Dalam keadaan tak sadar, Eila merasa bertemu seorang perempuan tua dengan rambut putih yang menjuntai sampai ke pinggang. Perempuan bertubuh tinggi dan masih tegap itu menatap Eila yang berbaring tak bergerak. Tanpa suara perempuan itu mendekat sembari berusaha menyentuh tangan Eila. Spontan Eila berusaha menjauh. Meski kesulitan bergerak, sekuat tenaga Eila berusaha bangkit. Kemudian, lamat-lamat Eila mendengar suara yang dikenalnya.
“Eila … Eila ….”
Suara itu mendekat sembari menyentuh tangan Eila yang seketika membuat Eila terkejut lalu tiba-tiba membuka mata. Samar-samar Eila melihat Janar dan Agni berdiri di dekatnya, menunduk menatap Eila yang akhirnya sempurna melihat dengan jelas.
“Eila, aku di sini,” bisik Janar dengan suara lega karena akhirnya Eila tersadar.
Tak ada jawaban dari Eila karena pikirannya masih berusaha mencerna keadaan. Pelan-pelan Eila memperhatikan ruangan rumah sakit, ekspresi Janar dan Agni, juga serangkaian peristiwa yang terjadi sebelum dirinya kehilangan kesadaran.
“Ah, bekicot,” gumam Eila membuat Janar dan Agni mengerutkan dahi.
“Ya, ada apa, Eila?” tanya Janar masih membungkuk mendekati wajah Eila.
“Bekicot, aku tidur, tanganku terkena bekicot. Aku jatuh,” jawab Eila masih setengah meracau.
“Ya, tenanglah. Tak ada bekicot lagi, kau juga sudah diobati,” balas Janar sambil mengusap dahi Eila.
“Apa yang terjadi?” tanya Eila yang mulai kebingungan dengan kondisinya sendiri.
Janar masih berusaha mencari kata sembari menarik napas panjang ketika Agni mendahului memberi jawaban yang membuat Eila memelotot kaget.
“Kau keguguran!” ucap Agni dengan suara ketus, dingin, dan menyakitkan bagi telinga Eila yang baru bisa berfungsi normal setelah berjam-jam kehilangan pendengaran dalam ketidaksadarannya.
“Keguguran? Aku hamil?” tanya Eila bingung.
Netra Eila bergeser menatap Janar yang berusaha tetap tenang meski hatinya patah ketika mengetahui Eila keguguran.
“Kau tak sadar dirimu hamil?!” bentak Agni dengan nada tinggi yang menyentak Eila.
“Ibu, maaf, Eila baru saja sadar. Tolong, jangan meneriakinya,” pinta Janar.
Ditegur Janar membuat Agni memilih meninggalkan kamar perawatan, sementara Janar langsung mendekat kemudian memeluk Eila yang masih kebingungan.
“Maafkan aku tak bisa menjagamu,” kata Janar menumpahkan rasa kecewanya pada Eila yang terpaku.
Eila memang sudah cukup lama berhenti mengonsumsi pil pencegah kehamilan. Eila tak benar-benar berharap langsung hamil, hanya mulai mempersiapkan diri menjadi istri seutuhnya untuk Janar. Berusaha menjadi istri normal yang tak menolak dihamili. Namun, Eila tak tahu kalau dirinya sangat subur dan hamil dengan cepat.
Yang membuatnya sedih, Eila merasa telah menjadi pembunuh bagi janinnya sendiri.
“Aku yang bersalah, Janar. Maafkan aku,” balas Eila masih kebingungan.