Mahika tak terlalu peduli pada kepulangan Eila yang sebenarnya cukup lama bila hanya ke toko alat berkebun, tapi Prisa yang mulai memata-matai kehidupan pribadi Eila menjadi curiga. Pergi sebelum makan siang, Eila baru kembali jam tiga sore.
“Sopir bilang Nyonya Eila hanya pergi ke toko berkebun dan makan siang di luar,” lapor seorang pelayan yang menjadi mata-mata Prisa.
Prisa tak puas, dia curiga pada Eila. Apalagi mengetahui kalau Eila kini memiliki kesibukan berkebun. Prisa cemburu dan iri karena mata-mata mengatakan Eila sering mendapatkan bunga-bunga dari Janar.
Sakit hati jelas dirasakan Prisa karena Janar tak pernah membelikannya bunga. Namun, Prisa menahan diri untuk tidak membahasnya. Hari-hari berikutnya Prisa tetap bersikap tenang melayani Janar yang tak mengunjungi paviliun Eila. Meski Janar ada di rumah Prisa, hatinya tetap tersangkut pada Eila yang rajin berkirim pesan dengan Janar.
Hanya tiga hari mereka sepakat tak bertemu, tapi Janar dan Eila merasa sangat tersiksa. Ketika akhirnya tiba hari keberangkatan ke London, Janar sudah bersiap sejak subuh. Eila pun telah siap di teras paviliun, padahal matahari belum keluar. Tak sabar dirinya bertemu dengan Janar yang menjemputnya dengan mobil.
Keduanya masih bersikap tenang saat bertemu di dalam mobil, tapi ketika kendaraan meninggalkan kompleks Jatmika, Janar langsung menyeruduk bibir Eila. Sopir sampai tak berani melihat spion karena malu melihat atasannya yang seolah tak bisa menahan diri.
Selama di perjalanan menuju London, Eila terus tersenyum. Janar pun ikut tersenyum melihat kegembiraan Eila. Perjalanan berjam-jam tak terasa bagi keduanya yang sedang dimabuk cinta. Hari pertama mereka tak ke mana-mana, hanya berduaan di dalam kamar. Bersantai sambil mengobrolkan hal ringan.
Eila membawa topik menarik tentang upacara tanah berkah. Sambil tersenyum, Janar mendengarkan kritik dan saran Eila tentang ritual pembagian berkah tersebut.
“Tidakkah seharusnya memberi berkah disesuaikan dengan keadaan yang telah berubah? Daripada hanya memberi makanan, tidakkah lebih baik memberi berkah berupa pelatihan gratis untuk warga yang tak memiliki pekerjaan?” tanya Eila sambil bersandar di dada Janar.
Menurut Eila, sebagian dari dana ratusan juta yang dibagikan cuma-cuma untuuk sembako bisa digunakan untuk mengundang guru berbagai keahlian guna membuka wawasan dan meningkatkan kreativitas warga Nagendra yang pengangguran atau membantu memfasilitasi dibukanya usaha kecil.
“Kurasa pelatihan menjahit, merangkai bunga, ilmu pariwisata, atau tata kelola bisnis makanan bisa memberikan berkah yang lebih besar daripada hanya sembako gratis,” lanjut Eila.
“Kurasa kita memang berjodoh, kau sehati denganku,” balas Janar mengejutkan Eila.
“Oh ya? Lalu mengapa tak kau sarankan hal itu pada tetua?” tanya Eila ingin tahu.
“Sudah pernah dan ditolak. Bagi tetua, pembagian sembako itu hal sakral tak bisa digantikan dengan pelatihan yang menurut mereka justru tak ada guna,” jawab Janar.
“Kau menyerah begitu saja?” selidik Eila sedikit kecewa.
“Tak mungkin aku membantah orang tua. Yang bisa kulakukan hanya diam-diam memberi bantuan pelatihan dalam yayasan sosial yang dikelola temanku. Kau tahu Komunitas Mandiri Kreatif di Luar Nagendra? Di sanalah kutitipkan anggaran. Mereka sering masuk ke dalam Nagendra, memberi pelatihan singkat,” jawab Janar mengejutkan Eila.
“Tapi tak mudah mengubah tradisi. Meski diberikan pelatihan gratis, tak banyak peminatnya. Hanya segelintir orang yang benar-benar serius mengubah nasib memerdekakan diri dari kekurangan dan bertekad ke luar Nagendra mencoba usaha mandiri,” lanjut Janar.
“Ya, memang tak akan mudah mengubah pola pikir yang sudah melekat pada Nagendra yang hanya bergantung pada alam tanpa mau mengembangkan diri. Kau hebat!” puji Eila.
“Kau bangga?” tanya Janar menggoda.
“Tentu saja! Bisakah aku ikut mengajar? Aku bisa mengajarkan bahasa Inggris atau melatih berdagang menggunakan internet!” seru Eila bersemangat, tapi Janar malah tertawa.
“Maaf, itu belum bisa. Wanita Jatmika tidak boleh bekerja atau terlalu bebas bersosialisasi dengan dunia luar,” kata Janar sambil memeluk Eila yang cemberut.
Meski kecewa, Eila tak marah karena kini dia menyadari tak mudah langsung melawan tetua. Meski begitu, Eila tetap bersemangat merencanakan perubahan untuk warga Nagendra yang kekurangan. Semalaman Janar mendengarkan Eila dengan senyuman hingga istrinya ketiduran karena lelah memikirkan masa depan Nagendra.
Keesokan harinya mereka menemui beberapa kolega di Inggris yang berkaitan dengan bisnis tembakau Jatmika. Saat Janar bekerja, Eila turut serta dibawa mendampingi. Melihat bagaimana Janar melakukan negoisasi, Eila terkesima.
“Kau hebat,” puji Eila singkat ketika meninggalkan kantor Benson.
“Benarkah? Sebenarnya aku agak grogi karena kau mengawasi,” balas Janar sembari memasukkan tangan Eila ke dalam kantong blazernya.
Janar sedang terpesona pada Eila yang sebelumnya menolak bersalaman dengan partner bisnis Benson. Saat ketiga pria mengulurkan tangan, Eila meminta maaf lalu menangkupkan kedua tangan di depan dada mengikuti wanita-wanita Nagendra yang tak bersentuhan dengan pria lain setelah menikah. Padahal, Janar akan memaklumi bila Eila tidak mengikuti tradisi Nagendra karena Eila lama hidup di luar negeri.
“Sebenarnya tadi aku tak keberatan bila kau bersalaman,” kata Janar.
“Aku yang keberatan karena aku hanya ingin menyentuh pria yang sudah menikahiku,” balas Eila sambil melebarkan cengiran yang membuat Janar gemas.
Keduanya sedang berjalan kaki menyusuri jalanan ramai di negara favorit Eila. Sengaja ingin lebih sering berduaan, Janar menuruti Eila yang memandunya mengelilingi kota dengan kendaraan umum. Tujuan Eila adalah menikmati kemegahan Inggris dengan segala hal modern yang berpadu dengan semaraknya bunga-bunga yang bermekaran.
Hanya duduk di taman kota, Eila menyandarkan kepalanya di bahu Janar. Wanita itu menghela napas berkali-kali karena tak menyangka bisa kembali ke Inggris dan menjauh dari Nagendra.
“Bolehkah aku melihat apartemenmu?” tanya Janar.
“Kenapa kau memikirkan hal yang sama sepertiku?” balas Eila.
Penuh semangat Eila membawa Janar ke rumah tinggalnya yang mungil. Anne menyambut Eila, gadis bertubuh tegap seperti pria itu sangat bahagia bertemu lagi dengan Eila yang sempat menghilang. Setelah berpelukan dan mengobrol selama hampir satu jam, Anne berpamitan karena tahu Janar dan Eila butuh privasi.
“Apartemen ini sewa?” tanya Janar.
“Ya, milik keluarga Anne. Sewanya akan habis bulan depan. Beruntung kau membawaku ke sini,” kata Eila sembari memeriksa lemari.