Stripped of all their masquerades, the fears of men are quite identical: the fear of loneliness, rejection, inferiority, unmanageable anger, illness and death.
-Joshua L. Liebman-
LINNEA
“Ayaaaaaahhhh…”
Aku terbangun setelah mendengar tangisan pilu itu, semua terhubung seperti mimpi burukku menjadi nyata. Silva terduduk di atas lantai depan pintu kamar yang terbuka lebar, ada tuan Harry yang berdiri di sana. Mata merahnya tersirat duka, terlihat bercak darah yang mengering di baju besinya.
Aku takut, benar-benar takut. Mengetahui bahwa hatiku mengatakan itu sebelumnya. Tapi lebih takut menghadapi prasangka buruk itu, takut semuanya menjadi nyata. Dunia di sekelilingku hening hanya terdengar tangisan Silva. Aku tak pernah mau mendengar berita itu, hanya perlu melihatnya langsung.
“Aku ingin melihatnya..”
Tuan Harry pun mengantar kami menuju kuil, dia membuka pintu kuil yang pertama kali terlihat adalah patung besar dewi Freyja. Tepat di altar terdapat bibi Brenda dan seseorang yang terbaring disana. Tampa sadar aku mengeratkan pegangan pada Silva yang tak kuat berjalan, perlahan kami menghampiri mereka. Di sana ada Lord Kansley, tuan Magnor dan prajurit-prajurit istana. Sekarang terjawab sudah kemana mereka menghabiskan waktunya semalam, sedangkan aku tak tahu apapun hingga menunggu kabar buruk ini.
Bibi Brenda datang menghampiri kami, tapi Silva melepas rangkulanku padanya. Silva berlari mendekati orang yang terbaring di atas altar itu.
“Ayaahhhh…”dia menangis dan memeluknya. Ketenanganku saat itu hancur, aku bahkan tak bisa merasakan tangisan mereka. Terpaku dan berdiri mematung disana, bibi Brenda datang merangkulku. Air matanya membara, namun bagiku hanya amarah yang merasuk hingga tak ada setetes air mata, semuanya mati rasa.
Badannya bergetar, dia menangis dalam diam di pundakku. Saat aku melihat kebawah pakaiannya di penuhi bercak darah yang mengering. Gemuruh badai di kepalaku semakin menebal menunggu petir menyambar, saat pertanyaan di kepalaku berkecamuk.
Perlahan aku melepas pelukannya dan berjalan mendekati altar, yang terbaring adalah paman Lyeon, tubuhnya penuh darah dan bibirnya membiru. Aku tak bisa menatap itu lama, mencari jawabannya pada patung dewi Freyja yang berdiri tinggi di belakang altar. Itu membangunkan sesuatu didalam diriku yang bangkit bersama amarah dengan beribu pertanyaan yang belum terjawab.
“Kenapa kau tidak memberitahuku kemarin?” aku bertanya pada bibi Brenda, nada suaraku terkesan dingin tapi sudah tak bisa mengontrolnya lagi. Dia hanya terdiam dan tak sedikit pun berani menatapku.
“Kau tahu aku dapat mengatasi ini.. kenapa kau tak percaya pada kemampuanku?!” aku membenci tindakkannya karena dia satu-satunya yang tahu betul hal itu. Tampa sadar aku mencengkram pundaknya, mencari jawaban di mata hitam itu.
“Bibi… aku tahu sesuatu yang buruk telah terjadi kemarin! dan lihat sekarang semua sudah terlambat. Kau meninggalkanku tampa memberi penjelasan, tidakkah kau tahu aku mengerti semua ini?.. Aku bukanlah anak kecil yang tak tahu apa-apa..”
“Linne-
“Ji-jika saja kau bawa aku saat itu, ini semua takkan terjadi!” segalanya seperti angan semu, aku merasa kecewa padanya.
“Siapa yang melakukan ini?!” bertanya pada semua orang disana. Menatap mereka semua sedang rasa pilu ini tak terbendung, aku membenci diriku yang lemah.
“Aku akan membunuh mereka, seperti yang mereka lakukan pada paman Lyeon!! Bibi katakan siapa yang melakukan ini ?”
“Masalah ini di luar dari kendalimu nak, jika kau ingin menyalahkan maka salahkanlah aku.. akulah yang meminta pamanmu kesana.. ini semua salahku..” bibi Brenda memecah tangisnya di depanku, tapi yang terpikirkan hanyalah pembalasan yang setimpal untuk semuanya. Aku lelah menangis, aku lelah menjadi lemah, aku lelah di kebelakangkan sedang mereka semua tidak tahu kesabaranku telah menipis.
“Aku akan membalas ini!!”. Bibi Brenda hanya menggeleng mendengar kecamanku.
“Siapa yang melakukannya ?”
“Tidak Linn.. kau tak bi-
“Lord Kansley katakan padaku siapa yang membunuh pamanku?!” dia hanya menatapku bimbang, mungkin dia tak tahu apa yang dapat kulakukan bila murka.
“KENAPA SEMUA ORANG TERDIAM?! AKU INGIN JAWABAN!!” kesarabanku sudah habis, sedangkan gemuruh menggelegar di atas langit.
“Linn..” Silva memanggil namaku dari kejauhan.
“Linnae.. kau tidak mengerti!” ucap bibi Brenda.
“Maka buat aku mengerti! Aku lelah di kebelakangkan!! Sekarang kau tak bisa menghentikanku bibi!!.”
“Linnea hentikan..!” kali ini Magnor angkat bicara dan membuatku tercekat.
“Kau tak mengerti!! Tak ada yang bisa mengerti!!.” Ucapku padanya, bibi Brenda hanya bisa menangis di hadapanku sedang aku menghujaminya dengan tatapan penuh amarah.
“Linnea.. pamanmu takkan senang melihat ini semua di sana, biarkan dia istirahat dengan tenang..” ucap Magnor.
“Kau pikir dia senang meninggalkan kami? Hngg?? katakan, siapa yang membunuhnya?!”
“Orc.. kaum Orc..” Lord Kansley mengambil perhatianku, membuatku mengepal tangan keras.
“Dimana peristiwa ini terjadi?”
“Linn-
“Kau tidak akan menghentikanku kali ini bibi!!! Aku mengerti semua yang kau sembunyikan dariku, aku bukan anak kecil lagi!! aku akan memutuskan sendiri semua tidakkanku!! Kau tak bisa menghentikan-
PLAKKK!!
Tamparan keras itu ku dapatkan darinya membuatku tercekat di tempat, matanya berlinang tangisan, mengisyaratkan raut kecewa yang mendalam. Aku tak percaya dia melakukan itu padaku, dia berubah.. mungkin sebenarnya dia membenciku. Aku tidak bisa berkata-kata lagi setelah keheningan itu, Magnor menarikku keluar dari kuil.