AUTHOR
Pada pagi buta suara dentingan besi terdengar di seluruh penjuru desa, pria paruh baya tampak sibuk menempa besi. Ia memiliki tanduk berbentuk ranting kayu, bertengger di kedua sisi kepalanya. Keringat demi keringat mengucur deras, tanpa kenal lelah di ayunkannya palu besar itu ke bongkahan logam panas di depannya.
Sir Magnor, begitulah namanya disapa. Tak pernah terpikirkan bahwa hidupnya akan berakhir menjadi seorang penempa besi. Setelah ditinggal oleh orang-orang yang di cintainya, pekerjaan inilah yang menjadi satu-satunya mata pencarian. Tak ada waktu untuk menangisi nasip dan hidup harus terus berjalan.
‘Jika kau tak melakukan apapun dan tak ada yang bisa untuk di makan.’ Setidaknya kalimat itulah yang ia genggam.
Di Mongrea tidak ada yang terlahir sebagai bangsawan, sebab sebagian besar masyarat di sini adalah petani. Mongrea pun tidak memiliki raja atau pun ratu setelah pertempuran besar terjadi. Yang mereka percayai sebagai tokoh pemimpin masyarakat saat ini adalah seorang pendeta agung. Jauh dari unsur-unsur politik, dapat di temui rakyat di sini masih religius dan menghargai alam.
Disela lamunan tampak sebuah belati bertengger di lehernya, seseorang mencoba untuk menggoroknya dari belakang diam-diam. Di usia yang paruh baya, untuk apa memiliki musuh? lagi pula tidak pernah merasa menjadi musuh seseorang. Tapi kecuali tidak untuk satu orang yang ia kenal ini, dan keras kepalanya.
“Tuan putri Linnea ?” tebaknya. Seseorang yang bersembunyi di balik badannya pun terkejut. “Bagaimana kau bisa tahu ?” gadis itu memunculkan kepalanya di balik pundak Magnor, sembari meletakkan kembali belati itu pada sarangnya.
“Ayolah.. itu bukan hal yang sulit di lakukan, terlebih dengan melihat gelangmu dan belati yang ku buat sendiri. Ya siapa lagi kalau bukan kau yang mulia tuan putri Linnea?. Kaulah satu-satunya orang yang telah menganggu kerjaku selama seminggu ini.”
“Aku tidak menganggumu Sir Magnor, justru sudah seminggu ini akulah yang selalu membantumu memotong kayu. Sudah ku sebutkan apa yang aku inginkan tapi kau selalu memberiku alasan. Tidak apa.. aku tidak akan menyerah begitu saja. Sampai kau bersedia melatihku menggunakan pedang, maka kalau tidak aku akan menghantuimu seumur hidup!.” Magnor pun menggelengkan kepala mendengarnya, sambil tertawa terkekeh.
“Terima kasih yang mulia atas itu. Ya.. setidaknya ada yang menemaniku di sisa-sisa masa tuaku ini..”
“Oh.. Sir Magnor kau tidak begitu tua. Lihatlah! Kau masih kuat menggangkat palu besar itu, lagi pula siapa yang tidak tahu tentang kisah kesatria hijau?. Tanyakan rakyat di seluruh penjuru negeri ini mereka semua mengenalmu, kau adalah kebanggan dari Mongrea.”
“Ah tidak juga.. engkau berlebihan yang mulia. Sebenarnya Itu adalah kisah lama, jangan percaya dengan cerita karangan yang melebih-lebihkan. Seperti yang kau lihat sendiri sekarang, aku hanyalah seorang penempa besi. Tidak memiliki keluarga dan sendiri menghadapi hari tuaku di negeri Mongrea ini. Tidak ada hal luar biasa yang bisa kau banggakan lagi dari lelaki tua ini. Kini masa kejayaan itu telah usang”. Jawabnya yang mengakhiri perdebatan mereka.
Sejenak hening, Sir Magnor pun kembali menempa logam besi. Di luar sana suara ayam mulai bersahutan menyambut datangnya mentari.
“Tapi setidaknya kau pembuat pedang yang han-
“Dimana pedangmu yang mulia, biasanya kau membawanya?” tanyanya memotong perkataan Linnea. Dia tahu, bahwa ia takkan menang berdebat dengan gadis ini.
“Aku menghilangkannya di hutan Mongrea kemarin saat menghadapi troll. Tapi ada hal yang ingin kubicarakan padamu Sir Magnor.”
“Oh.. dewa kau dalam masalah, apa yang mulia pendeta agung tahu yang kau lakukan itu?.”
“Iya.. itulah sebabnya ada suatu hal yang ingin ku beritahukan padamu sekarang”
“Di pagi-pagi buta ini?”
“Ya tepat sekali.. karena kutahu kau biasanya terbangun di saat seperti ini. Tapi menyangkut soal itu, tadi malam yang mulia pendeta agung telah mengijinkanku untuk berlatih pedang denganmu. Jadi seharusnya tidak ada alasan lain untuk tidak melatihku sekarang, yakan ?” tanyanya memastikan, sambil melempar senyum polosnya.
“Oh benarkah ? baiklah bila memang itu keinginanmu yang mulia. Ini akan menjadi suatu kehormatan untukku, dimana seorang penempa besi tua berkesempatan untuk melatih seorang tuan putri dalam berlatih pedang.” Perkataan lelaki tua itu membuatnya tersenyum, akhirnya hal yang dinantikan Linnea tiba.
“Tapi yang mulia..”
“Tapi kenapa ?” senyum Linnea memudar seketika.
“Kau tahukan yang mulia, bahwa aku sedang sibuk dengan pesanan 50 buah pedang di beberapa minggu ini. Itu agak menyulitkanku terlebih lagi semuanya kulakukan sendiri, beberapa anak buahku benar-benar pemalas. Lihatlah dengan lelapnya dia masih tertidur di sana (Sir Magnor menunjuk ke arah pria yang terkapar di kursi kayu). Jadi alangkah baiknya bila yang mulia tidak menganggu konsentrasiku dalam bekerja. Terima kasih atas waktumu mengunjungi pondok tuaku ini yang mulia, baiklah semoga hari mu menyenangkan”. Katanya sambil mempersilahkan gadis itu keluar dari pondoknya. Kalimat yang di ucapkannya membuat Linnea tercengang.
“Tunggu dulu Sir Magnor! tunggu! Baiklah aku akan membantumu lagi.. tidak apa jangan sungkan. Potong kayu seperti kemarin kan? baiklah akan kulakukan.” Ia kembali ke dalam pondok dan mengambil kapak besi lalu tersenyum menyeringai.
‘Gadis ini sangat bebal, ia benar-benar mencoba membunuhku perlahan’ umpatan Magnor dalam hati.
“Kau bahkan tidak mengerti dengan apa yang telah kau lakukan bukan?, yang mulia?.” Sir Magnor menggelengkan kepala melihat tingkahnya. “Sungguh kau benar-benar percaya dengan semua perkataanku? sejujurnya aku telah mengelabuimu yang mulia hehe..” penyataan pak tua itu membuatnya terkejut.
“Maksudmu ?”
“Memotong kayu atau tidak, itu takkan pernah membantu pekerjaanku. Lagi pula aku tidak ingin di ganggu dalam bekerja, di sisi lain aku telah berhasil mengelabuimu dengan membuatmu sibuk memotong kayu” jawabnya sambil tertawa, Linnea memberinya pandangan tak percaya.
‘Jadi selama ini Magnor menyuruhku memotong kayu hanya alasannya saja? biar menghindar dariku? kakek tua ini pintar sekali mengelabuiku’ umpatnya dalam hati.
“Oh.. aku hanya becanda yang mulia, maaf yang mulia aku tidak bisa menahannya karena ekspresi wajahmu itu” terangnya tak berhenti tertawa. Linnea menyadari maksud perkataan Sir Magnor tadi. Tersadar Linnea terjebak dalam gurauannya, mereka pun tertawa bersama.
“Yeahh kau berhasil dalam satu hal itu kakek tua.” Linnea tak habis pikir lelaki tua ini masih memiliki selera humor. Kehidupan pasti telah mengajarkannya banyak hal untuk itu, tidak pernah sekali pun ia terlihat bersedih meski keluarga yang di milikinya telah meninggalkannya satu persatu.
“Begini, akan ku beritahu alasannya. Sebenarnya dengan yang mulia memotong semua kayu-kayu itu takkan membantu pekerjaanku itu benar. Apalagi bukan kayu yang kubutuhkan, cukup dengan batu bara dan api pun bisa menyala. Sesungguhnya itu tidak membantuku tapi melainkan dapat membantumu. Kuyakin yang mulia tuan putri tidak pernah melakukan pekerjaan kasar terlebih lagi mengangkat besi yang berat. Ya.. setidaknya dengan cara itu kau telah melakukan sesi pemanasan sebelum pembelajaran yang sesungguhnya.”
“Berati itu artinya kau setuju bukan ?” tanyanya dengan tersenyum lebar.
“Huhhh (Sir Magnor mengehela napas panjang, terjebak perangkapnya) baiklah tunjukkan apa yang telah kau dapat dalam seminggu ini, dan akan ku beritahu setelah itu”.
~~***~~
Keluar dari pondok Linnea menghirup udara pagi yang segar, perlahan langit pun telah berganti warna menjadi biru muda. Magnor meletakkan bongkahan kayu di atas kayu yang lebih besar sambil berkata, “baiklah sekarang tunjukkan padaku.”
Dengan mudah Linnea menggangkat kapak besar itu tinggi-tinggi di atas kepalanya, kemudian mengayunkannya kuat-kuat ke arah bongkahan kayu. Alhasil kapaknya pun berhasil menancap di sana. Tapi sayangnya, untuk menariknya kembali ternyata itu lebih sulit ketimbang mengayunkannya di awal. Kapak itu menancap sangat kuat di sana, ia telah mengerahkan seluruh tenaganya. Linnea melirik Magnor yang mengangkat sebelah alisnya.