AUTHOR
Seorang wanita bertudung kepala dan memakai gaun putih panjang berdiri di balkon ruang tengahnya sedang memandang ke arah pesisir pantai, tiba seorang pria menghampirinya.
“Mereka sudah datang..” ucap wanita itu sedang memandang kapal besar yang bertengger di dermaga.
“Brenda.. biar aku saja yang menggantikanmu, beristirahatlah tidak perlu banyak pikiran...”
“Kau sudah melakukannya di saat aku tidak ada kemarin Lyeon.” Brenda menghela napas panjang. Pria itu mengenggam tangannya, memberi kekuatan.
“Saat ini hanya Linnea yang terlintas di pikiranku.”
“Dia akan baik-baik saja tenanglah..”
“Oh Lyeon.. tentu saja itu tidak akan! kau tahu itu.” Tangis wanita itu pecah, kini Lyeon mendekapnya sembari mengusap punggungnya.
“Saat dunia mengetahui siapa dia, hidupnya takkan aman. Aku takut ia berakhir seperti kakakku.”
“Shhh… tidak. Jangan katakan hal itu Brenda, bersama kita bisa melindunginya. Aku berjanji padamu.”
“Walau sekuat apapun kita melindunginnya kau tahu, kita takkan bisa lari dari satu orang itu.”
Pandangannya menerawang ke arah kapal yang baru saja datang.
~~***~~
“Ini buktinya beberapa surat dari lord Kansley yang telah memberi tahumu dari beberapa minggu lalu yang mulia. Sekarang pertambangan itu sudah menjadi hak paten dari kekaisaran, Lord Heilm sendiri yang telah mengklaimnya.” Pernyataan Harald di aula persidangan telah membuat suasana disana menjadi panas. Pendeta Agung mengambil surat itu yang ada di tangan pria kecil berjanggut putih. Lord Sier atau yang biasa di panggil paman beruang oleh Linnea tak perlu mengeceknya dua kali mendengarnya saja sudah membuatnya mengepalkan tangan.
“Yang mulia pendeta agung, Lord Heilm sudah datang.” Harry masuk ke dalam aula itu memberi kabar.
Semua mata di ruangan tertuju pada wanita yang satu-satunya duduk di atas singgasana, pandangan mereka penuh waspada. Sang pendeta agung pun menganggukkan kepalanya, “persilahkan beliau masuk.”
Pintu aula kemudian terbuka ,seorang pria gemuk memakai mantel berwarna biru gelap dengan aksen corak emas khas kekaisaran memasuki area persidangan Mongrea. Ia berhenti tepat di tengah-tengah aula sambil melihat keatas, angin menerpa topi bulunya karena atap di aula itu semi terbuka. Celah-celah cahaya turun dari lubang itu tepat di bawah pohon linden di belakang singgasana, membuat aula di sana terpapar sinar matahari. Di belakang pria gemuk terdapat tiga orang pengawal dan satu orang asistennya.
Dia memperhatikan orang-orang di sana yang menyambutnya dengan masam, membuatnya menyungingkan bibir.
“Yang mulia, bukankah ini pagi yang cerah.. ” ia menyapa pendeta agung sambil mengangkat sedikit topinya yang berdesain khusus. Ia berpikir suku pedalaman mana mengerti mode pakaian mewahnya.
“Lord Heilm, selamat datang di Mongrea”
“Lama tidak bertemu yang mulia tidak banyak yang berubah darimu, sama dengan tempat ini.”
“Apa yang membuat kau datang begitu awal sebelum acaranya dimulai Lord Heilm?.” Wanita itu berusaha menekan intonasi suaranya. Sedang dari dalam sepercik api sudah menyala, bila mengingat kabar dari Harald tadi.
“Tidak ada basa-basi lagi yang mulia? haha.. kau memotong langsung pada intinya.” Pria gemuk itu terkekeh dengan gurauannya sendiri sedang orang-orang di sana masih terdiam dan memandangnya tak senang. Lagi pula ia sering mendapat pandangan tersebut, seperti dia peduli saja.
“Ya.. saya datang hanya untuk sekedar mengingatkan bahwa upeti tahun kemarin seharusnya sudah bisa di bayar tuntas besok dan tanpa alasan lagi yang mulia.”
“Lord Heilm.. kau harus tahu bahwa Mongrea baru saja terkena musibah sedangkan kami baru saja pulih perlahan. Memang pertambangan bukit hijau tidak cukup?.” Lord Heilm terkesiap ketika pendeta itu menyebut perihal pertambangan yang baru saja di klaimnya, membuat ia berpikir pantas saja orang-orang di sana memberinya muka masam.
“Sebaiknya perlu engkau ketahui ini yang mulia, pertambangan bukit hijau adalah tanah milik kekaisaran itu mutlak adanya tidak perlu di pertanyakan lagi.” Dengan santainya ia menepis perkataan pendeta agung.
“Berati sudah jelas, kau tak mengetahui apapun Lord Heilm.. Pertambangan bukit hijau adalah mata percarian dari rakyat kami khususnya bangsa dwarf. Leluhur Mongrea yang pertama kali menemukan tempat tersebut puluhan tahun lalu jauh sebelum kau datang. Dengan mengklaimnya sebagai tanah milikmu itu berati kau telah merebut paksa dari kami.”
“Bukankah saya bilang tanah itu sekarang milik kekaisar-
“Tuan Harald bawakan saya surat perjanjian itu kemari. ”
“Baik yang mulia.”
Lord Heilm tampak tercekat, kali ini otaknya sedang berpikir keras ‘sejak kapan wanita suku pedalaman ini mengerti hal hukum?’ sesalnya dalam hati.
Harald kembali dengan membawa sebuah gulungan surat yang disegel rapi dengan warna biru tua.
“Baca yang keras bagian itu tuan Harald.” Kali ini ketegasan terlihat di wajah pendeta agung yang juga masih menjaga ketenangannya.
“Baik yang mulia.. Maka dengan itu dinyatakan bahwa Mongrea dalam wilayah kawasan kekaisaran Asgarta yang di pimpin oleh baginda kaisar Jhordon Eirikr. Adapun bentuk kekerabatan yang telah terjalin dengan keluarga kerajaan maka kami hanya akan meminta upeti pertahun sebagai rasa tunduk terhadap kekaisaran dalam penaklukan wilayahnya.”
“Tidakkah kau dengar dengan jelas Lord Heilm? yang kau lakukan itu tidak ada dalam persepakatan, saya bisa katakan itu adalah penyalah gunaan kekuasaan yang jelas-jelas masuk dalam pelanggaran hukum. Sedangkan engkau pun tahu bahwa kami masih bagian dari kerabat kerajaan.”
Mendengar tudingin terhadapnya, pria gendut itu pun nampak menyipitkan mata, cuping hidungnya mengembang dengan bibir yang menekuk kebawah. Ia jelas-jelas tidak ingin datang dengan dipermalukan seperti itu.
“Sudah beberapa tahun kau tak membayar upeti tidakkah kau sadari itu yang mulia? tidakkan kau pikirkan dendanya bertambah pertahun? Baiklah.. mari perjelas ini bersama!. Anggap saja pertambangan bukit hijau sebagai ganti dari upeti-upeti dan denda yang beberapa tahun ini tidak terbayar. Mengingat engkau adalah bagian dari kerabat kerajaan, maka saya akan bermurah hati untuk memudahkan kesulitanmu yang mulia.” Dia menegaskan kalimat akhirnya.
“Tidak!” Lord Sier tak sengaja mengumpat, ia memandang pendeta agung dengan pandangan memohon begitu juga dengan tuan Harald.
“Ya.. Sepertinya ini keputusan yang sulit untuk kalian, padahal saya sudah bermurah hati.. Kau harus tahu bahwa pria seperti saya tidak punya banyak rasa kesabaran bila menyangkut bagian ini.”