AUTHOR
Seorang anak laki-laki dan pria berjalan beriringan, tangan mereka menjinjing barang menuju sungai. Sampai di sana sang ayah berkata, “nak.. tunggu di sini sebentar sampai ayah kembali.” Lalu ia pun pergi memasuki hutan, meninggalkan anak laki-lakinya terduduk di atas batu di pinggir sungai.
Matahari tidak terik saat itu namun kehangatannya sudah mulai terasa di hutan Mongrea. Ya.. ini adalah hari yang dinantinya, dewi alam memberkati mereka. Tapi, tidak dengan suara burung hantu yang berasal dari hutan. Suara itu menyeramkan, membuatnya tak nyaman sendiran disana. Namun, ia coba menghilangkan perasaan itu dengan mengambil sebuah kotak kayu kecil dari beberapa peralatan yang di bawanya.
Disana ada banyak serangga beterbangan, ada juga binatang melata yang bersembunyi. Ia memutuskan mencari sesuatu untuk di kumpulkan, disana dibawah batu itulah targetnya. Batu besar berlumut itu pun diangkatnya, dibawah batu tampak ada banyak cacing tanah. Anak itu terseyum ,begitu mudah ia menemukannya disini. Di ambilnya cacing-cacing di sana satu persatu kemudian memasukkannya ke dalam kotak kayu tadi.
Tidak lama setelah itu pria tadi kembali dengan bongkahan kayu besar ditangan. “Untuk apa itu ayah ?” anak itu bertanya, sang ayah pun meletakkan bongkahan kayu dengan berhati-hati di atas tanah. “Ini untuk membuat tungku kayu yang kau hilangkan kemarin” jelasnya, sambil tersengal-sengal.
“Kita akan makan ikan asap hari ini. Sekarang kau pergi dan tunggu di dekat sungai, jika kau melihat ikan yang besar maka katakan padaku.” Anak itu pun segera menuruti perintah ayahnya. Sedangkan sang ayah melanjutkan pekerjaannya memahat bongkahan kayu.
Sungainya tidak terlalu deras juga tidak terlalu dalam, sampai di pinggir sana anak itu terkejut. Ada banyak ikan salmon merah mengambang di atas air. Ia merasa seperti habis menemukan emas sekarung. Tidak pernah seumur hidupnya melihat ikan besar-besar sebanyak ini.
“Ayah!ayah! kemari! Di sini ikannya banyak!” teriak anak itu dari jauh, namun sang ayah sedang sibuk memotong kayu.
“Ayah!ayah!” merasa percuma berteriak akhirnya ia berencana untuk mengambil ikan itu sendiri, takut bila ikan-ikannya akan hanyut jika tidak cepat ditangkap. Selang beberapa saat anak itu menghampiri ayahnya dengan bertelanjang dada, ia membawa tiga ekor ikan salmon merah besar yang di bungkus pakaiannya. Ayahnya pun terkejut.
“Nak bagaimana bisa kau dapat ikan sebesar itu ?”
“Di sungai itu ayah masih ada banyak lagi.. ayo cepat!” katanya sambil meletakkan ikan-ikan itu di tanah dan berencana akan mengambil lagi ikan-ikan yang tersisa.
Jadi ayahnya pun penasaran, hingga ia mengikutinya dan berdiri di tepi sungai sedangkan anak itu sudah mulai berenang. Benar saja apa yang di katakan anaknya, ada banyak ikan salmon merah mengambang di sungai. Membuatnya berpikikir jika ikan-ikan disana mengambang, itu berati mereka sudah mati duluan sebelum ditangkap. Tapi entah apa penyebab hal aneh ini terjadi.
Ia merasa ada yang janggal dengan sungai itu, di perhatikannya seluruh sungai dari hulu hingga ke hillir. Sampai ia menemukan jawabannya, di sana didekat batu besar terdapat sesuatu hitam dan bertanduk yang menyangkut. Melihat itu seketika wajahnya pucat penuh teror.
~~***~~
Sementara itu terlihat gadis berambut merah panjang berjalan memasuki sebuah pondok pengobatan, ia berhenti di depan pintu tepat saat semua pasang mata tertuju padanya. Seketika semua tabib-tabib disana berhenti melakukan aktifitasnya, hanya sekedar melihat kenapa tiba-tiba suasana hening.
Perawat diujung ruangan mulai bersisik satu sama lain.
“Hey liat dia datang”
“Itu dia tuan putri”
“Dia sangat cantik”
“Ada yang bilang ibunya mengutuknya”
“Oh ya? pantas saja kulitnya sepucat itu”
“Memangnya ada apa dia kemari ?”
Gadis itu menyorot keseluruh sudut ruangan yang ramai. Pandangannya berhenti pada satu sisi, yang membuatnya terkejut. Linnea mendapati bibi Brenda terbaring di ranjang dengan di kerumuni oleh tabib-tabib istana, mereka tampak khawatir. Darahnya tersirat, jantungnya terasa terhujam. Tanpa pikir panjang Linnea pun segera menghampiri mereka, berlari menebus kerumunan.
“Ini ada apa? kenapa pendeta agung terbaring di sini?” semua kerumunan itu pun menepi karena kehadirannya. Di sentuhnya tangan itu yang biasanya hangat, namun sekarang dingin. Tanpa ia sadari air mata telah berlinang di pipinya, ia benar-benar terkejut tak mengira ini akan terjadi karena semalam bibinya terlihat baik-baik saja. Di gosok-gosoknya tangan yang dingin itu, berharap memberikan kehangatan disana. Seorang pria mengisyaratkan agar tabib-tabib lain membubarkan kerumunan. Ia adalah pemilik pondok pengobatan itu.
“Yang mulia? Ku harap yang mulia jangan terlalu khawatir karena pendeta agung hanya kelelahan.”
“Apa yang ia lakukan sampai seperti ini tabib?”
“Sudah seminggu ini kami kewalahan mengurus pasien yang terus bertambah, sedangkan pendeta agung dengan murah hati bersedia membantu kami. Itulah yang sebenarnya terjadi yang mulia.”Raut lelah terpancar diwajahnya.
Linnea pun kembali melihat sekelilingnya lagi namun kini dengan jelas; ternyata ada banyak pasien-pasien yang terbaring disana; bahkan ada yang sampai terbaring di lantai kayu dengan hanya menggunakan alas kain. Ada pula beberapa dari mereka yang seluruh badannya terbungkus dengan kain, terjejer di samping sudut ruangan. Disana, tampak sebagian dari mereka masih menangisi kerabatnya yang sudah terbujur kaku.
Linnea menutup mulutnya terkejut, sungguh ironisnya keadaaan tempat ini, sedang ia baru mengetahuinya sekarang.
Tita-tiba seorang gadis menghampiri mereka, ia membawa pot kayu yang berisikan air dan kain bersih yang di sandangnya; air itu hampir saja tumpah mengenai Linnea ; ia membawanya sambil berlari tergesa-gesa. Linnea mengenal gadis itu, ia adalah Gilly si pelayan istana. Gilly lebih muda dari Linnea, sayangnya gadis itu memiliki kekurangan sedari kecil, ia tidak bisa berbicara. Biasanya dia menggunakan bahasa isyarat tangan untuk berkomunikasi.
Gilly yang melihat Linnea di sana tiba-tiba menangis, sebagian pakaiannya basah kuyub. “Kau ini mengambil pot air saja kenapa bisa tumpah?, di sini ada banyak tabib yang sibuk berjalan. Kalau mereka terjatuh bagaimana?.” Tabib Auden menunjuk-nujuk gadis itu. Gilly pun menundukkan kepala, badannya bergetar ia tak berhenti menangis. Linnea yang melihat interaksi mereka merasa tidak nyaman.
“Tabib Auden, tolonglah tahan amarahmu dalam keadaan seperti ini.. Gilly hanya panik sama sepertiku tadi, maklumi saja dia.” Tabib itu pun menghela napas panjang. Hari yang melelahkan baginya sangat mudah tersulut emosi.
“Gilly berikan semua itu padaku, biar aku saja yang melakukannya. Juga jangan lupa bersihkan genangan airnya supaya tidak ada yang terjatuh.” Menyudahi pertikaian yang tak perlu, Linnea berkomunikasi melalui isyarat tangan kepada Gilly.
Ia mengambil pot air dan kain bersihnya, tapi sebelum Linnea beranjak Gilly menahan lengannya. Ada rasa khawatir di raut wajah gadis pelayan itu, sambil menunjuk-nunjuk ke arah pendeta agung dan membuat gerakan isyarat.
“Entahlah Gilly, aku baru datang tadi. Semoga saja benar yang tabib Auden katakan bahwa pendeta agung hanya kelelahan”. Kemudian Linnea melepas ikatan kain ditangannya tadi yang sekarang luka disana sudah hilang seperti tidak terjadi apa-apa.
Setelah itu Linnea mulai mengusap kain kompres hangat di kening bibinya pelan-pelan. Sesaat sesudah selesai ia mengamati bibinya yang masih belum tersadarkan diri. Pantas saja ia jarang melihat bibinya di istana, ternyata bibinya menghabiskan waktunya disini.
Melihat bibinya yang tak kunjung juga sadar, ia akhirnya memutuskan untuk melakukan tindakan. Gadis itu meletakkan telapak tangannya di wajah pendeta agung, bola matanya berubah menjadi hijau pekat saat setiap kali melakukan ini. Tentu saja yang dilakukan Linnea menarik seluruh perhatian orang-orang disana. Perlahan suhu badan bibinya kembali pada keadaan normal. Saat Linnea melepaskan tangan pun bibinya pelan-pelan sudah bisa membuka mata.
Linnea sangat bersyukur kepada dewa, di ambilnya tangan bibi Brenda kemudian menciumnya dan mengenggamnya di samping wajahnya. “Bibi Brenda beristirahatlah, sekarang ada aku yang menggantikanmu” ucapnya lembut. Bibinya pun sempat tersenyum lalu menutup matanya kembali,ia belum pulih seutuhnya. Setelah beberapa saat terduduk disana, Linnea akhirnya beranjak mencari tabib Auden dan berencana untuk membuat dirinya berguna.
~~***~~
“Tabib Auden ceritakan padaku apa yang terjadi di sini sebenarnya? kenapa ada banyak sekali pasien di pondok ini?.” Linnea dan tabib itu sedang berbicara di sudut ruangan yang jauh dari keramaian, mereka berdiskusi sembari memperhatikan pasien-pasien dari jauh.
“Jadi begini yang mulia, waktu itu awalnya ada seorang pria yang datang ke pondok ini meminta bantuan untuk menyembuhkan istrinya yang tiba-tiba sakit demam. Selang beberapa jam setelah itu si pria itu pun mendapati hal yang sama. Gejala awal adalah; deman tinggi dan kejang-kejang; setelah itu mereka tidak berhenti memuntahkan darah segar. Tak sampai sehari tubuh mereka menegang. Setelahnya ada banyak pasien yang berdatangan, tidak hanya dari penduduk desa Mongrea, tapi juga ada yang berasal dari kerajaan Loft dan Mold. Beberapa tabib di sini beranggapan bahwa mereka pendatang baru inilah yang membawa wabah penyakit. Tapi saya pribadi kurang setuju dengan pendapat itu, karena kita tahu memang sebagian dari mereka beberapa tahun belakangan ini ada yang memilih untuk menetap di Mongrea. Katakanlah ini wabah yang menular, akan tetapi tabib-tabib di sini tidak ada yang tertular; meski mereka semua sering bersentuhan tangan dengan pasien terjangkit. Mari saya tunjukkan yang mulia.”