Demi menetralkan ketegangan, Janar memutuskan tidak menemui Eila. Sadar kalau Prisa sedang terburu-buru ingin segera memiliki anak, Janar memilih mendukungnya. Walau ada ketidakikhlasan karena dirinya ingin terus bersama Eila, Janar berusaha menahan diri.
“Aku pergi,” kata Janar ketika berpamitan ke kantor.
Prisa yang masih mengoles roti langsung berdiri lalu mengantar Janar ke depan rumah. Ditemani Prisa membuat Janar justru merasa sesak, tapi pria itu tak mau menunjukkannya. Tetap dengan senyuman Janar masuk ke mobil walau setelahnya dia menghela napas lega.
“Sudah dikirimkan pesanan saya?” tanya Janar pada asisten kepercayaannya yang menyetir.
“Sudah, Tuan,” jawab sopir seraya melirik Janar yang tersenyum lebih lebar.
Tak sabar Janar ingin mengetahui tanggapan dari Eila saat mendapatkan kiriman darinya.
Di paviliun, Eila yang baru selesai sarapan sedang berdiri dengan raut wajah penuh senyuman. Matanya lekat memandangi tiga polybag berisi tanaman primula merah muda serta kantong berisi butiran benih. Yang paling menarik perhatian Eila adalah kartu ucapan yang kali ini diketik dengan komputer.
Selamat berkebun, Primrose.
Penuhi harimu dengan semarak ceria kelopak primula yang tak lebih cantik dari primulaku.
Eila tahu untuk sementara waktu Janar tak akan datang ke paviliun atau mengajaknya ke luar Nagendra. Pria itu berusaha menghilangkan rasa bosan Eila dengan memberinya kesibukan menanam primula. Eila terkesima dengan cara Janar menyenangkannya juga terpesona dengan rayuan Janar yang menyebutnya lebih cantik dari bunga primula pemberiannya.
Cepat-cepat Eila mengambil ponselnya yang bergetar menampilkan nama Janar.
“Sudah kau terima?” tanya Janar.
“Ya, terima kasih,” jawab Eila ceria.
“Tanamlah di halaman dekat jendela kamar agar setiap hari bisa kita awasi,” kata Janar.
Spontan Eila tersenyum hingga ada jeda dalam pembicaraan mereka.
“Selesai menanam, kirimkan fotonya padaku,” pinta Janar sebelum mengakhiri sambungan telepon.
Setelah panggilan telepon berakhir, Eila memperhatikan kontak Janar dan primula secara bergantian. Pelan-pelan Eila mengubah nama kontak dari Janar menjadi Primulaku.
Di dalam perjalanan, Janar tersenyum menatap ponsel yang menampilkan nomor telepon Eila. Deretan angka itu disimpan Janar dengan nama My Primrose.
Sesuai pemintaan Janar, penuh semangat Eila pergi berkebun. Dengan bantuan Sani yang setia, Eila bermain dengan tanah.
“Aku harus membeli beberapa peralatan dan perlengkapan tambahan,” kata Eila sembari menyeka rambutnya yang menutupi mata.
“Nyonya harus ke luar,” balas Sani.
Cepat-cepat Eila mengambil ponsel lalu menelpon Janar. Saat melihat nama kontak Janar yang baru, Eila tersenyum sendiri.
Di kantornya, Janar tertegun menatap layar ponsel.
“Mengapa primrose-ku memanggil?” tanya Janar di dalam hati.
Sembari meninggalkan ruang rapat, Janar menjawab panggilan dari Eila.