Setelah lebih dari 12 jam perjalanan, akhirnya rombongan magang Farrel dan kawan-kawannya tiba di bandara El Prat, Barcelona. Kesemuanya bergegas turun dari pesawat, seorang pramugara menuntun mereka menuju ruang imigrasi khusus dan di sana sudah ada Nando-asisten Farrel yang menunggu. Selesai memeriksa izin tinggal rombongan yang berjumlah 15 orang tersebut, mereka kembali digiring menuju pintu keberangkatan.
"Nando, kenapa kita kembali lagi? Apa ada masalah dengan izinnya?"
"Tidak ada masalah, Tuan Muda. Sekarang Anda beserta teman-teman Anda akan berangkat lagi dengan helikopter menuju Malaga."
"Malaga?" kaget Farrel. "Kemarin paman bilang kalau kami akan berada di Barcelona."
"La bodega Barcelona sudah lama hanya menjadi gudang anggur. Kalau untuk pertanian dan perkebunannya hanya-"
"Kalau begitu kami akan ke Rioja."
"Maaf, menurut Tuan Uta, kondisi Rioja yang terpencil diperkirakan kurang cocok untuk Anda dan teman-teman kota Anda," lirih Nando di bagian akhir.
Farrel mencebik seraya menatap teman-temannya. Paman Uta memang tidak salah, bagaimana bisa sekumpulan manusia dengan outfit seharga satu unit mobil akan tinggal di Rioja, tapi setidaknya Malaga bukanlah pilihan yang buruk.
"Ada masalah, Bro?" tanya Wisnu.
"Nggak. Cuma pindah tempat magang. Bukan di Barcelona, tapi Malaga," jawab Farrel sambil melempar tas selempangnya ke dalam helikopter. "Wisnu, Rendra, Dea, Siska, kalian ikut helikopter gue. Sisanya bisa ikut dua helikopter yang lain," lanjut Farrel, lalu memasang sabuk pengaman dan headphones.
Di sebelahnya Nando sibuk menekan tombol-tombol di hadapannya, sesekali berbicara dengan personil menara pengawas untuk mendapatkan izin terbang. Setelah semuanya siap, tiga helikopter milik keluarga De Avilla langsung mengudara menuju Malaga.
Setelah hampir 30 menit mengudara, helikopter perlahan mendarat di sebuah tanah lapang tandus, kembali membuat kening Farrel mengerut. Terakhir dia pergi ke perkebunan anggur De Avilla di Malaga, tidak setandus ini dan sekering keadaan yang ada di hadapannya.
"Kau yakin tidak salah mendarat, Nando?"
Nando melepaskan peralatan keselamatannya, lalu melompat turun diikuti oleh Farrel dan rombongannya. Mengambil setumpuk dokumen yang diberikan seorang gadis berambut cokelat, lalu membagikan dokumen itu pada tamunya.
"Selama sebulan ini, kalian akan berlajar di perkebunan De Avilla yang berjarak sekitar 15 menit perjalanan dari sini. Untuk akomodasi, karena di sana sedang renovasi, kalian akan tinggal di peternakan ini. Paham semuanya?" jelas Nando, yang membuat semuanya mengangguk, tapi tidak dengan Farrel yang tak acuh dan melangkah menuju gadis berambut cokelat di belakang Nando.
Farrel berhenti tepat di hadapannya, memperhatikan dengan seksama gadis itu dari ujung kepala hingga kaki.
"Mulai lagi tuh mata scanner cewek beningnya. Padahal baru aja dia maksa-maksa Siska buat ikut kita balik ke Barcelona," cibir Wisnu.
"Tapi emang cakep sih, daripada Siska," bisik Rendra.
Farrel langsung menarik gadis itu dalam pelukannya, erat sekali. "Long time no see, Elena!" seru Farrel.
Gadis bernama Elena itu balas memeluk Farrel. Mereka saling bertukar pandang, senyum, dan sapa. Sudah lama mereka tidak bertemu, mungkin lebih dari tiga tahun yang lalu-ketika Farrel mulai sibuk dengan kuliahnya atau dengan wanita-wanita penghiburnya?
"Sedang apa di sini?"
"Aku membantu kakek mengurus peternakan. Sekalian praktik sebelum aku benar-benar mendapatkan gelar sebagai dokter hewan."
"Dokter, huh? Selamat, kamu selangkah mendekati mimpimu," ucap Farrel tulus. "O iya, perkenalkan, mereka semua adalah temanku. Semuanya, ini Elena. Elena, itu semuanya."
"Hai, aku Elena. Kalian bisa memanggilku El."
"Wah, dia bisa Bahasa Indonesia, Bro?!" celetuk Rendra yang langsung membuat Dea melotot.
Elena yang melihat keterkejutan Rendra hanya tersenyum. "Mari, saya akan menunjukkan kamar kalian, agar bisa beristirahat."
Tanpa diperintah dua kali, Wisnu langsung melompat dan berjalan beriringan dengan Elena-sibuk memperkenalkan dirinya.
"Jangan macem-macem, Nu!" tegur Farrel, lalu merangkul Siska dan mengajaknya masuk ke bangunan utama peternakan.
Elena menyediakan tujuh kamar untuk diisi masing-masing dua orang, tentu saja tidak boleh bercampur antara wanita dan pria-itu pesan Tuan Uta. Untuk Farrel sendiri, dia menempati kamar yang disiapkan oleh Vale jauh-jauh hari.
"Tuan, apa kabar?"
"Vale!" seru Farrel, lalu memeluk pria dengan keriput di hampir seluruh wajahnya. "Mama dan papa titip pesan untukmu."
"Sampaikan salamku pada mereka." Vale menghela napas. "Kamu sudah besar sekarang. Bagaimana kabar adikmu?"
"Flo masih menjengkelkan seperti biasanya," kekeh Farrel sambil netranya tidak lepas dari Elena yang memasukkan pakaiannya ke lemari. "El, aku bisa melakukannya sendiri."