AUTHOR
Langkahnya tak berhenti memasuki kedalam hutan nangelap itu, menelusuri setiap celah-celah pohon. Kakinya yang besar menghentak-hentak setiap tanah yang dilalui. Linnea yang masih bertenger di atas punggungnya, memegang erat bulu-bulu hitam itu sambil mungutuk dirinya. Mimpi buruk apa yang telah ia pilih untuk mengikuti hati nuraninya, dia bahkan tak tahu apa selanjutnya yang akan terjadi. Angin kencang mengibarkan rambutnya, terhempas berkali-kali bersama derap langkah monster mengerikan itu.
Suara air dan hawa dingin dapat di rasakannya, setelah melalui hutan terlihatlah sebuah air terjun dan lembah di pegunungan tinggi. Mahluk besar itu berhenti di sana, Linnea pun segera turun menatap pemandangan dihadapannya. Itu adalah tempat tertinggi dari yang pernah ia bayangkan, dia bisa menyentuh awan yang terasa dekat disini. Angin menerpa rambutnya lagi mendinginkan segala peluh. Tebing tertinggi itu tidak ada pohon Linden namun tergantikan oleh untaian air terjun.
Linnea mengambil bunga-bunga Linden dari sakunya,itu sudah mengering. Ia meletakkan bunga-bunga itu di atas udara yang terbang diatas langit bersama angin. Sejenak ia melupakan siapa yang telah membawanya kesana, melupakan orang-orang yang di tinggalkannya, hanya sejenak ia tidak lagi memikirkan masa depannya dan dunia yang murka terhadap egonya.
Sesuatu yang dingin dan basah menggelitik lehernya saat itu, ia menoleh ke arah samping dan menemukan mata merah itu lagi. Linnea terkejut dan menjauh, lamunannya harus berakhir.
‘Menarilah seperti yang kau lakukan tadi.’
‘Itu bukan tarian.. yang kulakukan tadi itu latihan pedang dan sekarang aku kehilangan pedang berhargaku, itu karna kau!’
‘Jika kau tak memintaku untuk muncul, maka aku takkan pernah melakukannya!’ Serigala itu menyeringai menunjukkan taring-taring tajam di hadapannya, Linnea menutup mata saat itu karna jarak mereka sangat dekat. Tak lama langkahnya menjauh dari Linnea dan terduduk diatas tanah dekat bebatuan besar, serigala besar itu menjilati cakar tajamnya disana.
‘Tempat apa ini ?’ tanya Linnea sembari melihat sekeliling tebing itu.
‘Lembah Orc.’
‘Mereka bilang ini tempat berbahaya, sekarang bisakah kau kembalikan aku ke tempat tadi?.’ Kini mahluk besar itu menatapnya, memperhatikannya dari atas sampai bawah.
‘Tidak, sebelum kau menari!’
‘Sudah kubilang itu bukan tarian.(Serigala itu menggeram) Baiklah kalau kau memaksa akan kutunjukkan tarian yang sebenarnya. Ingat kau perlu memegang perkataanmu!.’ Kuping serigala itu berdiri bersama dengan kepalanya yang memperhatikan Linnea jalan menuju sisi lain, seolah peka bila gadis itu akan lari darinya.
Linnea melepas alas sandalnya dan menghentak-hentakkan kaki di atas tanah yang basah itu menjajal tanah yang disebut Harald tempat berbahaya. Jika itu dapat melukainya biarkan, jika itu dapat membunuhnya biarkan karena ia terlanjur gila dengan dirinya. Dia tak bisa mengontrol binatang buas yang ada di hadapannya, berbeda dengan binatang lain yang pernah ia temui, mereka selalu tunduk pada Linnea.
Kakinya mengibas air yang membasahinya di atas permukaan tanah lembab, sambil bernyanyi ia menghentak-hentakkan kakinya kembali.
DUM DUM TAP.. DUM DUM TAP…
Aku adalah putri biadab ibuku
Orang yang berlari tanpa alas kaki
Mengutuk batu tajam
Aku adalah putri biadab ibuku
Aku takkan memotong rambutku
Aku takkan mengecilkan suaraku
DUM DUM TAP DUM DUM TAP…
Linnea berputar –putar menarik gaun panjangnya keatas untuk bergerak bebas dan menunjuk ke arah binatang itu, langit ikut bergemuruh bersama nyanyiannya.
Anak ibuku menari dalam kegelapan
Dia menyanyikan lagu berhala
Oleh cahaya rembulan
Dan melihat bintang-bintang dan menamai planet-planet
Dan bermimpi dia bisa mencapainya
Dengan lagu dan sapu
DUM DUM TAP DUM DUM TAP…
Aku adalah putri biadab ibuku
Orang yang berlari tanpa alas kaki
Mengutuk batu tajam
Aku adalah putri biadab ibuku
Aku takkan memotong rambutku
Aku takkan mengecilkan suaraku
DUM DUM TAP DUM DUM TAP TAP!!…
Petir menggelegar seketika saat ia selesai melakukan tarian, angin menerpa rambutnya di tepian tebing perlahan gerimis turun satu persatu. Dia mununjuk serigala besar itu seperti mengutuknya karena telah memaksakan sesuatu di atas kehendaknya. Matanya menyala bersama aura hijau di sekeliling, tampa dia sadari.
Serigala besar itu mendekat matanya membara tersulut api amarah siap memakan Linnea hidup-hidup. Tepat di hadapannya serigala hitam itu mengaung saat itu juga. Taring tajam dan napas panasnya dapat mencabik kepala Linnea. Ngaungan itu bagai membelah langit menjadi dua, yang menyebabkan siapapun serangan jantung ditempat bila mendengar. Linnea gemetar dan terduduk di atas tanah, lemas. Tetesan air menetes dari rambut ikal dan bajunya yang setengah basah karena gerimis, namun yang terpikirkan hanyalah nasibnya setelah ini.
‘Menyedihkan’ Ucap serigala itu.
Mendenger perkataan itu membuatnya jengkel, ia mengarahkan kedua tangannya ke tanah berniat melilit binatang buas itu dengan akar-akar. Anehnya tak terjadi apa-apa, di cobanya lagi dan masih tidak ada yang terjadi.
Mungkin ia tak benar-benar berniat menyakiti binatang itu.
Mungkin saja ia keliru.
Mungkin saja perkataanya benar.
Linnea beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju ketepi tebing, batu-batu berjatuhan dibawah kakinya satu langkah lagi bila terpeleset ia bisa terjun bebas dari jurang itu.
‘Kau benar’ Saat itu Linnea menyesali kehidupannya, bahkan saat ia menangis dunianya takkan berubah.
Menyedihkan, mungkin itu kata yang ia cari selama ini walau ia mencoba kembali untuk terseyum sayangnya hatinya mengatakan tidak. Akan selalu ada sisi seperti itu, sisi tergelapnya yang tersembunyi. Itulah mengapa ia memilih ingin menjadi lebih kuat meski yang bersemayang di dirinya hanyalah kelemahan.
Seperti kata ayahnya, dia bahkan tak bisa melindungi ibunya hingga di napas terakhirnya. Satu kata itu dapat meruntuhkan usahanya dalam mencari kebahagian sejauh ini. Satu kata itu membawa bayangan tergelap di dirinya kembali hadir. Satu kata yang bisa mengakhiri hidupnya saat ini juga.
Linnea membentangkan tangannya lebar-lebar saat itu, merasakan angin berhembus menerpa rambutnya.