AUTHOR
“Hentikan!!!”
Linnea membentangkan kedua tanggannya kepada para pemburu itu. Di atas batu ada tiga orang pria yang tampak asing bukan seperti penduduk Mongrea. Entahlah ia mengerti atau tidak bahasa Linnea. Kedua pria disana mengacungkan anak panahnya namun pria yang paling muda ragu-ragu, ada teror di matanya setelah melihat serigala raksasa itu.
Fenrit menggeram dibelakang Linnea siap melompat kehadapan mereka kapan pun.
“Hentikan ku bilang!!”
“Nona menjauhlah dari sana.. kalau kau menghadang kami seperti itu maka kami takkan segan-segan menembakmu juga disana! menyingkirlah!!”
“Tidak!! Dia temanku! Kalian yang pergi dari sini! ini bukan tanah kalian! Kalian pendatang!”
“Maka jangan salahkan kami bila panah-panah ini menggores kulitmu!.”
Tampa aba-aba seorang pria di sampingnya telah memanah duluan ke arah Fenrit, Linnea yang sadar ia mencoba menghadang itu di hadapannya namun entah bagaimana Fenrit menahan tubuhnya sebagai perisai di sana untuk Linnea. Mata mereka bertemu, terlihat api yang membara di mata merahnya.
Entah berapa banyak anak panah yang telah ia tahan di sana untuk melindungi Linnea sampai akhirnya dia terlompat dari tempatnya. Fenrit berlari cepat memutar menjauhi Linnea menuju para pemburu itu hingga membuat mereka terkesiap di tempat.
Ketahuilah takkan ada ampun untuk mereka saat itu yang meremehkannya, dia akan membawa mereka kedalam jurang api neraka saat itu juga.
Kedua orang yang memegang busur panah disana terperangah dengan melihat Monster itu dari dekat, namun pria muda yang satunya lagi menjauh dari mereka. Tahu bahwa teman-temannya mempunyai ide gila hingga membangunkan serigala itu dari kesadarannya. Habislah mereka di sana.
Serigala raksasa itu mengamuk, dadanya terasa panas sesuatu dalam dirinya telah bangkit, sesuatu yang membuat dia di takuti. Matanya yang merah terlihat menyala mendidih dengan aliran darah dan menggeram bersama detak jantungnya yang menggebu-gebu. Salah satu dari pemburu mencoba membidik dari jauh tapi ternyata Fenrit telah menyambar. Tiba-tiba tampa diduga dia membakar mereka hidup-hidup dengan api yang keluar dari mulutnya.
Semburan api yang membara panas mengrogoti kedua pemburu itu di tempat tampa ampun. Jeritan mereka bergema di hutan hingga berganti dengan maut yang menyapa. Seketika sampai teriakan pilu itu padam dan yang tersisa hanyalah tulang belulang dengan badan mereka meleleh dan hancur lebur.
Linnea sangat syok terkejut bukan kepalang mendapati peristiwa mengerikan di hadapannya, membuatnya lemas di tempat tampa bisa berkata-kata.
Tersisalah satu pemburu disana menatapnya penuh teror, pria muda itu hanya bisa berlutut melihat monster di hadapannya. Busur panah terjatuh seketika dari genggamannya, seluruh badannya bergetar. Dengan linangan air mata ia memohon agar jangan mengakhiri hidupnya, kata yang tak terucap tapi terpampang nyata disana. Ia tak tahu kekacauan apa yang telah ia setujui untuk mengikuti langkah teman-temannya yang berakhir tragis.
Pria muda itu berlutut diatas tanah tampa berani beranjak, keringat dingin mengucur deras dari dahinya, membuat pandangannya kabur.
“Ku-kumohon ja-jangan….. ” ucapnya pilu.
Tapi siapa sangka pria itu akan kehilangan kepalanya di tempat saat itu juga.
“FENRIT!!!!” Linnea yang terlambat sadar dia pun terjatuh di tempat, memuntahkan semua isi perut tak terkendali. Dari kejauhan dia melihat kepala pria itu ada di dalam taringnya dan menelannya hidup-hidup saat itu juga. Sekujur badan Linnea bergetar hebat perasaan takut menghantuinya, membayang-bayangi kejadian mengerikan itu.
Satu hal yang dia sadari, akal sehatnya telah kembali saat itu tampa pikir panjang Linnea berlari mengikuti pikirannya. Menjauh sebisa mungkin dari monster mengerikan itu, hal bodoh apa yang menghadangnya di sana setelah melihat sendiri peristiwa barbar di hadapannya.
Linnea berjalan tertatih menabrak pohon-pohon di sekelilingnya, tak tahu arah mau kemana. Hutan itu gelap, pohon-pohon tinggi menjuntai ke atas, jantungnya memompa kencang. Tak pernah di sadarinya ia akan melihat peristiwa mengerikan lagi dalam hidupnya semenjak pengalaman buruknya saat kecil dulu.
Seketika tanah di sana bergetar dengan dentuman keras, membuatnya terhenti di tempat. Napas panas itu kembali bertengger di atas kepalanya, hingga sekujur badannya membeku tak bisa bergerak. Jantungnya berdebar cepat, pikirannya meneriakinya untuk beranjak sejauh mungkin. Petir menggelegar di atas langit sana menurunkan rintik hujan yang entah mengapa selalu hadir di saat emosinya kacau.
“K-kau membunuh mereka semua..”
‘Mereka yang membunuh kita, atau aku yang membunuh mereka. Itu bukan pilihan.’
Linnea mengepal sekuat tenaga jari jemarinya, saat itu mungkin saja kuku-kukunya sudah menancap disana. Kenyataan yang terpampang nyata di hadapannya membuatnya mencari mata merah itu lagi. Ada sisa rasa tak percaya bahwa mahluk yang bermain si air terjun bersamanya tadi telah melakukan itu semua. Mata merah itu menatapnya dalam seolah bisa membaca isi pikirannya saat itu, seketika sekelibat ingatan tentang pria-pria tadi di bunuh di hadapannya kembali. Linnea masih mengingat raungan mereka, tampa sadar air matanya jatuh. Mata merah serigala itu menatapnya tajam dan menggeram di hadapan Linnea.
Dia mendekati Linnea dan menjilati seluruh wajahnya, hawa napas yang panas menyisakan bau terbakar dari mulutnya.
Mungkinkah Linnea akan jadi santapan selanjutnya?
Yang Linnea tahu saat itu karena kesalahannya yang telah mengikuti kebodohan egonya hingga ke hutan.
“Tunjukkan jalan pulang..” kini tak terpikir lagi apa dan kenapa alasannya keras di awal.
‘Naik!’
Linnea masih terpaku di sana namun kepala Fenrit mendorongnya hingga pindah dari posisi itu. Ia tak ada pilihan lain saat itu untuk berdamai dengannya atau dia takkan pulang. Alhasil Linnea kembali menaiki punggungnya, tanpa berkata-kata Fenrit pun segera beranjak dari sana melalui celah-celah pohon.
Dari posisinya yang terduduk, ia dapat dengan jelas melihat titik terlemah mahluk itu. Ada banyak panah-panah tertancap dengan belumuran darah di sekujur tubuh belakangnya. Mungkin dia benar tadi itu bukan pilihan baginya selain mengikuti insting binatang. Karena mahluk sepertinya memang buas dan liar. Mengingat api yang datang dari mulutnya Fenrit pasti bukanlah serigala biasa, dia tak pernah sebelumnya melihat kekuatan mengerikan seperti itu secara langsung. Selama ini semuanya hanyalah cerita Harald, tapi sekarang dia melihat sendiri dengan mata kepalanya.
Siapa sebenarnya Fenrit ini dia tidak mungkin hanya serigala yang turun dari gunung, Linnea menebak-nebak di dalam lamunan.
Di saat Linnea kalut dalam pikirannya dia terpaku disana, entah berapa lama tapi kemudian dia menyadari kalau mereka telah sampai di tebing. Fenrit hanya jalan mondar-mandir di sana tak berniat untuk menurunkan Linnea sama sekali.
Apa mungkin binatang buas itu sudah melekat padanya ?
Haruskah Linnea merasa takut bila Fenrit sendiri sepertinya tak ingin membahayakannya ?
Bagaimana kalau dia melakukan semua itu hanya karena terancam?
Bagaimana kalau hanya dia yang dapat mengontrol binatang buas itu?
Linnea akhirnya menarik napas panjang, kali ini keberanian telah muncul dengan teori-terori yang bersemayang di kepalanya.