Bantahan yang diteriakan Janar sangat mengejutkan Praya dan Mahika. Pembangkangan tegas Janar membuat pasangan suami istri itu syok bahkan tak bisa berkata-kata. Dengan wajah memerah karena marah, Praya meninggalkan paviliun Eila, sementara Mahika terduduk lemas di hadapan Janar.
“Tarik ucapanmu, Janar! Kau tak tahu sopan santun pada ayahmu!” bentak Mahika.
“Tidak, Ibu. Sudah cukup aku mengikuti keinginan kalian, aku tak akan mengulang kesalahan yang sama seperti yang kulakukan pada Prisa. Aku tak mau kehidupan pribadiku disetir lagi,” balas Janar.
“Janar! Kau tak bisa melakukan hal ini! Kau penerus Jatmika, kau wajib memenuhi tanggung jawab!” sahut Mahika.
“Aku berusaha memenuhi tanggung jawabku, aku bersedia menanggung kehidupan semua orang di kompleks ini, tapi aku juga ingin bahagia, Bu. Aku tidak mau menceraikan Eila. Kalau Ibu tetap memaksaku menikahi wanita lain, lebih baik ibu makamkan aku,” ucap Janar serius.
“Apa katamu?” tanya Mahika murka.
“Lebih baik kutemui leluhur daripada hidup menanggung derita seumur hidup dan menularkan derita itu pada wanita lain,” jawab Janar.
Tak mampu berkata-kata, Mahika meninggalkan paviliun Eila. Namun, Janar tetap di dalam kamar sembari mendekati primula yang seolah ingin menyapanya.
Dengan bergetar tangan Janar mengambil kartu yang diselipkan Eila. Mata Janar memanas membaca deretan kata yang ditinggalkan Eila untuknya.
Hai, Janar.
Terima kasih sudah memilihku menjadi primula di hatimu. Aku bahagia saat menjadi primulamu. Jangan sedih saat aku tak ada, aku hanya melanjutkan hidup di dunia berbeda. Primulamu akan tetap tumbuh dan berkembang dengan baik.
Terima kasih telah mengajariku mengenal cinta pertama.
Tanpa bisa dicegah setetes air jatuh di pipi Janar. Rasa sesak pun mulai menggumpal di dadanya, membuatnya limbung dan terjatuh begitu saja.
Sementara itu, Prisa juga terjatuh di lantai setelah didorong ayahnya yang mengusir. Koper besar yang sudah disiapkan Prisa juga dilemparkan ke dekatnya.
“Pergilah, tempatmu bukan di sini lagi!” usir ayah Prisa.
Tanpa menangis, Prisa menatap Danti yang berlutut sembari menangis kemudian memeluknya.
“Pergilah, Ibu ikhlas. Pergilah dan temukan bahagiamu,” bisik Danti.
“Terima kasih, Ibu. Terima kasih sudah merestuiku,” balas Prisa sebelum berdiri.
Dalam keadaan pikiran kacau, Prisa meninggalkan rumah masa kecilnya juga Nagendra. Kepala Prisa sempat menoleh ke luar jendela ketika mobil melewati kompleks Jatmika. Dalam beberapa detik, berbagai kenangan menyeruak dalam kepala Prisa.
Kenangan saat pertama kali menginjakkan kaki di kompleks Jatmika, saat menjadi mempelai pengantin Janar. Saat pertama kali disentuh Janar, saat Prisa mencoba menjadi istri yang baik untuk Janar. Kenangan itu juga bergabung dengan bayangan saat Eila hadir di tengah pernikahan mereka yang sejak awal dipenuhi kehampaan.
“Nyonya, ke mana kita pergi?” tanya sopir yang melirik Prisa.
“Hotel Pesona Arsa,” jawab Prisa sembari mengetik pesan singkat berupa nama hotel.
Tanpa memikirkan resah hati anak manusia, malam pun tetap bergulir. Di bumi Nagendra, di luar Nagendra, bahkan jauh dari Nagendra. Di bawah langit yang sama-sama gelap, Eila, Janar, dan Prisa tak bisa memejamkan mata sembab mereka. Pada langit yang sama, ketiganya masih mengharapkan kebaikan semesta untuk memberi kemudahan dan kebahagiaan bagi kehidupan mereka.
Di tengah malam itu, Mahika juga tak bisa memejamkan mata karena Praya terus memaksanya membuka mata akibat teringat hardikan sang suami sebelum pindah ke paviliun Mehul.
“Semua ini bermula dari kesalahanmu, Mahika. Kau gagal mengurus rumah, kau menyebabkan kekacauan!”
Sendirian, Mahika memeluk guling lalu meneteskan air matanya.
Keesokan harinya Janar menghilang dari kompleks Jatmika. Tanpa pamit pada Praya atau Mahika, Janar menemui Prisa. Mata keduanya masih sama-sama sembab ketika Prisa membuka pintu kamar.
“Kau baik-baik saja?” tanya Janar langsung.
Semalam Janar tak melihat ponsel ketika Prisa mengirimkan lokasi pengungsiannya untuk sementara. Paginya Janar langsung pergi ketika membaca pesan yang dikirimkan Prisa.
“Kau terlalu basa-basi, bagaimana bisa aku baik-baik saja?” balas Prisa sambil duduk di sofa.
“Maafkan aku,” ucap Janar.
“Terkadang aku ingin menyalahkanmu, Janar, tapi berjam-jam kurenungkan kehidupan kita, aku pun tak tahu di mana salahmu,” gumam Prisa sambil menatap ke arah jendela yang tirainya terbuka.
“Selama menikah kau tak pernah menyakiti fisikku, kalau selalu berusaha berbuat baik, tapi nyatanya semua itu justru menyakitiku. Kau tak pernah berselingkuh, tapi pada akhirnya jatuh cinta pada Eila. Aku ingin menyebutnya sebagai kesalahan, tapi Eila istrimu. Kau terlalu sempurna untuk memiliki cacat,” lanjut Prisa.
“Menurutku kaulah yang sempurna, Prisa. Kau tak pernah bahagia hidup bersamaku, tapi kau tetap melayaniku dengan baik, melayani keluargaku tanpa protes. Aku benar-benar berdosa padamu,” balas Janar.
“Kau lupa, ketidaksempurnaanku yang mengawali semua ini. Karena aku gagal memberimu anak, kau dinikahkan dengan Eila lalu berakhir mencintainya,” ucap Prisa.