Primula Terakhir

Wnath
Chapter #30

30. Rasa Gundah

Angin kencang menerpa wajah Eila, menjadikan matanya menyipit karena kemasukan debu. Seketika tangannya menggosok mata kiri yang memerah.

“Ada apa? Kemasukan debu?” tanya Janar sembari menepis tangan Eila.

Dengan cekatan Janar membuka paksa mata kiri Eila lalu meniupnya, berusaha menerbangkan debu yang sempat terperangkap di dalam kelopak mata wanitanya.

“Lega?” tanya Janar saat menjauh sedikit dari Eila.

“Ya, terima kasih,” jawab Eila sambil tersenyum lalu kembali menatap parit agak besar dari halaman belakang rumah kebun jagung.

“Aku akan bicara dengan Prisa,” ucap Janar tiba-tiba.

Eila masih berusaha bernapas dengan normal, meski dadanya kembang kempis kesulitan mencari oksigen semenjak mendengar keputusan Mahika yang meminta Janar segera pergi bersama Prisa menjalani ritual di rumah gunung.  

Berita itu disampaikan Mahika setelah Eila mengetahui dirinya hamil lagi. Belum sempat Eila memberitahu kehamilannya, Mahika sudah mengintimidasi Janar dengan kata-kata bahwa dirinya sudah sangat ingin menimang putra Prisa.

Merasa keturunannya tak diharapkan, Eila urung memberitahu kabar baik kehamilannya. Tak hanya pada Mahika, pada Janar pun Eila masih merahasiakan kehamilannya karena Eila tak mau Janar gegabah mengambil keputusan ekstrem yang bisa memicu perdebatan dan pertikaian lagi dengan Mahika.

“Mau bicara apa? Menolak perintah ibu?” tanya Eila.

“Segalanya, Eila. Sudah waktunya kita membahas hubungan tak sehat ini. Bukan hanya kau, aku yakin Prisa pun tak bahagia,” jawab Janar.

“Bagaimana kalau ibu makin murka?” tanya Eila gugup.

“Aku akan berusaha mencegah kemurkaan itu,” jawab Janar serius.

Perlahan kepala Eila menoleh ke arah Janar yang tersenyum.

“Aku ingin kau bahagia, bukan menderita seperti ini,” kata Janar lagi.

“Bagaimana dengan janjimu pada ibu? Kau berjanji tak akan pernah membantah orang tua,” ucap Eila mengingatkan.

“Jangan risaukan diriku, bersabar saja,” kata Janar masih sambil melebarkan senyuman yang makin meresahkan Eila.

Meski segala cara telah dia lakukan untuk mengusir resah, gumpalan rasa tak nyaman tetap menguasai Eila. Keputusan Janar yang ingin menentang rencana ritual di rumah gunung membuat Eila tak bisa tidur dengan tenang meski sudah kembali ke paviliun. Eila takut Janar mendapat masalah, juga takut anak dalam kandungannya ikut mendapat masalah.

“Aku bisa bersabar, lalu bagaimana dengan anakku?” tanya Eila sambil menyentuh perutnya.

Dari teras, Eila memperhatikan anak-anak kecil yang berlarian melewati paviliunnya. Di antara keturunan Praya lainnya, memang tak ada anak lelaki selain Janar. Bahkan cucu yang dilahirkan putri-putri Praya pun semuanya perempuan. Hanya Janar harapan tetua untuk meneruskan eksistensi Jatmika.

Membayangkan terus terjebak dalam istana Jatmika yang kokoh menolak peradaban modern, Eila menarik napas berkali-kali.

“Nyonya, ada kiriman bunga dari Tuan Janar,” kata Sani yang mendekat sembari menenteng buket bunga primula warna ungu.  

Sambil menerima bunga tersebut, Eila mencari kartu ucapan yang terselip.

Hai, Primula Cantik. Tetap tersenyum seperti keceriaan kelopak primula ungu ini. Aku harus keluar kota selama dua hari. Sampai bertemu lagi.

“Tuan Janar keluar kota?” tanya Sani yang menerima kartu dan buket dari Eila untuk disimpan.

Tak menjawab Sani, Eila malah melamun menatap bangunan rumah utama. Kata-kata yang ditulis Janar itu membuat perut Eila terasa mulas karena dia merasakan firasat tidak baik. Tanpa didampingi Sani, pelan-pelan Eila bergerak menuju rumah utama.

“Nyonya Mahika sedang di taman belakang,” ucap pelayan wanita yang menjawab saat Eila mencari keberadaan Mahika.

Penuh keraguan Eila bergerak menuju taman belakang untuk menemui ibu mertuanya. Ada degup tak biasa ketika kaki Eila makin mendekati pintu taman, hampir saja dia berbalik pergi ketika mendengar suara Prisa.

“Ibu, Janar memiliki tanggung jawab besar dalam perusahaan. Tiga bulan cuti untuk menetap di rumah gunung rasanya terlalu berat,” ucap Prisa dengan suara gugup.

“Perusahaan bisa ditangani orang lain, masalah keturunan siapa yang bisa menangani kalau bukan kalian berdua? Ayah sudah mengizinkan. Kau persiapkan saja diri untuk menjalani ritual tersebut,” kata Mahika tegas.

Lihat selengkapnya