PRINCESS OF MONGREA, The Summer's Tale

Lady_teller
Chapter #4

2. DARK MEMORIES


LINNEA


Masih dapat ku ingat dengan jelas hari yang cerah itu, langit biru dan awan berarak membentuk bola kapas. Seekor anak rusa terlihat hilang arah, dia memasuki halaman bunga ibu. Berdiri di depanku saat bermain, menatapku lalu meminta tolong. Itulah saat pertama kalinya aku berbicara lagi, setelah pisah dari saudaraku dan datang ke negeri ini, Mongrea. Rusa itu berjalan sangat lincah ada yang mengejarnya katanya, dan ia meminta tempat untuk bersembunyi.

 

Suara ibu yang memanggil namaku membuat rusa itu lari ketakutan menuju hutan, aku mengikutinya. Masuk kedalam hutan melihat ada berbagai macam: kupu-kupu, bunga- bunga bercahaya, dan pohon hijau berakar besar, membuat ku bersemangat untuk menjelajahinya. Tanpa kusadari kehilangan jejaknya, rusa itu. Tidak ingat sudah sejauh mana melangkah, dan tak terpikirkan pula jalan untuk pulang.


Suara kayu patah di pohon membuat burung- burung berterbangan, rusa itu tertembak anak panah besar di perutnya. Saat itulah aku melihat mahluk besar itu, matanya menangkap kehadiranku di ikuti dengan senyumnya yang mengerikan.

Duniaku gelap, terbangun karena mendengar banyak suara anak bayi menangis. Cahaya di tempat itu redup, cairan amis di mana-mana. Tanganku di ikat dan kini berada di dalam jeruji kayu besar. Rusa tadi tergeletak di samping, menatapku kosong. Air mataku mengalir deras, yang selalu terngiang hanya senyumannya yang mengerikan.


Hal yang tidak kusangka ada disana adalah banyaknya kepala-kepala yang tidak berbadan. Tangisan bayinya berhenti ketika suara cabikan itu terdengar, cairan anyir menyebar dimana-mana. Sejak saat itulah aku menyerah dari mimpi indahku, tidak ada lagi istana, tuan putri cantik, dan pangeran tampan, seperti yang diceritakkan mereka.

Sebab tinggal di Mongrea dimana kehidupan liar adalah nyata, dan melihat sendiri bahwa mahluk mengerikan itu ada. Dunia yang kulihat tidak lagi kupu-kupu ataupun bunga warna-warni, melainkan juga kegelapan adalah simbol dari kematian.

 


~~***~~


Semerbak harum lavender membangkitkan kesadaranku, badanku terasa diangkat perlahan oleh sesuatu yang besar. Ia meletakkan ku diatas alas lembut, tanganku meraba di sekeliling alas itu halus, sehalus kain satin. Ku balikkan badan ke sebelah kanan untuk merasakannya lagi, dan menghirupnya kali ini harum bunga mawar segar.

Perlahan terasa sinar matahari dari atas menghangatkan tempat ini, membuat ku membuka mata. Benar saja yang kupegang adalah kelopak mawar merah besar hampir sebesar lengan, banyak sekali di sini. Di atas kepalaku pun ada banyak bunga matahati.


‘Oh dewi.. apakah ini surga?, bila dunia ini sudah berakhir, maka tempatkan aku disini selamanya. Aku tidak berharap ini mimpi indah karena itu takkan terjadi padaku, ini pasti surga.’ Pintaku di dalam hati, sambil berbaring dan tersenyum memeluk kelopak-kelopaknya.


“KAU MENYUKAINYA ?,” sebuah suara besar dan menggema itu bertanya, membuyarkan lamunanku. Membuatku menoleh kearah suara itu, sepasang mata besar dengan cuping hidungnya yang lebar menatapku. Ia tersenyum menunjukkan beberapa lubang dari deretan gigi kuningnya.

“AAKKKKKHHHHHH TROLL!!!!” teriakku sambil menutup kedua tangan di depan badan, kutunggu sejenak tapi tidak ada yang terjadi. Perlahan mataku terbuka masih melihat mahluk itu tersenyum bodoh di hadapanku sambil menopang dagunya, tingkahnya sama seperti laki-laki di desa yang biasanya menatapku.

“TENANGLAH SEKARANG KAU DI RUMAH HOLGER, TIDAK USAH TAKUT.” Katanya sambil memainkan rambutku yang sekarang jadi warna jingga kemerahan karena di terpa cahaya matahari. Sekujur badanku gemetar seketika ingatan kelam itu muncul tanpa sadar, membuat ku menangis tanpa suara.


Akan kah ini terjadi kedua kalinya?


“KAU CANTIK SEKALI, HOLGER BELUM PERNAH MELIHAT GADIS SECANTIKMU SEBELUMNYA.”

Mengingat ingatan itu kembali membuat air mataku mengalir dengan sendirinya. Kejadian yang terjadi dulu, adalah sebuah peristiwa kelam yang takkan bisa kulupakan. Namun pada akhirnya mengantarku kembali kesini.


“SSSHHHT… JANGAN BERSEDIH HOLGER TIDAK AKAN MELUKAIMU LAGI”.

                                   

Kusingkirkan semua ingatannya, melihat kembali mahluk di hadapanku tanpa rasa takut. Hanya tersisa rasa kesal yang siap membakarnya hidup-hidup. Mata besarnya tak berani melihatku lagi, sampai berkedip berkali-kali sembari menghapus air mataku dengan jarinya.

Membawaku kerumahnya dan menempatkanku di atas kelopak bunga besar ini. Apakah ini bagian dari ritualnya sebelum ia menyantapku? Kenapa dia tidak langsung memakanku saja di saat aku tidak sadarkan diri tadi?, semuanya akan lebih mudah.

Tangannya bergerak kesamping dan meletakkan setangkai bunga matahari besar di pangkuanku sambil tersenyum bodoh lagi. Aku bersumpah wajahnya adalah yang terburuk yang pernah kulihat di seumur hidupku.

“BUNGA ITU INDAH SAMA SEPERTI MU. SIAPA NAMAMU?.” Bila di lihat dari raut wajah troll, sepertinya mahluk ini sudah tidak berbahaya lagi. Tidak saat ia mengamuk, entah apa yang merasukinya.


‘Aku bisa mengambil ini jadi kesempatan untuk melarikan diri.’

                                                             

“Linnea” jawabku sembari mainkan kelopak-kelopak bunga matahari. Bunga adalah kesukaanku, karena terkadang dapat menenangkan emosi, selagi memikirkan bagaimana cara untuk keluar dari sini.


“LIN-NE-YAH ?”tanyanya dengan pengucapan namaku yang salah

“Bukan lin-ne-yah, tapi lin-ney”.

“OHH.. LIN-NEY ? (kujawab dengan anggukan) NAMA YANG INDAH, DAN AKU HOLGER. KAU LIHAT HOLGER SANGAT KUAT.” Jelasnya dengan tersenyum lebar memamerkan otot lengan itu, dan mengambil ranting kayu besar lalu mematahkannya di hadapanku. Badan besarnya membuat barang-barang di sekitar berantakan bersama dengan gerakan yang ceroboh. Ia masih menunjukkan senyum bodoh itu lagi, membuat ku agak kesal.

 

‘Hm.. sabar Linnea ini bukan saatnya bertidak ceroboh, berpikirlah!.. ayo berpikir!.. pasti ada jalan keluar dari sini..’


Kutarik napas panjang, sejenak mencoba alihkan pandanganku darinya ke sekeliling. Ruangan ini sangat besar; dinding-dindingnya terbuat dari batu, di lemari ada banyak botol-botol yang berisi tumbuhan kering, lalu ada alat-alat masak dari kayu dan batu yang di gantung. Di sini di tempat ku terduduk adalah meja kayu besar, yang di belakangnya terdapat jendela menghadap langsung kesebuah taman. Sayangnya aku tak bisa lihat dengan jelas ke arah luar, karena sinar matahari yang agak menyilaukan pandaganku.


“Apa tempat ini dapurmu?” 

Lihat selengkapnya