Anak perempuan yang sudah menikah milik keluarga suami, jangan membangkang. Kau harus mengikuti apa pun keputusan suami dan keluarganya.”
Kata-kata yang pernah diucapkan Agni terasa berdenging di telinga Eila. Suara tegas ibunya yang tak bisa dibantah kini beradu dengan suara Balin yang keras menolak Eila pulang ke rumah.
“Bukan hanya masalah mengembalikan mahar, tapi kau melanggar tradisi, Eila. Jangan menyusahkan kami, kembalilah pada keluarga Jatmika. Mereka yang kini memilikimu.”
“Bagaimana kalau mereka membuangku?”
“Itu takdirmu, karena itu berusahalah agar tak dibuang!”
“Nyonya, di mana alamatnya?” tanya sopir yang mengantar Eila keluar dari Jatmika.
Beralasan pergi ke toko alat perkebunan, Eila meninggalkan rumah. Padahal, bukan toko alat perkebunan tujuan yang ingin dia datangi. Sebuah rumah kontrakan di luar Nagendra menjadi tujuan Eila yang menimbulkan kerutan di kening sopir.
Setelah Prisa menyetujui membantunya, Eila mengikuti instruksi yang diberikan Prisa menuju rumah yang telah dikontrak oleh Prisa. Rencana mereka, di rumah itu Prisa akan membawa Mahika memergoki Eila bersama seorang pria.
Eila tahu perbuatannya mungkin akan menyakiti Janar, tapi dia tak memiliki pilihan selain mengakhiri ketidaksukaan Mahika padanya. Eila ingin diusir dari Jatmika dan Nagendra. Ingin melahirkan dan membesarkan anaknya dengan ketenangan tanpa ada lagi campur tangan tradisi ketat yang menyiksa.
“Bila kita memang berjodoh, kelak kita akan bertemu lagi. Semoga dalam situasi yang lebih baik,” ucap Eila di dalam hati.
Dengan langkah gontai Eila keluar dari mobil yang berhenti di rumah dalam area sepi. Saat sopir meninggalkannya, pelan-pelan Eila mengeluarkan kunci yang diberikan Prisa untuk menunggu skenario berikutnya berjalan. Tak terkira berdebarnya hati dan dada Eila membayangkan amukan yang akan diberikan Mahika serta kecewa yang akan dirasakan Janar.
Berulang kali Eila mengucap maaf pada Janar karena mengkhianatinya dengan merencanakan kebohongan demi melarikan diri dari Nagendra. Namun, rasa bersalah menguap tiap kali Eila memikirkan janin dalam dirinya.
Satu menit, dua menit, Eila semakin gelisah menantikan sosok pria yang rencananya akan menemui Eila di dalam rumah itu. Eila tak merencanakan melakukan hal apa pun, hanya bertemu pria itu untuk dipergoki Mahika dan Prisa. Namun, sampai sepuluh menit berlalu, pria yang ditunggu tak juga tiba.
“Kau yakin akan melakukan hal ini? Seluruh keluarga akan menghujatmu. Janar akan kecewa.”
Kepala Eila terasa pening mengingat pertanyaan yang diberikan Prisa ketika membahas rencana mereka.
“Tak masalah dihujat keluarga yang tak menginginkanku, tak menganggapku ada. Aku hanya berat memikirkan perasaan Janar, tapi tak masalah, itu risiko.”
Dengan keras kepala Eila memantapkan hati meneruskan rencana gilanya agar segera terusir dari Nagendra. Eila yakin, Mahika dan Praya akan mengusirnya keluar dari Nagendra tanpa perlu memaksa Balin mengembalikan mahar. Keluarga Jatmika pasti tak mau memperbesar aib yang sudah ditorehkan Eila.
Membayangkan sakit hati yang dialami Janar, Eila pun merasa sakit. Namun, membayangkan ucapan Mahika yang menganggap keturunan Eila sebagai biang mudarat pun Eila juga merasa sakit. Besarnya keinginan Eila membebaskan sang anak dari jerat Nagendra membuat Eila bertahan meneruskan skenario penggerebekan. Namun, sampai setengah jam berlalu, tidak ada pria yang datang ke rumah tersebut.
Mulai curiga, Eila mengecek ponsel. Namun, Prisa juga tidak mengabarkan apa pun. Hampir saja Eila menelpon Prisa ketika mobil kembali menjemputnya.
“Ada apa?” tanya Eila gusar kala melihat sopir keluarga Jatmika membuka jendela.
“Nyonya, gawat! Ada masalah berat. Saya diminta menjemput Nyonya Eila untuk kembali ke Jatmika karena terjadi kegemparan,” lapor sopir dengan kepanikan.
“Kegemparan apa?” tanya Eila bingung.
“Tuan Janar melukai Nyonya Prisa karena memergoki Nyonya Prisa sedang berduaan dengan seorang dokter di desa sebelah!”
Mata Eila membesar, tak memercayai ucapan sopir yang diulang. Selama beberapa detik Eila berdiri dengan gemetar dengan otak tak bisa berfungsi normal. Eila baru mendapatkan kesadarannya ketika sopir membuka pintu mobil untuknya.
“Nyonya, ayo pulang,” ajak sopir membuat Eila perlahan masuk ke dalam mobil.