Primula Terakhir

Wnath
Chapter #23

23. Luka

Awan mendung menggantung di langit Nagendra, meredupkan pandangan termasuk di dalam Jatmika. Suasana mencekam dengan angin kencang itu seakan mewakili perasaan Eila, Janar, dan Prisa.

Di gazebo tempat berdoa, Prisa bersimpuh. Dalam diamnya, Prisa sedang mencoba berkomunikasi dengan dewa penguasa hati untuk menenangkan jiwanya yang sedang bersedih. Mata Prisa berkaca-kaca ketika mengadukan kegelisahaan serta luka yang mencederai hatinya.

Seminggu sudah berlalu semenjak Janar dan Mahika berdebat. Adu kata dan pemikiran antara anak dan ibu itu terdengar sampai ke telinga Prisa melalui pelayan setianya yang menguping. Seketika Prisa merasa patah, hatinya hancur berkeping-keping mengetahui isi hati Janar yang ingin menceraikannya.

Sakit sudah jelas dirasakan Prisa, tapi dia tetap diam memendamnya karena tak mau Janar tahu ada pelayan yang menguping pembicaraannya dengan Mahika. Sekuat hati Prisa mencoba menjaga dirinya tetap tenang meski dia menyadari ada banyak perubahan ketika Janar kembali ke kamar.

Janar membisu, bukan lagi irit bicara, tapi benar-benar tak bersuara.

Keesokan harinya Janar baru mengeluarkan teriakan ketika Mahika ditemukan pingsan di kamarnya. Janar dan Prisa mengantar ke rumah sakit, Eila menyusul satu jam kemudian. Ketiganya bertemu tanpa suara karena gelisah menantikan pemeriksaan Mahika.

Prisa merasa malu berdekatan dengan Janar karena sudah tahu tentang hati suaminya, sedangkan Eila juga tak berani mendekati Janar di depan Prisa meski dia sudah tahu apa yang terjadi antara Janar dan Mahika. Janar sendiri tak bisa bebas bergerak karena gelisah memikirkan Mahika yang menderita penyakit darah tinggi.

Ketika tersadar, Mahika menolak menemui Janar dan Eila. Hanya Prisa yang wanita itu izinkan menjenguknya. Selama dua hari Janar dan Eila terus datang meski hanya bisa sampai pintu karena Mahika masih tak mengizinkan keduanya masuk ke ruang perawatan.

Di hari ketiga, Eila datang sendirian tanpa Janar. Tak peduli pada pelayan yang menjaga pintu, Eila menerobos masuk lalu bersimpuh di depan Mahika yang sedang ditemani Prisa.

“Ibu, aku tidak tahu kesalahan apa yang telah kuperbuat, tapi aku mohon, jangan mendiamkan Janar. Dia sangat gelisah memikirkan Ibu. Tolong, beri kesempatan Janar bertemu Ibu,” ucap Eila dengan bersungguh-sungguh.

“Ibu hanya ingin memberi kalian waktu untuk merenungi kehidupan tanpa Ibu. Pulanglah,” usir Mahika.

Eila masih enggan bergerak, tapi saat pelayan memaksanya berdiri, Eila masih sempat memberi kata-kata yang mengejutkan Prisa juga Mahika.

“Apa Ibu juga sedang belajar hidup tanpa kami?” tanya Eila.

“Eila, pergilah!” sahut Prisa.

“Ibu, apakah berdosa bila aku dan Janar saling mencintai?” tanya Eila lagi semakin memanaskan telinga Prisa.

Tiba-tiba saja Eila menghabiskan egonya yang biasa membuncah. Tanpa diduga, Eila merendahkan harga diri untuk bersujud di kaki Mahika. Eila tak tahu kalau di depan pintu yang terbuka, Janar telah tiba.

“Tolong, maafkan kesalahanku. Jangan diamkan Janar seperti ini. Bila Ibu mencari siapa yang salah, tidakkah seharusnya menyalahkan tradisi Nagendra yang menjebakku dan Janar dalam situasi rumit ini?” tanya Eila.

Pelan-pelan Mahika berdiri lalu jongkok di depan Eila. Dengan gerakan cepat, Mahika memaksa Eila mengangkat kepala. Alih-alih tersentuh, Mahika justru menampar pipi Eila dengan kuat hingga tubuhnya terjengkang.

“Ibu!”

Janar memekik dan langsung mendekap Eila yang terdiam menahan sakit hatinya.

“Kalau kau tahu arti mencintai, kau tak merusak, Eila. Cinta tidak pernah merusak, tidak akan mengubah yang dicintainya menjadi lebih buruk. Bila benar kau mencintai Janar, lakukan tugas dan kewajibanmu dengan sungguh-sungguh, bukan mengajarkan hal-hal buruk!” bentak Mahika.

Di depan Janar, Prisa, dan pelayan lain, Eila bungkam karena tak sanggup menahan malu dan sakit hati. Ingin rasanya dia berteriak menjeritkan balasan, tapi demi Janar, ditahannya semua itu di dalam dada. Sebaliknya, Janar yang meradang ketika mendengar Mahika kembali menyumpahi Eila.

Lihat selengkapnya