PRINCESS OF MONGREA, The Summer's Tale

Lady_teller
Chapter #9

7. NEW FRIENDS


 

LINNEA

 

Saat matahari terbit di cakrawala

Kau menyaksikkan keindahannya

Saat burung-burung terbang di langit

Kau merasakan kebebasannya

Ketahuilah sayang kau aman di sini..

Kau bisa bernafas bebas tanpa merasakan pilu

Ketahuilah sayang akulah rumahmu.. 

Kau bisa kepakkan sayapmu tanpa rasa khawatir

Tertidurlah dengan taburan bintang malam sebagai atap mu

Terbangunlah dengan awan putih berarak sebagai selimutmu

Ketahuilah sayang takkan lagi kau saksikan mimpi burukmu di malam hari..

Ketahuilah sayang esok kau terbangun dengan mimpi indahmu menjadi nyata..

Seperti kehangatan sinarnya yang menyambutmu di pagi hari..

Seperti desiran ombak yang membawa udara segar di pagi hari..

Akulah rumah mu, tempat mimpi indahmu bersemayang..

Ladada dada daa… Ladada dada daa …….



Tak sadar aku telah ikut bernyanyi dengannya hingga di akhir lagu. Tidak bisa berhenti untuk tak memandangnya, seperti berada dibawah mantra bola mata birunya. Ini perasaan yang aneh, tapi saat melihatnya bernyanyi dengan gitar membuat ia terlihat…

Lebih baik?

Lebih jantan ? oh tidak! bukan itu maksudku..

Bagaimana mengucapkan kalimat itu ya? lebih….. ?

“Tampan!”

“Oh.. ya itu dia! Tampan..”

“Oh.. dewi!! kau menyukainya ?”

“Apa ? apa kau bilang ?” aku mendapati Silva sedang tertawa.

“ohh.. adik kecilku.. (ia merangkul sebelah lengannya di pundakku) tadi kau bilang ia tampan. (sambil menunjuk kearah pria itu) Dan lihat wajahmu sekarang! Merah seperti kepiting rebus.” Mendengarnya membuatku menyentuh pipiku yang terasa panas. Aku merasa orang-orang di sekelilingku pun juga menertawaiku seperti Silva, ada apa dengan mereka semua?.

“Tidak Silva! Bagaimana bisa aku menyukainya? Aku bahkan tidak kenal dengannya!.” Dengan jengkel kutinggalkan tempat itu. Tidak pernah merasa memalukan sampai saat itu terjadi.


Menjauh darinya aku pun berjalan sendiri kalut dengan pemikiran, sampai-sampai membuatku sadar ada seseorang yang menyenggol dan membawa lari kantong koin-koinku. Itu seorang anak kecil jalannya sangat lincah dan cepat, jejaknya menghilang di keramaian seketika. Hingga aku berlari entah ke arah mana tiba-tiba dari belakang ada seseorang yang berlari juga tak kalah cepat mendahului, meninggalkanku di sana berpikir apa yang baru saja terjadi?.

“Pencuri!!!” teriakku, setelah terengah-engah.

Ku periksa saku-saku lagi, dan benar. Aku kehilangan koin-koinku!.

Begitu saja? dengan waktu singkat! sampai tak terlihat terjadi apa-apa. Orang-orang disana juga hanya menatapku sekilas, mungkin mereka pikir aku orang gila berteriak disana?

Kenapa tidak ada yang bermurah hati menolongku?

Kulihat lagi orang-orang di sekeliling pasar tampak sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Mungkin mereka sudah terbiasa.


Berdiri sendirian dan termenung di sana.

“Linnea!” teriak lengking Silva dari arah punggungku.

“Kenapa kau lari ?” tanyanya dengan napas beradu.

“Kantong koinku di curi! dan aku kehilangan jejaknya.”

“Benarkah ?” tanyanya terkejut.

“Kau mungkin tak percaya ini tapi pencurinya anak kecil, dia sangat lincah dan cepat. Kalau saja kutangkap, akan ku ikat dia di alun-alun pasar!” saat itu aku penuh dengan amarah, mengutuk-ngutuk pencuri kecil itu.

“Ehm.. nona kau tidak harus melakukannya ia hanya anak kecil.” Suara seorang pria tiba-tiba muncul dari arah belakangku. Mata biru itu yang pertama ku sadari, ia menunjukkan sebuah kantong di depan wajahku.

“Ini milikmu bukan, nona?” tanyanya. Ku ambil kantong itu seketika dan memeriksa di dalamnya ternyata masih utuh.

Pria itu entah siapa namanya, ia menangkap pencurinya.

“Sekarang minta maaf pada nona ini Oliver!” betapa terkejutnya aku mendapati ternyata pencurinya adalah anak kecil yang kutemukan di hutan Mongrea waktu itu.

“Tidak mau! Kalau kutahu itu kantong miliknya, aku juga malas mengambilnya!.” Pria tersebut menarik baju anak itu sehingga ia tidak bisa lari.

“Hey maukemana kau? minta maaf dulu pada nona ini!”


“Tidak mau!”

“Kenapa kau mencuri kantongku ?” akhirnya aku membuka suara saat itu.

“Ya apalagi kau pikir? aku lapar!” katanya sambil buang muka. Sekilas aku melihat anak itu dengan masih memakai baju yang sama seperti kemarin. Kakinya kotor tidak pakai sandal, wajahnya pun cekung.

“Ini ambil, aku tidak membutuhkannya.” ku berikan kantong koinku kembali padanya tanpa pikir panjang dan pergi meninggalkan tempat itu.



~~***~~


 

“Apa kau gila ?” tanya Silva ia sekarang berdiri di sampingku, kami sedang di balkon menatap langit malam yang terang karena bulan purnama. Saat itu terpikir tentang arti dari gambaran yang di berikan dewi Freyja, tidak sadar Silva bertanya sebelumnya.

“Ck.. ck... Linnea.. lalu bagaimana kau memesan gaun untuk perayaan musim panas nanti kalau koinnya sudah kau berikan kepadanya?” tanyanya lagi.

“Silva, ayolah.. ini bukan seperti akhir dunia.. lagi pula masih ada gaun lamaku.”

“Bagaimana kalau ibu tahu kau tidak menggunakan koinnya untuk beli gaun ?”

“Ya.. bilang saja aku kehilangan koinnya di pasar, memang itu yang terjadikan? sampai pria mata biru itu menangkapnya.”

“ehm.. baiklah.. sekarang ceritakan padaku apa betul kau menyukainya ?” tanyanya dengan nada menggoda.

Sesuatu yang kadang membuatku jengkel dengannya, ia tahu jelas diriku dari pada aku sendiri.


“Oh.. Silva berhenti mengolokku, semuanya tidak seperti itu..!”

“Lalu seperti apa ?”

Dia takkan berhentikan tanpa mendapatkan jawabannya bukan ?

Lalu ku hela napas panjang, berpikir mulai dari mana harus kuceritakan padanya.


“Kau tahu waktu sore hari aku mandi di sungai dekat pondok pengobatankan? (Silva mengangguk) iya saat itulah aku bertemu dengannya. Itu bukanlah suatu yang romantis seperti yang kau pikirkan!. Temannya disana menguntitku mandi dan kemudian dia datang menghentikanku yang hampir membunuh temannya. (Silva terkekeh mendengar ceritaku) dan ya.. yang terakhir tadi itu kita melihatnya bernyanyi di dekat alun-alun pasar dan dia juga yang menolongku menangkap anak itu.”

Lihat selengkapnya