PRINCESS OF MONGREA, The Summer's Tale

Lady_teller
Chapter #18

16. ALL THE STARS IN THE SKY




AUTHOR


“Saya menang lagi.. hahaha..” ucap lord Heilm.

“Ya.. tampaknya anda sangat lihai dengan permainan ini..”

“Tuan Gordon anda mungkin pandai dalam mengumpulkan pundi-pundi, tapi bagi saya menjatuhkan beberapa lalat dalam sekali tepuk itu hal yang mudah.”

“Itu bukan hanya semudah menepuk lalat, melainkan kau tak menyisakan satu titik pun saat mendapat kelemahan lawan dan mencekiknya sedang mereka tertidur dengan mimpi indah.”

“Wah.. anda mengenal saya dengan baik sekali tuan Gordon.” Lord Heilm merauk keping-keping uang yang berada di atas permainan papan.

Tuan Gordon meneguk wine yang telah habis di cawannya dan mengisyaratkan pelayang di sampingnya untuk mengisi kembali.

“Bagaiamana kalau lanjutkan satu ronde lagi ?” tanya lord Heilm kepada semua orang di meja itu, yang tampak bosan dengan kekalahan mereka.

“Lord Heilm, masih ada banyak hari untuk esok, marilah kita sejenak bersantai..”

 “Ay..”

“Ay..” ucapan tuan Gordon di setujui dengan pemain lainnya, sambil menyesap winenya dia memperhatikan lord Heilm yang tersenyum menyeringai dengan koin perak yang di genggamnya.

“Baiklah.. jika itu permintaan kalian. Pelayan bawa semua makanan ke sini dan satu lagi mainkan musiknya..!” ucap lord Heilm sambil penepuk-nepuk tangannya.

Para pelayan pun segera menghidangkan makanan hangat di atas meja, beberapa pemain musik mulai memainkan selonya. Salah satu dari pelayan mengantarkan makanan di depan tuan Gordon.


“Tidak perlu, saya hanya ingin wine..” pelayan itu pun menunduk dan pergi.

“Jadi lord Heilm kabar burung mengatakan kalau anda telah mengambil alih hak milik dari pertambangan di bukit hijau, anda pasti sudah kaya raya sekarang..” ucap tuan Gordon yang membuat lord Heilm tertawa terbahak-bahak.

“Itu bukan seperti saya yang satu-satunya terobsesi menjadi kaya disini yakan? Akuilah kita semua bekerja keras mencari kekayaan untuk apa?.. kekuatan.” Ucap lord Heilm sambil mengengam koin di jarinya.

“Seseorang seperti kita tidak perlu susah payah mengeluarkan tenaga, tapi dengan ini kita bisa mengontrol dunia.” Lold Heilm menunjukan koin itu di hadapan setiap orang disana.

“Ay”

“Ay” saudagar-saudagar disana pun setuju dengannya, lord Heilm tersenyum miring bersama asistennya seperti mereka telah terkoneksi satu pikiran.

“Kabar burung itu benar adanya, lagi pula semua tanah di Mongrea adalah kekuasaan kaisar jadi tidak perlulah membesar-besarkan sesuatu yang sudah pada tempatnya.”ucap lord Heilm dengan santai.

“Saya bertaruh pendeta agung pasti sangat kesal dengan anda saat ini..”

 “Bah.. wanita itu tak tahu apa-apa, dia bahkan tidak tahu dengan siapa dia berhadapan.” Ucap lord Heilm terkekeh dengan leluconya sendiri sambil memakan potongan daging yang ada di garpunya.

Kemudian seorang penjaga menghampiri tuan Gordon dan berbisik sesuatu hingga membuatnya berdiri meninggalkan ruangan itu.

Seorang pria paruh baya dengan tanduk yang bertenger di kepalanya terlihat berdiri di depan sebuah kapal bersama enam orang prajurit, mereka semua memakai baju zirah hijau. Tuan Gordon tampak keluar dari pintu kapal bersama dengan pengawal tadi.

“Kau utusan dari pendeta agung ?”

“Iya tuan, saya Magnor kesatria Mongrea. Saya di untus untuk menyelesaikan permasalahan mengenai putri anda yang hilang.” Terlihat secercah harapan dari wajah tuan Gordon.

“Sudah lama saya menunggu kabar ini datang. Mengingat saya pendatang baru disini dan tidak ada kerabat atau pun para kesatria yang saya kenal di Mongrea. Benarkah kau akan melakukannya?”

“Benar tuan Gordon, kedatangan saya kemarin ingin menanyakan kapan terakhir kali anda melihatnya ?”. Tuan Gordon menghela napas panjang, matanya menerawang ke atas langit.


“Namanya Livia berkulit biru,rambut hitam panjang dan matanya kuning seperti saya. Dia bukalah gadis yang suka berkeluyuran kemana-mana hanya sesekali pergi kepasar dan kembali lagi ke kamarnya. Dia dan asa hilang saat malam itu saya memeriksa kamarnya dengan pintu jendela yang telah hancur. Asa adalah seekor macan tutul peliharaan kami, binatang yang sudah sejak kecil melekat dengan Livia itu juga tak di temukan.” Tuan Gordon tampak menjeda penjelasannya.

“Yang membuat saya yakin bahwa penyebabnya adalah seekor serigala Mongrea, karena saya sendiri yang menemukan bercak darah dan jejak kaki binatang itu di atas ranjangnya. Jejak kaki binatang yang bahkan lebih besar dari kaki Asa.”

“Jadi Asa adalah seekor macan tutul ?”

“Iya dia berasal dari negeri Mold namun sejak kecil sudah kami jinakkan.” Ungkapan tuan Gordon saat itu menyadarkannya akan sesuatu, seketika dia terkejut dan mengingat Linnea.



~~***~~



Pendeta agung menunggangi kuda dengan cepat, di depannya terlihat tuan Harry yang menunjukkan tempat pertambangan itu. Pikirannya kalut penuh dengan prasangka-prasangka buruk. Ada suatu hal yang tak bisa dia kendalikan, sesuatu yang memisahkannya dari orang-orang yang dia sayangi. Waktu terasa melambat namun tarikan pada tali kekang di kuda itu mempercepat tujuannya.

Sesampainya di sana dia melihat pria yang di cintainya terbaring di atas tanah dengan mayat-mayat lain yang bergelimpangan. Hanya tersisa lord Kansley dan beberapa prajurit disana yang menemaninya. Pendeta agung turun dari kuda hingga tersungkur, namun pandangannya tak lepas dari satu-satunya pria yang di cintai sepanjang hidupnya.

Di raihnya tangan yang bersimbah darah itu, ada senyum di wajah lord Sier saat melihat istrinya datang.

“Aku bisa menyembuhkanmu, tenanglah semuanya akan baik-baik saja..” ucap pendeta agung yang mencoba menyalurkan energinya. Anak panah itu melepuh di kulitnya yang tertancap di dekat area jantung, menyebabkan banyak darah segar yang mengalir disana. Setelah beberapa saat tak ada perubahan yang terjadi, wajah suaminya terus memucat.

“Ini beracun..” pendeta agung menyadari sesuatu.

“I-ini harusnya masih bisa, mungkin Linnea bisa mengatasi ini. Lord Kansley bantu saya membawanya ke istana..” suaranya bergetar saat itu, tapi tangan lord Sier menahannya membuat ia menoleh.

“Brenda… tak ada waktu lagi.” ucap lord Sier.

“Jangan katakan itu..!” pendeta agung membantahnya namun setelah melihat batuk darah yang dia keluarkan dari lord Sier, saat itu dia menyadari suaminya benar.

Hanya air matanya yang dapat berbicara, semua perkataannya tercekat hingga kepedihan di hatinya tak terbendung. Air itu menetes mengenai genggaman di tangan lord Sier yang bergetar. Di raihnya wajah istrinya untuk yang terakhir kali, tak ada sesal yang dia pendam tahu bahwa di akhir hayatnya dia masih berjuang. Namun ada satu janji yang tak sempat digenggamnya lama.

“Maaf.. aku tidak bisa menepati janjiku padamu.. maafkan aku Brenda.”

“Lyeon....” Brenda memanggil namanya pilu.

“Siapa sangka aku akan mati dengan benda yang kugemari ini.” ucapnya sempat terkekeh dan menunjuk ke arah anak panah yang menancap di dadanya.

Tarikan napas itu kali ini menjadi berat dan penglihatannya mengabur. Ia memandang ke atas langit ada banyak burung gagak bersahutan seolah mengabari berita dukanya pada dunia.

“Dengarlah.. aku ingin kau harus lebih kuat.. tampaku.” Sebuah air mata tampak turun dari wajah lord Sier.

Lihat selengkapnya