AUTHOR
Didalam sebuah kedai minuman, kali itu tak terdengar lagi suara alunan musik melainkan berganti dengan suara amukan dari warga-warga Mongrea yang marah.
“Kita tak bisa diam dan menunggu pendeta agung, sedang keluarga-keluarga kita terancam!.” Sahut salah satu warga.
“Ay..”
“Ay..” warga-warga lain bersahutan di sana menyetujuinya.
“Kali ini aku takkan membiarkan binatang itu lolos!!” ucap seorang pria yang sedang memandang lengan tangannya yang hilang dan terperban.
“Hendrik kau harus lakukan sesuatu! Tangkap binatang itu dan kuliti mereka!!” pria yang tangannya buntung kali ini berbicara kepada Hendrik, ia sedang duduk dengan beberapa cangkir ale yang telah habis dimeja. Hendrik diam saja matanya memerah pandangannya menekur kebawah, dia berada disana tapi jiwanya tidak.
“Binatang buas itu membunuh anak lelakiku.. aku sudah beritahu kepada pendeta agung tapi sampai sekarang binatang itu belum tertangkap.” Ucap salah satu pria tua yang kini mengambil perhatian dari Handrik. “Harusnya kita yang menangkap binatang itu!” pria tua itu memegang pundak Hendrik dengan pandangan penuh harap. Hendrik tampak mengosok-gosok dagunya, matanya memejam yang terbayang saat itu hanyalah wajah Annanya.
Tibalah seorang pria lain datang melempar kepingan uang perak tepat di meja Hendrik, pria tua ini dikenal sebagai saudagar kaya yang baru berpindah beberapa bulan kesana.
“Akan kuberikan berapa pun keping perak yang kau inginkan, asal kau menemukan putriku dan membawa kepala binatang itu padaku!.” Ucap pria tua yang baru datang itu pada Hendrik.
“Siapa kau ?” tanya Hendrik.
“Gordon.. sebutkan saja berapa keping uang yang kau inginkan! Akan kuberikan asalkan kau membawa kembali putriku..” ucapan Gordon membuat Hendrik saat itu berdiri dari tempatnya. Badan Hendrik yang berkulit hijau dan kekar sangat kontras dengan semua pria-pria yang ada di sana. Dengan hanya berdiri di sana semua orang menjauh ada pula yang menatapnya seolah satu-satunya harapan mereka. Hendrik mengambil kepingan logam itu dan mengenggamnya keras hingga bengkok. Semua orang disana terkejut, namun Hendrik menatap Gordon dengan penuh amarah, pria tua itu seperti telah membangunkan singa dari kandangnya.
“Aku tak butuh uangmu pak tua!” Ucap Hendrik penuh emosi melempar kepingan itu di hadapan Gordon.
“Aku akan membunuh sendiri binatang buas itu tampa kau suruh! Akan ku kuliti mereka, mengantung kepalanya di alun-alun desa dan melempar isi perutnya untuk makanan babi! Camkan itu!”Hendrik mendidih bersama sakit hatinya, dia meneguk cangkir ale terakhir dan menyentaknya di atas meja keras.
“Yeah!!”
“Ay!!””
“Hendrik!!” orang-orang bersorak-sorak setelah dia mengatakan itu dan memanggil namanya tampa henti.
“Kita akan memburu binatang itu malam ini!!!” ucap Hendrik kepada pria yang tangannya buntung ia tampak menyungingkan bibirnya, karena itu yang ditunggu-tunggunya dari tadi.
“Hendrik!!”
“Hendrik!!”
“Hendrik!!” pria itu menyorakkan keras namanya di ikuti dengan semua warga desa yang ada di kedai itu, terbakar bersama api dendam.
~~***~~
Linnea tampak berjalan sendiri siang itu, kemana pun dia melangkah akan selalu berakhir disana. Hanya dia dan tebing itu yang mengerti. Tidak Silva, tidak juga bibi dan pamannya, mereka hanya kasihan padanya sedang ia muak dengan itu semua. Andai ibunya masih ada menemaninya, dia pasti takkan merasa sendirian. Memiliki sosok ibu di sisinya pasti semuanya akan lebih mudah, mungkin saja ia takkan lagi berlatih pedang melainkan belajar membuat kue bersamanya. Belajar merajut pakaian dan belajar tentang kehidupan dengannya. Namun sekarang yang ia rasakan hanya kehampaan di tinggalkan oleh sosoknya. Satu-satunya dewi penolong dalam hidupnya, seseorang yang takkan pernah mengkritik dan selalu menyambutnya bila terjatuh, tampa perlu diminta.
Setelah dari danau dia menjauhi pria itu, sebab Linnea tak bisa mengontrol perasaannya saat berada dekat dengan Lucas. Jauh di dalam lubuk hatinya semua telah mati namun dengan kehadiran Lucas telah memberikan sesuatu yang baru dari versi dirinya. Ada rasa aneh dan juga takut akan hal itu, namun tak bisa di pungkiri kalau sebenarnya dia menginginkan itu di kesendiriannya.
Banyak hal yang ada di pikiran Linnea saat itu bila melihat ke masa lalu dia sadar bahwa ia merindukan Fridh saudara laki-lakinya, entah apa yang di lakukannya di negeri yang jauh. Dia pasti jauh lebih kuat dari Linnea karena menghadapi ayahnya seorang diri disana.
Sesuatu yang bergerak dari semak, membuyarkan lamunannya. Linnea hanya berdiri didekat pohon linden menunggu itu datang menghampiri, ia mengepalkan tangan. Tersirat rasa takut namun hatinya mengatakan kalau dia tahu binatang itu tak semengerikan seperti yang terlihat. Kadang dia menyesali dirinya yang bodoh tidak mendengarkan akal sehatnya. Tapi Linnea menyukai binatang dan dia akan melindunginya dengan segala konsekuensi, apa lagi dari pemburu biadab.
Hidungnya yang besar mengendus-ngendus leher Linnea, tampaknya itu menjadi seperti salam sapa yang pertama.
‘Aromamu berbeda dari yang kemarin.’
Linnea menoleh dan melihat mata merah besar itu, pupil matanya membesar sangat jelas saat di lihat dari dekat.
“Aku bawa ini.” ucap Linnea menunjukkan ikan trout di tangannya. Dia tak sadar saat itu berbicara langsung dengan binatang itu, entah binatang itu mengerti bahasanya.
‘Aku lebih suka memburunya langsung’
“Jadi kau tak mau ?” Linnea menyadari sesuatu.
Serigala hitam itu mendekat dan mengigit ikannya dengan lahap sampai menjilati tangan Linnea. Dia mencoba menyentuh bulu-bulu hitamnya yang lebat, ada pertanyaan yang mengelitik ingin ia tanyakan segera.
“Siapa namamu ?” tanya Linnea, serigala hitam itu kembali membuka matanya dan menatap gadis di hadapannya ada jeda disana sebelum ia menjawabnya.
‘Fenrit..’
“Kau mengerti bahasaku ?” akhirnya Linnea menjatuhkan pertanyaan itu, serigala itu tampak terkejut dan menjauh darinya sambil melirik ke arah hutan.
Dia terdiam.
“Bagai- , ucapan Linnea kala itu terpotong olehnya.
‘Iya’ Dia mengatakannya sambil melirik ke hutan, nampak tak nyaman dengan pembicaraan itu.
“Siapa kau sebenarnya, aku tak pernah melihat serigala besar sepertimu sebelumnya di area ini.”