Primula Terakhir

Wnath
Chapter #24

24. Perubahan

Eila tak bisa menyembunyikan gelisah. Ketika mobil berhenti di depan rumah utama Jatmika, tangan Eila sempat gemetaran. Namun, dikuatkannya hati seperti Janar yang berusaha tegar. Sambil menggandeng Eila, Janar pergi ke ruangan Praya. Namun, sang ayah meminta keduanya menemui Mahika.

“Apa pun masalah yang terjadi, selesaikan dengan Ibu. Jangan pergi dari rumah seperti pengecut, itu bukan karakteristik pria Nagendra,” kata Praya.

Dengan tubuh semakin gemetar, Eila mengikuti Janar berpindah tempat menemui Mahika di ruang pribadinya.

Kali ini Mahika tak berteriak atau mengusir, dalam posisi duduk, Mahika tampak lebih tenang. Meski ada sofa kosong di dekat Mahika, Janar dan Eila memilih bersimpuh di lantai.

“Ibu tak akan mengubah keadaan. Kau ceraikan Prisa, Ibu akan pergi,” ucap Mahika langsung.

Janar dan Eila tak langsung menyahut karena keduanya sudah menduga kekerasan hati Mahika.

“Kembalilah seperti semula. Sadari posisi kalian masing-masing,” lanjut Mahika.

Janar ingin mengajukan negoisasi, tapi Eila menahan tangannya memberi kode untuk mengalah.

“Janar, utamakan istri pertamamu yang sedang berjuang memberimu keturunan. Eila, bantu Prisa, jangan egois,” kata Mahika lagi sebelum berdiri lalu meninggalkan Janar yang terduduk lemas.

Tanpa suara Eila menahan tubuh Janar lalu memeluknya.

“Tak apa, aku bisa bersabar. Seperti katamu dahulu, kita tidak bisa mengubah tatanan secara ekstrem,” bisik Eila.

Bohong bila Eila tetap tenang, nyatanya semalaman dia tak bisa tidur memikirkan ucapan Mahika. Angannya hidup sebagai wanita normal seakan menjauh karena Mahika tak mengizinkan Janar menceraikan Prisa. Terpaksa Eila harus bersabar menjadi istri kedua yang mengalah pada Prisa dan segala keutamaannya.

Eila punya pilihan mengajukan perceraian, dia yakin Janar akan membantunya mengembalikan mahar. Masalah hanya ada pada Balin yang tak akan mungkin mau mengembalikan jabatan.

Eila juga punya pilihan melarikan diri dari Nagendra, dia pun yakin Janar akan memberinya peluang tersebut. Namun, Eila takut Agni dipersalahkan.

Alasan terakhir yang menahan Eila adalah keinginannya untuk bisa tetap bersama Janar.

“Nyatanya nyaliku tak sebesar impianku,” desah Eila sembari memeluk guling sebagai pengganti kehadiran Janar yang berada di kamar Prisa.

Seperti Eila yang merenung, Janar dan Prisa juga sama-sama berdiam diri. Keduanya tidak bicara, padahal malam sudah semakin larut.

Prisa duduk bersimpuh di depan jendela, menghindari Janar sekaligus mengadukan keresahannya pada dewa malam.

Janar berbaring di atas ranjang, membelakangi Prisa yang mendoakan kelembutan hati Janar untuknya. Namun, Janar tetap tidak berbalik.

Menjelang pagi, Prisa baru berani tidur di samping Janar. Namun, baru saja Prisa terpejam, Janar justru sudah bangkit. Sebelum matahari datang, Janar menyelinap lagi ke paviliun Eila.

“Kenapa kau ke sini?” tanya Eila yang baru selesai mandi.

Lihat selengkapnya