Primula Terakhir

Wnath
Chapter #28

28. Kesabaran

Hukuman pengasingan 40 hari yang diberikan Mahika pada Eila nyatanya tak hanya menyiksa bagi Janar dan Eila yang harus menahan rindu bertemu. Prisa pun ikut merasakan dampak dari hukuman tersebut. Alih-alih bisa mempererat hubungan Prisa dan Janar, hukuman tersebut hanya makin memperjelas besarnya cinta Janar untuk Eila.

Seminggu pertama Janar selalu pulang terlambat. Dengan alasan lelah, Janar tak pernah menyentuh Prisa yang sangat berharap bisa segera hamil demi mengobati luka hati para tetua Jatmika. Namun, sampai Prisa mengalami menstruasi, Janar benar-benar tak menyentuhnya. Setelah Prisa sudah bisa disentuh, Janar malah jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit karena penyakit lambung yang dipicu oleh tekanan pikiran.

“Makanlah,” ucap Prisa sembari menyodorkan garpu yang menusuk pepaya.

Janar membuka mulut untuk menerima suapan Prisa, tapi hanya sekali. Ketika Prisa menyodorkan tangannya kedua kali, Janar menolak.

“Pulang saja, temani Ibu,” ucap Janar secara halus mengusir Prisa yang sudah dua malam menemaninya di rumah sakit.

“Kau begini karena Eila? Kau merindukannya?” tanya Prisa tiba-tiba.

Janar tak bersuara, tak enak hati pada Prisa yang sudah merawatnya. Padahal, yang diucapkan Prisa benar adanya. Semenjak dipisahkan dari Eila, Janar tidak makan dan tidur dengan teratur karena terus gelisah memikirkan Eila. Apalagi Janar tahu Balin dan Agni berpihak pada Mahika.

Meski setiap hari selalu mengirimkan primula berbeda warna pada Eila, Janar tetap resah karena tak melihat secara langsung rupa istrinya.

“Aku bisa menemuinya. Sumpah Ibu tidak berlaku untukku,” kata Prisa dengan kepala menunduk.

“Untuk apa?” tanya Janar tak mengerti.

“Entahlah, aku juga tak tahu. Aku tak tahu harus berbuat apa lagi untuk menyenangkanmu,” jawab Prisa menohok perasaan Janar.

Lagi, Janar merasa bersalah dan berdosa pada Prisa. Dua puluh hari telah berlalu dengan sikap dingin Janar, tapi Prisa tetap bersabar menemani suaminya.

Tak ada lagi percakapan. Janar memilih diam, Prisa memilih tak mengusik. Hanya dengung pendingin udara serta langkah dan gerakan perawat saat melakukan pemeriksaan yang mengisi kesunyian ruang perawatan Janar.

Begitu juga suasana di paviliun rumah Agni, sangat sunyi dan tenang karena pelayan bahkan Sani tak berani mengganggu Eila yang sedang berdiam diri di depan jendela. Bibir Eila tak mengucap apa pun, hanya tangan dan matanya yang fokus bergerak menyulam.

Demi membunuh waktu yang membosankan, Sani mengajari Eila menyulam. Dalam seminggu Eila mengikuti pelajaran dengan baik. Meski tak sempurna, Eila telah berhasil menyulam satu bunga primula warna merah di atas sarung bantal.  

Sesekali Eila melirik bunga primula dalam vas. Bunga warna-warni itu berhasil menyisipkan kekuatan sabar dalam diri Eila karena dia merasa Janar masih bersamanya. Meski rindu setengah mati pada Janar, Eila bertahan tidak merengek, tidak memaksa Janar menemuinya. Alih-alih mengeluhkan keadaan, Eila selalu berusaha mengirimkan pesan positif pada anak buah Janar yang mengantar primula.

Jangan cemaskan aku, sangat menyenangkan bisa pulang ke rumah. Sani mengajarkan beberapa hal baru yang menyita waktu.

Aku merindukan primula raksasa, tapi primula yang setiap hari datang sudah cukup mewakili keberadaannya.

Jangan marah pada Ibu, aku pun akan menjadi seorang ibu.

Eila tak menyadari, pesan baik-baik saja yang dia kirimkan justru membuat Janar semakin merindukannya. Janar pun yakin Eila tak benar-benar baik-baik saja.

“Eila!”

Suara keras Agni memecah keheningan hingga Sani yang sempat terkantuk-kantuk di sofa pun langsung terloncat berdiri.

Langkah Agni yang sebelumnya terburu langsung terhenti ketika melihat putrinya menyulam dengan ketenangan. Meski heran, Agni mengabaikan pemandangan langka di depannya.

“Janar di rumah sakit, lambungnya bermasalah,” ucap Agni.

Pada detik Agni menutup mulut, Eila berhenti menyulam. Kepalanya terangkat menatap Agni yang memberi penjelasan sedikit lebih banyak tentang Janar yang sudah dua malam dirawat.

“Janar sangat mencintaimu, seharusnya itu bisa mengamankan kedudukanmu. Mengapa kau mencari masalah menelan pil pencegah kehamilan?” tanya Agni mengulangi omelan yang dilagukan sejak hari pertama Eila pulang.

Tak ada jawaban dari Eila yang memilih menunduk mendengarkan omelan Agni. Ketika ibunya pergi, Eila baru menarik napas panjang. Masih tak bersuara, Eila mengambil air minum lalu beristirahat. Namun, di tengah malam Eila beranjak pergi menuju saung leluhur.

Lihat selengkapnya