan.
“Janar, ini hanya pelampiasan Kak Prisa. Meski tak masuk akal, tapi aku mulai memahaminya. Dia cemburu,” ucap Eila.
Janar tak berkomentar karena menyadari kebenaran ucapan Eila, tapi Janar tak mau membenarkan tindakan Prisa karena hati kecil Janar tak bisa menerima Eila diperlakukan semena-mena meski oleh istri pertamanya.
“Terima kasih karena kau tetap tenang,” bisik Janar.
“Siapa yang bilang aku tenang? Aku berteriak, menendang-nendang bahkan membiarkan buku-buku berjatuhan. Perpustakaan sempat mengalami gempa lokal,” balas Eila jujur.
Janar tak tahu Eila sempat mengamuk, tapi dia salut pada kejujuran Eila. Apalagi mendengar kata-kata Eila berikutnya.
“Maafkan aku karena masih gagal mengendalikan diri. Seharusnya aku tidak bersikap seperti itu karena kau pasti membebaskanku,” ucap Eila.
“Janar, aku sudah baik-baik saja. Tidakkah seharusnya kau menemui Kak Prisa?” tanya Eila.
“Kau ingin aku melakukan apa padanya?” tanya Janar lebih kepada dirinya sendiri.
Janar bingung karena menyadari hubungannya dengan Prisa mendadak retak, padahal selama ini mereka baik-baik saja tak pernah bertengkar.
“Entahlah, aku ingin keadilan, tapi aku tak mau keributan. Adakah kemerdekaan yang diraih tanpa peperangan?” tanya Eila setengah menggumam.
“Peperangan tak selamanya mengangkat senjata, ada kalanya medan tempur dimenangkan lewat jalur diplomasi,” jawab Janar.
“Dan itu hanya berlaku untuk mereka yang memiliki hak suara. Untuk golongan yang tak pernah didengar, bagaimana bisa menyuarakan diri apalagi bernegoisasi?” balas Eila.
Janar menghela napas pendek lalu memaksa Eila menoleh dengan memegang kedua belah pipinya.