PRINCESS OF MONGREA, The Summer's Tale

Lady_teller
Chapter #14

12. EVEN THE BIG STONE COULD CRACK



When a good man is hurt all who would be called good must suffer with him.

-Euripides-


 

AUTHOR


Di saat pagi menyingsing terdengar suara ayam hingga membangunkan seorang wanita dari mimpi indahnya. Di liriknya pria yang ada di samping ranjangnya, dia tersenyum dengan perlahan meninggalkan tempat itu. Namun sang pria menarik tangannya, sadar kalau wanita itu akan meninggalkan dia.

“Anna kau pergi kemana?” tanya Hendrik.

“Aku hanya pergi sebentar suamiku.” Ucapnya sembari mengecup bibir pria itu lembut dan berlenggang pergi. Pria itu tersenyum kemudian ia kembali tertidur lelap. Tiada hari yang lebih indah bagi Hendrik di saat wanita yang di cintainya kini menjadi teman hidupnya.

Di tepi sungai Anna mengembangkan kain putih yang telah di cucinya bersih. Kain putih yang melambangkan kesucian cinta mereka dalam ikatan yang membalutnya dan Hendrik di acara pernikan kemarin. Matahari sudah mulai naik itulah mengapa ia berniat menjemur kain itu di dekat tepi sungai.

Angin berhembus ke arah kain-kain yang di gantung itu , dari kain yang putih nampak bayangan hitam besar dihadapannya. Wanita itu tersenyum selintas ia pikir itu adalah suaminya, maka dibukalah kain itu perlahan.

Senyum wanita itu memudah saat yang di lihat bukan suaminya melainkan sebuah mahluk berbulu besar dengan taring tajam yang siap mencabik kulitnya saat itu juga.



~~***~~



“AAAKKKKKHHHH!!!”

“Linn ?” tanya Silva yang terkejut mendapati Linnea berteriak di tengah-tengah ia terlelap.

Linnea yang terbangun tampak kesal, dia mengambil bunga-bunga yang ada di balik bantalnya dan menginjak-injak itu seperti orang kesetanan.

“Linn!! Ada apa ?” Setelah di tanya dua kali Linnea baru menoleh kepadanya.

“Aku melihatnya lagi Silva!” ada teror di wajah Linnea, air matanya berlinang.

“Ssshhhh… tenanglah.” Silva hanya bisa memeluknya erat, saat itu badan Linnea gemetar hebat. Selang beberapa saat Linnea sudah kembali tenang dan Silva melepas pelukannya. Namun Silva tidak berani menanyakan apa penyebabnya, karena ia tahu sudah tampa perlu di jelaskan. Ia melihat Linnea dengan mata menerawang seperti pikirannya kosong.

“Dia.. aku bertemu dengannya. Pria dibalik rembulan itu ternyata adalah basilisk.” Saat itu Silva antara ingin tertawa dengan terkejut itu terdengar seperti lelucon. Linnea memperhatikan ekspresi wajahnnya.

“Aku serius! Aku melihatnya dan kemudian saat dia berbalik badan berubah menjadi taring tajam basilisk!” Silva masih tampak menahan tawa sekuat tenaga saat itu.

“Kau tak percaya padaku bukan ? hahhh.. saudahlah. Tak peduli berapa banyak kuletakkan bunga di bawah bantal mimpi burukku takkan pernah hilang.” ucap Linnea yang beranjak dari ranjangnya.

Linnea tidak bisa tertidur setelah mendapat mimpi itu tapi dengan dengan mudahnya Silva terlelap lagi. Kemudian di pagi itu juga ia memutuskan berangkat menuju pondok Magnor. Sampai di pondok ternyata Magnor sudah berdiri di depan pondoknya, tak terlihat ia menempa pedang-pedangnya lagi.

“Linnea kemarilah aku sudah menunggumu.” Ia pun tak memanggilnya yang mulia lagi karena sudah terbiasa.

“Ada apa ? kau tak mengerjakan pesananmu lagi?” tanya Linnea yang menunjuk ke arah palu-palu besarnya yang tersusun rapi di atas meja kayu.

“Pesananku sudah selesai kemarin.”

“ahhh syukurlah itu berati kau sudah bisa bebas melatihku.”

“Kurasa tidak, karena selesai dengan semua pesanan itu lord Sier, pamanmu menugaskan ku hal lain. Tunggu di sini sebentar.”

Magnor pergi kedalam pondoknya dan kembali dengan membawa sesuatu yang di sembunyikannya dari belakang, membuat Linnea penasaran.

“Ini ambillah, hadiah karena kau rajin berlatih.” Magnor memberinya sebuah pedang yang terbungkus rapi seperti baru, Linnea tercengang. Ia tak bisa menyembunyikan raut wajah takjubnya.

“Benarkah?” Magnor mengangguk.

Dengan penuh semangat ia membukanya dari sarang. Pedang itu mengkilat ketika di terpa cahaya, runcing tajam seperti telah siap membelah semua yang menghadang. Di amatinya pada ujung tangkai pedang itu terukir wajah serigala yang menganga, terkejut Linnea menoleh ke arah Magnor mencari jawaban.

“Itu adalah pedang wolfbane.” Tangan Magnor kini bergerak mengenggam pedang itu dari Linnea.

“Seperti nama racun ?” Magnor mengangguk jarinya menelusuri mata pedang yang tipis dan tajam,sebab ditempa sempurna olehnya.

“Tidak hanya itu pedang ini tercermin selayak namanya, seperti serigala. Letak kekuatan terbaiknya bukan pada kecepatannya, atau ketajaman taringnya, atau cakarnya, melainkan pada keahliannya bersama-sama dalam menjatuhkan musuh. Aku sendiri dapat merasakannya saat memimpin pasukan serigala di tragedi peperangan besar kala itu.” Magnor mengembalikan pedang itu di tangan Linnea. Linnea menyentuh tangkai serigala yang terukir disana merasakan taring tajamnya yang juga di buat detail.


“Ini bukanlah suatu hal yang terlihat mahal Linnea, itu hanya pedang tuaku yang ku perbarui di beberapa hari lalu. Dia telah menemani perjalanan hidupku dari awalnya yang hanya menjadi penjaga istana saat berumur 11 tahun hingga sekarang ini menjadi penempa besi tua. Sudah saatnya dia menemukan pemilik yang baru.”

“Tuan Magnor.. aku tidak bisa merima ini.” Linnea memberikan pedang itu kembali padanya.

“Sudah terimalah..”

“Ini benda bersejarah bagimu, aku tidak bisa menerimanya.” Tapi malah Magnor memberikan pedang itu kembali di hadapan Linnea dan menjauh.

Lihat selengkapnya