Eila mencintai musim semi, selalu menyukai suasana musim semi dengan semarak bunga-bunga aneka warna yang indah. Tentu saja, di antara semua bunga, Eila sangat menyukai primula.
Musim semi kali ini pun Eila masih tetap mengidolakan primula yang berjejer di balkon apartemen juga di dekat pintu keluar balkon. Bunga aneka warna itu seolah mewakili kehidupan dan perasaan Eila di musim semi paling indah dalam hidupnya.
“Sebentar lagi mereka layu,” kata Eila sambil memandangi primula ungu yang diletakkan Janar di rak dekat pintu menuju balkon.
Pelan-pelan Eila memangkas daun yang yang tak sehat lalu merapikan pot bunganya. Keseriusan Eila baru terjeda ketika terdengar suara tangisan bayi.
“Oh, Sayang!”
Eila memekik sembari menjauhi primula untuk mendatangi suara tangisan yang bersumber dari kamar bayi. Dengan wajah semringah, Eila menatap Janar yang sedang mengayun bayi dalam gendongannya. Isak tangis bayi itu mereda seiring dengan kedatangan Eila yang tersenyum.
“Apa dia lapar?” tanya Eila ingin tahu.
“Mungkin, kau bisa menyusuinya, kan?” tanya Janar.
“Tentu saja, aku ibunya! Kenapa aku tak bisa?” balas Eila sembari memposisikan diri di ranjang.
Namun, belum sempat Janar meletakkan bayi mereka, Eila bangkit lagi.
“Tunggu, aku lupa cuci tangan!” seru Eila mengejutkan Janar juga bayi yang menjadi emosional karena merasa dipermainkan.
Saat Eila mencuci tangan, saat itulah sang bayi menangis histeris lagi.
“Ya, ya, tunggu!” teriak Eila sambil mengeringkan tangan lalu berlari mendatangi putra kesayangannya diiringi helaan napas dari Mahika yang memperhatikan dari dapur.
“Sayangku, maafkan Mama!” seru Eila sembari meraih bayi yang menangis kelaparan.
Dengan bantuan Janar, Eila mulai menyusui bayinya yang berhenti menangis. Pelan-pelan Janar merapikan bantal di punggung Eila agar istrinya merasa nyaman.
“Minumlah ramuan ini, baik untuk menyusui,” kata Mahika saat masuk ke dalam kamar dengan segelas minuman berwarna hijau lumut.
“Dari mana Ibu mendapatkan ramuan? Di sini kan agak sulit,” kata Eila curiga.
“Di swalayan ada banyak rempah-rempah. Meski mahal, tapi itu penting untuk kesehatan. Lagipula Ibu juga tidak membayar, itu uang Janar,” sahut Mahika sembari menyodorkan gelas ke mulut Eila.
“Harus kuminum sekarang?” tanya Eila sambil menatap Janar, meminta bantuan.
“Minumlah, Ibu sudah susah payah membuatnya,” jawab Janar tak membantu Eila.
Setelah menghela napas panjang, terpaksa Eila meminum ramuan yang rasanya jauh dari kata nikmat. Meski tak enak, Eila tak ingin mengecewakan Mahika. Dihabiskannya satu gelas minuman dengan perasaan lega. Namun, Eila merasa tertekan ketika mendengar ucapan Mahika berikutnya.
“Ibu sudah membuat cadangan di kulkas. Sehari tiga kali harus kau minum,” kata Mahika sebelum menutup pintu kamar.
“Astaga, kukira jauh dari Nagendra bisa membebaskanku dari ramuan!” gerutu Eila disambut gelak tawa Janar.
“Kau yang bilang kalau hal-hal baik dari Nagendra harus tetap dilestarikan. Ibu mengikuti ucapanmu,” ucap Janar.
“Kau tak ingin membantu istrimu yang sedang kesulitan?” tanya Eila.
“Tentu saja, sejak kapan kubiarkan primulaku tersayang menanggung beban pahitnya hidup sendirian? Akan kubantu kau menghabiskannya,” jawab Janar membuat wajah Eila berseri-seri.
“Terima kasih, Primulaku Sayang!” balas Eila tanpa malu-malu.
Sama seperti Eila, tanpa malu Janar pun mendekat kemudian memberi kecupan manis di bibir Eila yang semakin melebarkan senyuman.