Primula Terakhir

Wnath
Chapter #25

25. Murka

Janar tak pulang ke rumah. Menurut Praya karena ada pekerjaan mendadak yang membutuhkan pengawasan Janar. Namun, Eila dan Prisa sadar Janar sedang menenangkan diri dan sengaja menjauhi Jatmika.

Semalaman Prisa tak tidur, terus bersimpuh di depan jendela. Menghadap langit malam dari jendela yang terbuka, Prisa kembali mengadukan hatinya yang mulai lelah.

Di kamarnya, Eila pun tak tidur. Matanya terbuka lebar memandangi primula di meja yang siang hari dikirimkan Janar melalui asistennya.

Sementara itu, di rumah kebun jagung, Janar terdiam di ranjang, menjauhi ponsel.

“Mengapa dulu kunikahi Prisa?” sesal Janar.

“Hidup itu jangan terlalu memikirkan cinta. Di pundak kita ada tanggung jawab yang harus dijalani. Sudah berkali-kali Ayah ingatkan, jangan mengikuti rayuan cinta dari wanita. Pertahankan Prisa selama dia tidak melakukan kesalahan.”

Mata Janar tak bisa terpejam ketika terdengar ucapan Praya yang menemuinya di kantor. Pria itu menasihati Janar untuk tidak terlibat terlalu jauh dalam jebakan rasa.

“Begitulah wanita, selalu memiliki daya tarik tersendiri. Harusnya kau cari kelebihan Prisa yang tak ada pada Eila. Atau, carilah wanita lain lagi agar kau tak terpaku pada satu wanita saja. Hidup itu luas, bukan hanya tentang wanita.”

Semakin merenungi percakapan dengan Praya, semakin Janar merasa jauh dari ayahnya. Isi kepala Janar yang bertolak belakang dengan Praya membuat Janar makin mempertanyakan nilai tradisi Nagendra yang sejak kecil diyakini Janar sebagai pedoman hidup bahagia. Namun, kini Janar mempertanyakan letak kebahagiaan itu.

“Siapa yang bahagia dengan tradisi ini? Aku, Eila, atau Prisa? Tak ada di antara kami yang tenang menjalani pernikahan ini,” rutuk Janar di dalam hati.

Keesokan harinya Janar masih tak pulang. Meski pergi ke kantor, Janar tak singgah di Jatmika. Eila masih menyibukkan diri berkebun, sedangkan Prisa kembali meninggalkan Jatmika dengan alasan yang sama, ke dokter.

Mahika menyadari putranya sedang menjaga jarak dengan Jatmika, tapi wanita itu berusaha tenang. Seolah memaklumi tindakan Janar yang ingin menenangkan diri, Mahika membiarkan Janar tak pulang.

Siang hari saat sedang berkebun, Eila mendapat pesan dari Janar.

Apa kabar primulaku? Maaf belum bisa menemuimu. Aku akan keluar kota selama dua hari. Saat kembali, kita akan bersama.

Eila menghela napas pendek membaca deretan kata yang dikirimkan Janar sesaat setelah pria itu mengirim pesan serupa dengan kata-kata berbeda untuk Prisa.

Di salah satu bangku taman kota, Prisa terdiam memandangi pesan yang dikirimkan Janar untuknya.

Aku ke luar kota selama dua hari.

Pesan tanpa basa-basi itu terasa hambar dan lucunya menyakitkan bagi Prisa yang diam-diam meneteskan air mata karena merasa hidupnya sangat hampa.

Dengan tubuh lunglai, Prisa meninggalkan taman. Sementara itu, Eila juga meninggalkan kebun kecilnya.

“Nyonya sakit?” tanya Sani ketika melihat Eila terhuyung masuk ke rumah.

“Agak pusing, tolong carikan obat,” jawab Eila sambil memijat dahinya untuk mengurangi pusing di kepala.

Dengan tangkas,Sani mencari obat di ruangannya sendiri. Saking terburu-buru, Sani sembarangan mengeluarkan kotak obat hingga terjatuh ke lantai. Cepat-cepat Sani membereskan obat yang tercecer, tapi gerakannya terhenti ketika Nyonya Arra memergokinya.

“Obat apa ini?” tanya Nyonya Arra sembari mengangkat satu plastik obat berisi pil.

Wajah Sani memucat lalu dengan cepat bibirnya berbohong.

“Obat racikan untuk maag,” jawab Sani berdusta karena sebenarnya obat itu adalah pil kontrasepsi Eila.

Jawaban yang diberikan dengan raut wajah tegang dari Sani membuat Nyonya Arra justru curiga. Dengan tenang Nyonya Arra memeriksa pil tersebut hingga Sani gemetaran.

“Nyonya, maaf, saya sedang terburu-buru. Nyonya Eila sedang tak enak badan. Nyonya ….”

“Apakah ini pil pencegah kehamilan?” tebak Nyonya Arra.

Sani masih bungkam karena tak mau menyulitkan Eila, tapi Nyonya Arra mengambil kesimpulan sendiri.

“Sani, kau belum menikah. Mengapamemiliki pil ini? Apa kau melakukan perbuatan tercela?” tuduh Nyonya Arra.

“Eh, Nyonya itu ….”

“Wanita harus menjaga diri. Kau sudah bertindak kejauhan, Sani. Katakan, apa kau berbuat mesum di dalam kompleks ini?” tanya Nyonya Arra.

Sani benar-benar kebingungan. Di satu sisi dia ingin membela diri dari segala tuduhan Nyonya Arra, tapi Sani tak mau Eila mendapat masalah. Dalam tuduhan yang semakin menggila, Sani memilih tetap menjaga rahasia Eila.

“Kau harus ditertibkan! Kau membuat malu!” kata Nyonya Arra.

Lihat selengkapnya