AUTHOR
‘Kehidupan dan kematian adalah satu’
‘Seperti sungai dan lautan yang mengalir terhubung’
‘Membawa kemalangan dan kebahagiaan’
‘Seperti kegelapan yang merangkul cahaya’
‘Cahaya selalu setia untuk berdiri di balik punggung kegelapan’
‘Kematian bukanlah akhir tanpa kehidupan’
‘Kehidupan bersanding dengan kematian’
‘Cahaya akan menuntun jiwa di kegelapan’
‘Memberi napas untuk kehidupan’
‘Memberi kehangatan pada kegelapan’
‘Dan sirna’
‘Sirna’
‘Sirna’
Wanita berambut merah terus mengucapkan kata- kata yang sama dengan linangan air mata membasahi wajahnya, semua itu layaknya sebuah doa untuk mendatangkan keajaiban. Ia mengucapkannya dengan bahasa mage kuno. Di hadapannya terbaring anak perempuan serupa dengannya, hanya saja kulit anak itu pucat dan bibirnya menghitam. Pergerakkan pada jari jemari kecil, serta tarikan nafas di dadanya yang naik turun, menarik perhatian semua orang di dalam ruangan itu.
“Ibu, lihat Linnea .” Anak laki-laki berambut coklat di samping menyadarkannya di dalam doa yang panjang.
“Oh dewi.. ku junjung tinggi namamu karena anugrahmu.. dewi alam yang agung.”
Menyingkirkan segala kekhawatiran, dan membawa ketenangan di raut wajah yang basah bersama air mata di dalam doanya. Ia menyentuh tangan mungil itu mengosoknya sambil memanggil namanya tak henti. Ada pergerakan di mata anak perempuan itu, kemudian ia berlanjut menggosok kakinya tanpa berhenti berharap.
“Linnea…” anak laki-laki berambut coklat memanggil, matanya yang biru meneteskan air sambil mengenggam tangan anak yang terbaring itu. Wanita berambut merah kembali mengecek denyut nadi di tangannya, mengetahui keadaan anak itu sekarang membaik, membuat ia bisa menarik napas lega. Penuh syukur.
“Dia kembali.. dia kembali.. Linnea.. putri ku..” sebut wanita itu dengan menyeka lembut rambut anaknya dan mencium pipinya, layaknya satu-satunya kuncian hidupnya. Semua saksi mata di ruangan ikut turut bersyukur menyaksikkan itu dan berdoa dalam diam, mereka adalah para pelayan di istana.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka lebar, seorang pria memasuki ruangan dengan memakai jubah beludru panjang berwarna biru gelap bercorak emas khas kekaisaran. Pandangannya bertuju kepada gadis kecil yang terbaring, kehadirannya membuat semua orang menundukkan kepala. Langkah kaki itu berhenti di ujung ranjang, perlahan setiap pelayan keluar dari ruangan itu satu persatu.
“Sampai kapan kondisinya harus terus seperti ini ?,” sang kaisar pun bertanya tak ada yang berani menjawab. Sejenak suasana hening di ruangan. “Anak ini lemah, dia takkan bisa bertahan lama! takkan ada masa depan untuknya. Sebuah aib yang menghina garis keturunanku bila di biarkan!. Relakan dia pergi jika memang dia tidak ingin hidup!!” Menyadari perkataan itu tertuju pada satu orang.
“Tolong jangan katakan itu.. dia masih satu-satunya putri yang kau miliki, baginda.” Perkataan raja menghujam hatinya dalam musibah ini.
“L-lagi pula Linnea di-di racuni, ini tidak seperti yang kau pikirkan yang mulia.(jelasnya gugup). Bibirnya membiru mengeluarkan cairan hitam kemudian tubuhnya mengejang, dan detak jantungan tiba-tiba saja hilang. Ini adalah dampak bila seseorang yang menelan atropa belladonna, entah siapa yang memasukkan racun itu di dalam makanannya. Linnea tidak lemah jika ia masih bisa berjuang sampai sejauh ini.” Sang kaisar tersentak dengan apa yang di katakan wanita itu seperti mendapat berita yang tak terduga.
“Racun kau bilang ? yang benar saja?! “ Kaisar tertawa sinis mengolok dan menolak untuk cepat percaya dengan teorinya.
“Kau mengatakan itu hanya karena perasaan lemahmu dan memanjakannya. Jangan kau pikir aku tidak mengetahui apa yang kau lakukan untuk menopang hidupnya, setiap kali ia di ambang maut!. Ini bukanlah kali pertama anak ini mengalaminya!. Sekarang dengarkan perkataanku dengan baik!.” Kaisar Jhordon berdiri mendekat di hadapannya penuh amarah, badannya yang besar menunjukkan penuh kuasa bahwa dialah penguasa yang tak terbantah. Tangannya mencengkram leher wanita itu.
“Tidak ada orang asing yang berani menginjakkan kaki di istanaku tanpa sepengetahuanku!!. Tidak sebelum orang itu merasakan kematian di tanah kekuasaanku!. Tidak ada jalan keluar untuknya, selain neraka!.” Beliau masih kuat dengan pendiriannya. Namun wanita itu menatapnya tanpa rasa takut, karena dia tahu bahwa yang ia laukan untuk meyuarakan kebenaran. Cengkramannya melemah setelah kaisar melihat tatapan wanita itu, ada ketulusan disana.
Napasnya tersengal-sengal setelah kaisar menyentak tanggannya dari leher wanita itu, cepat atau lambat walau bagaimana pun kaisar harus mengetahuinya. Sejenak ruangan itu hening, wanita itu menjauh darinya.
“Tidakkah kau ingat baginda? aku terbiasa hidup di hutan sedari kecil. Mempelajari semua jenis tumbuhan untuk bertahan hidup, dan termasuk jenis tumbuhan yang melumpuhkan musuh. Di sepanjang hidupku, aku bisa membedakan penyakit bawaan dan racun, perbedaanya bagai dua garis besar!.” Wanita itu menatap bibir Linnea yang kini kembali memerah seperti semula, memancarkan sedikit rona kebahagian pada wanita itu di tengah pertikaiannya.
“Meski kau anggap bangsaku adalah kaum lemah sekali pun takkan ku biarkan anakku sendiri mati, dan menderita hanya karena kedengkian hati seseorang!. Akan ku usahakan untuk mengembalikan semua senyumnya, dan menyingkirkan rasa sakitnya pergi, meski pun harus bertarung nyawa!. Demi putriku aku rela.. karena dia tidak pantas menerima ini, dia adalah korban!. Seseorang telah meracuni anakmu, putrimu sendiri! dan yang kau lakukan malah menyalahkannya karena selamat dari maut?!.” Ia berusaha mengontrol emosinya, tapi alhasil nada bicara yang keluar malah seperti tamparan besar untuk sang kaisar.
Wanita berambut merah menatap kaisar dengan pandangan kecewa. Lelaki itu tahu benar saat ini untuk tidak menatap balik matanya, ia benci itu karena penghakimannya sendiri kembali tertuju padanya; ia pun benci karena wanita itu selalu mempertahankan kebenaran yang ia sebut. Kaisar kini menatapnya penuh hina, sebaiknya ketahuilah sebelum menyulut api dengan bensin dan diam adalah emas. Wanita itu menyadari tindakkannya.